Nathalie duduk di kursi belakang mobil, dikelilingi keheningan yang menyesakkan. Mobil yang dikemudikan oleh asisten pria misterius itu melaju mulus di sepanjang jalan, namun pikiran Nathalie berputar liar dalam kekosongan. Pandangannya tertuju keluar jendela, menatap kosong pada lampu-lampu jalan yang melintas cepat. Cahaya itu seperti berlari melewati hidupnya, sementara perasaannya terhenti, terjebak dalam rasa sakit dan kebingungan.
Sepanjang perjalanan, Nathalie hanya bisa melamun, merenung tentang apa yang baru saja terjadi. Bagaimana bisa ini terjadi? Bagaimana bisa seseorang yang ia cintai, seperti Rivaldo, terlibat dalam sesuatu yang begitu keji? Pertanyaan-pertanyaan itu terus bergema di benaknya tanpa jawaban.
Saat mobil berhenti di depan rumahnya, Nathalie menarik napas panjang, mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya yang rapuh. Ia melirik ke arah rumah, merasa sedikit lega karena tidak melihat mobil Bundanya. Beruntung, Bunda sedang tidak di rumah. Itu berarti Nathalie tak perlu menjelaskan apa pun. Ia tidak siap untuk kebohongan atau pertanyaan apa pun saat ini.
Dengan langkah berat, Nathalie masuk ke rumah dan langsung menuju kamarnya. Begitu pintu kamarnya tertutup, ia merasa sedikit aman, meski kepalanya masih dipenuhi oleh kekacauan emosional. Tanpa membuang waktu, Nathalie bergegas ke kamar mandi. Air dingin mengalir, membasahi tubuhnya, namun tak mampu membasuh kesedihan dan luka yang menggores jiwanya.
Pikiran Nathalie terus melayang pada satu hal, Rivaldo. Pria yang selama ini ia percaya, pria yang seharusnya melindungi dan mencintainya. Nathalie merasa terpuruk, dikhianati dengan cara yang paling menyakitkan. Bagaimana bisa Rivaldo tega menjualnya demi melunasi hutang-hutangnya?
Setelah selesai membersihkan diri, Nathalie segera mengenakan pakaian sederhana, namun hatinya penuh dengan tekad. Dia harus mendapatkan penjelasan. Tanpa berpikir panjang lagi, ia bersiap untuk pergi ke rumah Rivaldo, mencari kebenaran dari mulut pria yang telah membuatnya terjerembab dalam kegelapan ini.
***
Nathalie berdiri mematung di depan pintu rumah Rivaldo, dadanya naik-turun tak beraturan. Setiap detik yang berlalu hanya menambah kemarahannya. Pintu itu seperti dinding tak kasat mata yang memisahkan dirinya dari kebenaran yang begitu ia takutkan. Kebenaran bahwa tunangan yang ia cintai, yang selama ini menjadi tempatnya bersandar, telah mengkhianatinya dengan cara yang paling menyakitkan.
Dengan sekali dorong, pintu rumah terbuka, memperlihatkan kekacauan di dalamnya. Ruangan yang biasanya penuh tawa dan canda kini dipenuhi aroma busuk minuman keras. Botol-botol berserakan, beberapa di antaranya masih meneteskan sisa cairan, seperti bekas kebahagiaan yang telah lama hilang. Bekas lintingan barang haram tampak jelas di meja, membuat Nathalie merasa seolah dunia yang ia kenal selama ini ambruk seketika.
Langkahnya gemetar saat ia mendekati sofa. Di sana, Rivaldo terbaring seperti orang yang tak punya harapan, tertidur lelap di tengah kekacauan yang ia ciptakan sendiri. Pakaiannya berantakan, rambutnya acak-acakan, dan wajahnya tampak lebih tua, lebih hancur daripada yang pernah Nathalie lihat sebelumnya. Ini bukan pria yang ia kenal. Ini bukan pria yang ia cintai.
Tapi yang paling menyakitkan, pria inilah yang telah menjualnya.
Hati Nathalie hancur. Amarah yang selama ini ia tahan pecah begitu saja, seperti bendungan yang tak mampu lagi menahan derasnya air. Tangisnya meledak tanpa bisa ia kendalikan.
“Rivaldo!” teriaknya dengan suara bergetar, penuh amarah dan kepedihan. "RIVALDO!"
Suara Nathalie mengguncang seluruh rumah. Rivaldo terbangun dengan mata masih buram, tak segera sadar apa yang terjadi. Dalam kebingungan, ia menatap Nathalie. Wanita yang ia cintai, tapi juga yang telah ia hancurkan. Kesadarannya mulai kembali, dan ia segera bangkit dari sofa. Namun, pandangan Nathalie yang penuh luka menusuk hatinya seperti ribuan pisau.
"Nathalie..." gumam Rivaldo dengan suara parau, penuh rasa bersalah. Tapi Nathalie tak menunggu penjelasan.
"Apa yang sudah kamu lakukan?!" Nathalie menjerit, air matanya mengalir deras. "Kamu menjualku, Rivaldo! Kamu tega menjual tunanganmu sendiri!"
Rivaldo, yang masih berusaha menemukan kata-katanya, tak bisa menjawab. Tubuhnya kaku, seluruh tubuhnya gemetar, tahu bahwa apa pun yang ia katakan tak akan mampu menghapus rasa sakit yang telah ia sebabkan. Matanya basah, namun tak satu pun air mata jatuh. Ia tahu, tak ada maaf yang cukup untuk ini.
Nathalie melangkah maju, tubuhnya bergetar oleh amarah dan kepedihan yang tak tertahankan. "Bagaimana bisa? Bagaimana bisa kamu melakukan ini padaku? Aku tunanganmu, Rivaldo! Aku percaya padamu! Aku mencintaimu!" Suaranya pecah di tengah air mata yang terus mengalir, menggambarkan betapa hancurnya hatinya.
Rivaldo mencoba mendekat, tapi Nathalie menolak dengan keras, mendorongnya mundur. "Jangan sentuh aku!" jeritnya. "Kamu telah menghancurkan segalanya!"
Rivaldo jatuh berlutut di hadapannya, air mata akhirnya tumpah, tak lagi mampu ia tahan. "Aku... aku bodoh, Nathalie. Aku... aku tak tahu apa yang aku lakukan... Aku terjebak. Aku tak punya pilihan. Maaf... maafkan aku..." Suaranya putus-putus, tubuhnya bergetar oleh isakan yang tak terbendung.
Tapi bagi Nathalie, permintaan maaf itu tak berarti. Tidak setelah apa yang telah ia alami. "Pilihan?" Nathalie tertawa pahit di antara tangisannya. "Kamu punya pilihan, Rivaldo! Dan kamu memilih untuk menghancurkanku!"
Rivaldo menunduk, tak mampu membalas kata-kata itu. Ia tahu Nathalie benar. Pilihan yang ia buat telah merenggut segalanya dari mereka—kepercayaan, cinta, dan masa depan yang pernah mereka impikan bersama.
Nathalie memukul dadanya, seolah ingin menghancurkan rasa sakit yang menghantuinya. "Aku benci kamu! Aku benci diri ini karena masih mencintaimu!" teriaknya, suaranya semakin parau. Setiap pukulan yang ia berikan tidaklah kuat, tapi menyakitkan. Bukan untuk Rivaldo, melainkan untuk dirinya sendiri. Ia terjebak dalam putaran cinta dan benci yang begitu mendalam.
Rivaldo akhirnya memeluk Nathalie, tubuhnya bergemetar dalam pelukan penuh penyesalan. "Maafkan aku... Maafkan aku... Aku hancur, Nathalie. Aku kehilangan diriku sendiri." Suaranya hampir tak terdengar di antara isak tangisnya.
Nathalie berusaha meronta, tapi kekuatannya seolah hilang. Ia tak mampu menahan tangis lagi, dan dalam pelukan pria yang paling ia cintai namun juga paling ia benci, ia hanya bisa menangis. "Kenapa kamu tega melakukan ini padaku, Rivaldo? Kenapa?" tanyanya dengan suara penuh kesakitan, seolah menuntut jawaban yang mungkin tak akan pernah ia dapatkan.
Rivaldo tak bisa menjawab. Satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah memeluk Nathalie lebih erat, menangis bersamanya dalam keheningan yang dipenuhi dengan rasa bersalah, penyesalan, dan cinta yang hancur berkeping-keping.
Nathalie masih terisak di pelukan Rivaldo ketika pintu rumah tiba-tiba terbuka dengan keras, memecah keheningan. Langkah kaki berat terdengar dari arah pintu, dan sosok pria misterius yang tinggi dan berwibawa masuk ke dalam ruangan. Nathalie langsung tersentak, tubuhnya menegang saat matanya bertemu dengan pria itu. Wajah yang begitu dikenalnya, yang telah menghancurkan harga dirinya semalam.
Pria itu adalah asisten dari lintah darat yang telah membeli tubuhnya. Dengan setelan hitam rapi dan wajahnya yang dingin, ia memandang Nathalie dengan tatapan meremehkan, seolah-olah ia adalah barang yang sudah rusak. Senyum licik terukir di wajahnya, menyiratkan kemenangan yang membuat darah Nathalie mendidih.