REGRET

quinbbyyy
Chapter #18

Daun Gugur Di Musim Patah

Ruang IGD terasa begitu mencekam. Lampu-lampu terang menerangi meja perawatan darurat, sementara suara monitor yang terus berdetik berirama dengan cepat menambah ketegangan. Nathalie terbaring di atas ranjang, tubuhnya pucat, dan darah tampak mengalir dari luka di pergelangan tangannya. Tim medis bergerak cepat, dengan suster dan dokter yang berusaha menstabilkan kondisinya. Tangan mereka sibuk menghentikan pendarahan dan menyiapkan peralatan darurat.

“Bawa alat transfusi darah! Segera!” teriak salah satu dokter, suaranya terdengar mendesak.

Monitor jantung yang terus berbunyi seakan memerangkap semua yang berada di ruangan itu dalam suasana penuh tekanan. Di balik pintu IGD, Bunda Nathalie dan Arjuna berdiri dengan wajah cemas. Bunda Nathalie tampak sangat terpukul, air matanya terus mengalir, tangannya bergetar memegang ponsel yang masih berdering dengan kabar yang semakin memperparah perasaannya.

Arjuna mencoba menenangkan Bunda, tapi wajahnya sendiri tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Setiap detik terasa seperti penantian yang panjang dan menyiksa. Bunda hanya bisa berharap putrinya selamat dari cobaan berat ini.

Pintu ruang tindakan sesekali terbuka, memperlihatkan sekilas pemandangan petugas medis yang sibuk menyelamatkan Nathalie. Suara-suara alat medis bercampur dengan instruksi dokter terdengar samar-samar, menciptakan suasana yang semakin genting. Sementara itu, di luar ruangan, Bunda Nathalie memejamkan mata dan berdoa, berharap ada keajaiban yang bisa menyelamatkan putrinya dari ujung maut.

"Nathalie, bertahanlah, Nak..." bisiknya dengan penuh harapan.

Arjuna, dengan rahang yang mengeras, menatap tajam ke arah pintu IGD. Di dalam hatinya, ia berjanji, apapun yang terjadi, ia akan selalu ada untuk Nathalie. Namun, ketakutan akan kehilangan membuatnya merasa tak berdaya. Waktu seakan bergerak lambat, dan setiap detak jantung Nathalie yang terlihat di monitor terasa bagaikan garis tipis antara kehidupan dan kematian.

Di dalam ruang IGD, suasana semakin genting. Alat-alat medis berbunyi lebih cepat, suara monitor jantung yang tadinya masih memberi harapan perlahan-lahan berubah menjadi garis lurus yang menandakan kondisi kritis. Dokter-dokter di sekeliling Nathalie bekerja tanpa henti, mencoba menyelamatkan nyawanya.

“Nathalie, bertahanlah!” seru seorang suster sambil memompa alat defibrillator, berusaha memulihkan detak jantungnya yang kian melemah. Namun, tubuh Nathalie semakin dingin, kulitnya pucat, dan darah dari luka di pergelangan tangan mulai mengering.

"Nadi hilang. Kita kehilangan dia!" seru salah satu dokter, suaranya bergetar.

Suster yang merawat Nathalie di rumah ikut melakukan upaya penyelamatan Nathalie, dengan wajah cemas dan penuh penyesalan. "Dia memotong nadinya sendiri... menggunakan pecahan vas bunga di kamarnya," katanya pelan, suaranya hampir tak terdengar di tengah hiruk-pikuk ruangan itu.

Dokter terus mencoba menstabilkan Nathalie, tapi waktu terasa begitu kejam. Suara mesin tiba-tiba berubah menjadi bunyi panjang, garis lurus yang menandakan detak jantungnya telah berhenti. Suasana menjadi sunyi, seakan semua yang ada di ruangan itu terhenti. Dokter menghela napas panjang, lalu meletakkan defibrillator dengan pelan di atas meja, pandangannya penuh kesedihan.

"Innalillahi wa inna ilaihi raji’un… Time of death... 22:47," ucap dokter itu dengan suara yang berat. Seluruh tim medis di dalam ruangan tampak terpukul, mata mereka tertunduk.

Sementara di luar, Bunda Nathalie dan Arjuna menunggu dengan penuh kecemasan. Pintu ruang tindakan terbuka, dan dokter keluar dengan ekspresi yang tidak bisa disembunyikan lagi. Bunda Nathalie langsung berdiri, namun dokter hanya bisa menggeleng pelan.

"Maaf, Bu... Kami sudah melakukan yang terbaik, tapi... puteri Ibu tidak bisa kami selamatkan."

Mendengar itu, dunia Bunda Nathalie seakan runtuh. Lututnya melemas, tubuhnya gemetar, dan tangannya menutupi mulutnya yang terisak. Air mata yang tak lagi bisa dibendung tumpah deras, hatinya hancur berkeping-keping. Nathalie, putri kesayangannya, kini telah tiada.

Lihat selengkapnya