15 April 1998
Untukmu Puspita,
Apa kabar? Bagaimana harimu?
Maaf, aku tak mampu tanyakan langsung padamu. Aku terlalu takut menatap mata indahmu. Penuh pilu dan rasa khawatir. Hari itu kau tak izinkan aku pergi. Tapi aku memaksa. Abai pada permohonanmu. Maaf.
Sejak awal aku tahu, cinta ini tak seharusnya ada. Ini salah. Aku hanyalah seorang tak berpunya, sedangkan kau anak dari Tuan. Tempat keluargaku mengais rupiah. Tuan terlalu baik padaku, tapi aku lancang mencintaimu.
Apa kabar? Bagaimana harimu?
Aku masih ingat saat kita berdua bermain di pematang sawah. Mencari katak hijau. Mandi di sungai. Lantas menangkap kunang-kunang saat malam tiba di belakang rumahmu. Rumah utama yang megah. Di mana aku hanya menatap lampu kamarmu yang menyala. Di gubuk kecil tempat keluarga dan ragaku berada.
Semuanya keliru. Cinta ini tak seharusnya tumbuh di hatiku. Sedari anak-anak, aku jatuh hati padamu. Kita tak sama. Aku anak kacung dan kau anak Tuan. Klise untuk generasi kita? Iya. Kau benar. Memang klise, tapi itulah kenyataannya. Tuan terlalu murah hati, hingga memberikan pendidikan yang layak untukku. Agar aku berilmu, mengangkat derajat keluargaku.
Apa kabar? Bagaimana harimu?
Aku ingat malam itu. Saat kau duduk di sampingku. Diguyur cahaya temaram rembulan, kau tampak cantik. Darahku berdesir kencang. Menatap eloknya putri Tuan yang seharusnya tak kusentuh barang sejengkal pun. Aku melanggarnya. Mendekap ragamu dengan tanganku yang hina. Merasa pantas untuk kau nan jelita.
Aku terlena. Menghirup wangi rambutmu. Merasakan hangat tubuhmu dalam dekapanku. Aku lupa siapa aku. Aku lupa siapa engkau. Aku lupa ada Tuan yang tak izinkan aku mendekat padamu. Hanya boleh menatapmu; menjagamu sebagai putri majikan, tak lebih.
Apa kabarmu? Bagaimana harimu?
Maafkan aku. Aku pamit. Aku tak mungkin berada di sisimu lagi. Tak ingin hatiku semakin terluka. Biarlah aku pergi. Menemukan jati diri di pulau seberang. Mengais keberuntungan yang mungkin tersisa untukku.
Namun, sebelum aku pergi. Ada satu ganjalan dalam hatiku. Izinkan aku bertanya, pernahkah kau mencintaiku? Selama ini kau hanya diam saat aku bertanya. Kau membisu saat aku lancang memelukmu. Tak juga bersuara. Salahkah aku? Salahkah aku artikan perhatianmu selama ini? Salahkah aku mengemban rasa ini?
Aku akan pergi sebulan lagi. Tepat tanggal 15 Mei, mari bertemu di dermaga saat senja tiba. Jikalau boleh, aku hanya ingin tahu isi hatimu. Itu saja. Tak mengharapkan lebih. Aku tak berani. Akan kulepaskan cinta ini segera. Tenanglah. Tak ada sedikit pun sakit hati. Aku cukup tahu diri.
Maaf, hanya lewat surat ini aku menyapa dan meminta. Tak punya nyali menapakkan kaki di kediamanmu. Tuan tak berkenan melihat wajahku, sejak beliau tahu aku ada hati pada putri kesayangannya. Aku terima. Itu kesalahanku. Sampai jumpa dan selamat tinggal, Puspita.
Dari lelaki yang lancang mencintaimu,
Damar
*****