Malam itu, rumah Nathalie dikelilingi oleh kesunyian yang mendalam. Hanya suara detak jam dinding yang terasa menonjol di tengah keheningan. Nathalie, yang telah mengisolasi dirinya selama sebulan terakhir, hanya menghabiskan waktu di kamar tidurnya. Kamar yang dulunya rapi kini terlihat berantakan, dengan pakaian berserakan di lantai dan meja yang penuh dengan buku dan catatan kuliah.
Layar ponsel Nathalie, yang terletak di meja samping tempat tidur, memancarkan cahaya dingin dari notifikasi panggilan tak terjawab. Ada banyak panggilan dari Rivaldo, Arjuna Mahendra, nomor tak dikenal yang diyakini sebagai boss lintah darat, serta Anya dan teman-teman kuliahnya. Ponsel itu seolah menjadi saksi bisu dari ketidakpastian yang mengelilingi hidupnya.
Dengan wajah yang penuh kekhawatiran, Bunda memasuki kamar Nathalie. Suasana dalam kamar semakin menambah kekhawatiran Bunda. Nathalie terbaring di tempat tidur, tubuhnya terlihat semakin kurus dan lemah. Bunda memandang putrinya dengan rasa cemas yang mendalam. Ruangan yang tampak tidak terurus mencerminkan betapa Nathalie telah mengalami kesulitan emosional dan fisik.
Bunda Nathalie berdiri di samping tempat tidur, menatap wajah Nathalie yang semakin pucat dan cemas. Rasa sakit hati dan kekhawatiran membuatnya teringat kejadian beberapa hari lalu. Bunda pernah melihat dari kejauhan, Rivaldo datang ke rumah mereka. Meskipun hanya sekilas, sosok Rivaldo tampak gelisah dan tidak bisa menjelaskan kenapa ia tidak mengunjungi tunangannya secara langsung. Bunda juga teringat beberapa kali Arjuna Mahendra datang, mengunjungi rumah mereka dengan wajah yang penuh kesedihan dan keprihatinan. Bunda merasa bingung dan tertekan, tidak memahami alasan di balik semua peristiwa ini.
Dengan langkah pelan, Bunda duduk di sisi tempat tidur dan meraih tangan Nathalie. “Nak, kenapa kamu tidak menjawab panggilan-panggilan ini? Apa yang sebenarnya terjadi? Kami semua khawatir tentangmu. Kenapa Rivaldo dan Arjuna tidak bisa menjelaskan situasi ini?”
Nathalie, yang masih terbaring dengan mata setengah terpejam, mendengar suara Bunda dan perlahan membuka matanya. Dia merasa campur aduk antara keputusasaan dan keengganan untuk berbicara. Meski rindu untuk berbagi apa yang sebenarnya terjadi, dia merasa sangat tertekan untuk menjelaskan semuanya.
Bunda melanjutkan dengan lembut, mencoba meredakan ketegangan. “Bunda gak bisa mengerti kenapa semua ini terjadi. Apakah kamu mau cerita sama Bunda, Nak? Kenapa kamu merasa harus mengurung diri di kamar dan mengabaikan semua orang yang peduli padamu?”
Dalam kesedihannya yang mendalam, Nathalie memutuskan untuk tidak membuka suara karena khawatir Bundanya akan sangat syok. Ia hanya terbaring di tempat tidur, merasakan perasaan yang hancur dan gelisah, sambil membiarkan air mata mengalir tanpa henti. Bunda yang melihat putrinya dalam keadaan seperti itu merasakan kesedihan yang mendalam, namun ia memahami bahwa Nathalie tidak ingin bercerita tentang apa yang terjadi.
Dengan lembut, Bunda meraih kepala Nathalie untuk mengelus rambutnya dengan kasih sayang. Namun, tanpa sengaja lengannya menyentuh dahi Nathalie. Betapa terkejutnya sang Bunda merasakan suhu yang sangat panas. Wajah Bunda langsung berubah panik saat ia menyadari betapa tinggi demam putrinya.
“Nathalie!” Bunda berseru cemas, sambil menyentuh dahi Nathalie dengan lembut, mencoba untuk membangunkannya. Namun, tiba-tiba, Nathalie pingsan dan tidak lagi merespons. Rasa panik semakin menguasai Bunda.
Tanpa membuang waktu, Bunda langsung mengambil handphone dan memanggil ambulance, berusaha untuk tetap tenang meski jantungnya berdebar kencang. Sambil menunggu bantuan datang, ia juga mengirim pesan singkat kepada Rivaldo yang sulit dihubungi, bermaksud untuk menjelaskan kondisi Nathalie yang pingsan dan demam tinggi.
Sementara itu, Bunda juga menelepon Arjuna Mahendra, berharap ia bisa memberikan bantuan dan dukungan. “Arjuna, ini Bunda. Nathalie pingsan dan demam tinggi. Bunda sudah memanggil ambulans, tapi aku perlu kamu tahu tentang situasinya. Mohon segera datang ke rumah sakit jika kamu bisa.”
Di perjalanan menuju IGD, Bunda terus merasakan kecemasan yang mendalam. Ia memegang tangan Nathalie dengan erat, berharap agar ambulans cepat tiba dan putrinya bisa mendapatkan perawatan yang diperlukan. Dalam hatinya, Bunda berdoa agar semuanya akan baik-baik saja dan berharap bahwa dengan kehadiran Rivaldo dan Arjuna, Nathalie akan mendapatkan dukungan yang ia butuhkan untuk menghadapi masa-masa sulitnya.
***
Di ruang IGD yang sibuk dan terang, Nathalie diangkut oleh tenaga medis menuju ruang tindakan. Bunda mengikuti dengan langkah cepat namun tertekan, memegang erat tangan Nathalie yang sudah dipenuhi dengan infus. Saat Nathalie dibawa masuk ke dalam ruang tindakan, Bunda merasakan jantungnya berdegup kencang, mengisi setiap sudut pikirannya dengan kekhawatiran yang mendalam. Ia duduk di kursi tunggu di luar ruang tindakan, matanya menatap kosong ke arah pintu sambil memanjatkan do’a tanpa henti.
Tak lama kemudian, Arjuna tiba di IGD. Ia langsung mendekati Bunda yang tampak lelah dan cemas. Dengan langkah cepat, Arjuna menyapa Bunda, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang sama. “Bunda, bagaimana keadaan Nathalie?” tanya Arjuna dengan nada lembut namun tegas, menatap Bunda dengan penuh perhatian.
Bunda hanya bisa menggelengkan kepala, air mata membasahi pipinya. “Kami masih menunggu. Bunda tidak tahu apa yang terjadi pada Nathalie.”
Saat itu, dokter yang menangani Nathalie keluar dari ruang tindakan. Wajahnya tampak serius namun tidak terlalu tegang. Arjuna dan Bunda segera menghampirinya, menunggu penjelasan mengenai kondisi Nathalie. “Dokter,” ujar Bunda dengan suara bergetar, “Bagaimana keadaan Nathalie?”
Dokter memandang keduanya dengan penuh pengertian. “Nathalie mengalami tekanan jiwa yang cukup berat. Kami menduga ini disebabkan oleh masalah emosional yang mungkin dia hadapi akhir-akhir ini. Kami akan memerlukan waktu untuk memberikan perawatan yang tepat dan memantau kondisinya lebih lanjut.”
Arjuna menghela napas, mencoba menyerap informasi tersebut. “Apa yang bisa kami lakukan untuk membantu dia? Apakah ada sesuatu yang harus kami lakukan sekarang?”
Dokter menjelaskan, “Saat ini, kami akan merawat Nathalie dan memberikan obat-obatan untuk menstabilkan kondisinya. Penting bagi Anda untuk memberikan dukungan emosional setelah dia sadar. Kami akan memberi tahu Anda segera setelah ada perkembangan.”
Bunda dan Arjuna saling berpandang. Kecemasan dan rasa khawatir mereka tidak bisa disembunyikan. Mereka tahu bahwa di luar ruang tindakan, Nathalie membutuhkan lebih dari sekadar perawatan medis, ia membutuhkan dukungan dan kasih sayang dari orang-orang terdekatnya.
Arjuna memandang Bunda dan berkata dengan penuh empati, “Saya akan tetap di sini dan mendukung Bunda. Kita akan melalui ini bersama-sama.” Bunda mengangguk dengan penuh rasa terima kasih, sambil menunggu dengan sabar di luar ruang tindakan, berharap agar Nathalie bisa segera pulih dan mendapatkan bantuan yang dibutuhkannya.
***
Di ruang perawatan yang dingin dan steril, suasana terasa berat dan menekan. Mesin-mesin medis berdengung lembut, menciptakan latar belakang suara monoton yang menyertai ketegangan di ruangan tersebut. Cahaya lampu fluorescent yang bersinar terang dari langit-langit ruangan tidak mampu mengusir kegelapan yang meliputi hati Bunda dan Arjuna, yang berdiri di samping ranjang Nathalie dengan wajah penuh kecemasan.
Nathalie, yang tampak lemah dan pucat, perlahan membuka matanya. Namun, alih-alih terlihat sadar, ia terlihat bingung dan tersesat. Saat Bunda meraih tangan Nathalie dengan lembut, mengusapnya dengan penuh kasih sayang, Nathalie hanya menatap kosong, matanya kosong dan tidak fokus. Suaranya yang bergetar penuh dengan kebingungan.
"Bunga... bunga di langit biru..." Nathalie bergumam, suara itu meresap dalam keputusasaan. "Mereka berlari... tidak ada pintu... mereka bersembunyi...” Bunda menggenggam tangan Nathalie lebih erat, air mata mulai mengalir di pipinya. Dia berusaha menenangkan putrinya, namun suaranya terdengar penuh kesedihan dan keputusasaan. “Sayang, Bunda ada di sini. Kamu aman di sini. Kami akan membuat semuanya baik-baik saja.”
Arjuna berdiri di samping Bunda, matanya penuh dengan kekhawatiran dan ketidakberdayaan. Dia mengamati Nathalie dengan tatapan sedih, mencoba mencari cara untuk membantu. “Nathalie, bisa dengar suara saya? Kami di sini untukmu.. Fokuslah pada suara kami.
Nathalie tampak semakin terjebak dalam labirin pikirannya. Matanya terus menatap kosong ke langit-langit, tampak tidak mampu menangkap kenyataan di sekelilingnya. “Ada laba-laba di bawah meja... dia bilang dia ingin terbang... tapi sayapnya patah... disana ada Rivaldo juga… dia mau loncat! Hahaha dia lucu sekali”.
Setiap kata Nathalie seperti tusukan hati bagi Bunda. Dengan lembut, Bunda merangkul putrinya, namun tangisannya semakin dalam. “Sayang, ingatlah kami di sini. Bunda di sini untukmu. Jangan biarkan kesedihan ini menguasai kamu.”
Nathalie terus meracau dengan frasa-frasa yang tampaknya terputus-putus, terjebak dalam dunianya sendiri yang penuh dengan ketidakpastian. Keduanya, Bunda dan Arjuna, merasakan kesedihan yang mendalam, menunggu dengan sabar dan penuh harapan. Mereka berdoa agar perawatan medis yang intensif dan dukungan mereka bisa membantu Nathalie kembali ke keadaan yang lebih baik.
Bunda merasa hancur melihat putrinya dalam keadaan seperti ini, dan Arjuna yang melihat betapa dalamnya penderitaan Nathalie merasa tidak tahu harus berbuat apa. Keduanya berdiri dalam keheningan yang penuh dengan rasa sakit dan ketidakberdayaan, berharap bahwa keajaiban akan datang untuk menyelamatkan Nathalie dari kegelapan yang menyelimutinya.