Aku beranjak dari ruanganku. Berjalan pelan menuju pintu lift. Menunggu pintu itu terbuka. Tersenyum, lantas menundukkan dagu jika bertemu rekan kerja yang kebetulan melintas. Kemudian melangkah masuk ke dalam lift yang terbuka, menekan cepat tombol menuju basement. Terdiam, menatap pantulan diriku sendiri di pintu lift laksana cermin. Lelaki berusia 26 tahun dengan wajah datar tanpa ekspresi terpampang jelas di sana. Menyedihkan.
Aku berjalan menuju mobilku yang terparkir. Dengan segera masuk dan menyalakan mesinnya. Keluar dari gedung megah tempatku bekerja. Setelah lulus kuliah, aku beruntung diterima bekerja di kantor migas sebagai salah satu engineer. Langsung memutuskan hidup sendiri di kontrakan kecil, tidak jauh dari kantorku. Tidak ingin kembali ke rumah keluargaku, rumah orang tua Mas Aksel lebih tepatnya. Ingin berdiri dengan kakiku sendiri, membanggakan mereka yang telah membesarkanku.
Baru setahun belakangan aku membeli apartemen sendiri setelah menabung dari hasil jerih payahku—meski belum cukup—dan mengambil pinjaman dari bank. Bukan apartemen mewah, tetapi cukup untukku bernaung. Sedangkan Mas Aksel saat ini bekerja di salah satu bank terbesar di negeri ini. Sayangnya, dia ditempatkan di luar pulau. Baru dua tahun belakangan, dia kembali ke kota kelahiran kami. Menduduki jabatan pimpinan cabang di salah satu kantor cabang pembantu bank tersebut.
Seperti biasa, jalanan ibu kota macet. Apalagi jam-jam rawan seperti ini, selepas magrib dan jam pulang kerja. Aku mendesah pelan. Satu jam ke depan—entah cukup atau tidak waktu yang kupunya—aku akan bertemu dengan Mas Aksel dan Sekar di Kafe Destiny.
Kepulan asap kendaraan membuat malam ini semakin kelabu dengan polusi. Ditambah lengkingan klakson tak henti-hentinya saling bersahutan melenguh di sepanjang jalan. Aku meletakkan tangan kanan di kening. Mengusap peluh yang menetes. Malam ini terasa panas. Padahal pendingin mobil kunyalakan. Tidak terlalu berkesan untukku. Aku menatap jalanan. Masih saja mengular, tak ada celah untuk mendahului atau berbalik arah. Aku terjebak di tengah kemacetan. Aku menarik tuas rem tangan. Melepaskan peganganku dari kemudi. Membuka dua kancing teratas kemeja, lantas menyandarkan kepalaku sejenak pada kursi. Mengamati kerlip lampu kendaraan yang berpendar-pendar. Anganku menerawang jauh. Mengais kenangan akan Ayu, satu-satunya gadis dalam hidupku.
*****
Enam tahun silam
Saat itu hujan deras, mega menutupi langit. Terlihat suram di semua sisi. Butiran hujan menghantam bumi. Membuatku tertahan di tempat ini, tak bisa pergi. Aku berjalan, berhenti di depan bingkai jendela. Bersedekap, menatap ke luar jendela. Hujan masih turun tanpa ampun.
Mataku teralihkan pada jemari lentik yang menyentuh kaca jendela nan berembun. Aku menatap empunya. Gadis yang cantik. Rambutnya hitam sebahu. Matanya lurus melihat hujan. Mungkin dia sama denganku. Tertahan di tempat ini karena hujan yang tak jua berbelas kasihan berhenti. Itu kali pertama aku berjumpa dengannya. Saling diam. Hanya dua orang asing yang kebetulan terjebak di satu tempat yang sama.
Sejak hari itu, aku sering melihatnya. Berada di tempat ini, perpustakaan universitas. Pandangan kami sering beradu. Membuatnya cepat-cepat memalingkan muka. Aku terkekeh pelan. Cukup terhibur dengan ekspresi wajahnya saat ketahuan mencuri pandang padaku. Pipinya merona, ranum bak stroberi merah merekah.
Hari itu, aku ke tempat ini lagi. Iseng. Aku suka membaca. Tidak ada genre khusus, semua jenis buku kulahap. Di samping literatur untuk kuliahku tentu saja. Aku mendapati sosoknya. Duduk takzim dengan buku yang terbuka di atas meja. Rambutnya turun menutupi sedikit wajahnya. Aku terpesona, berdiri menatapnya untuk beberapa lama. Beberapa detik kemudian, dia mengangkat wajah. Mata itu menangkapku yang terpaku menatapnya. Bulat indah bercahaya. Bagai permata. Refleks, kuputar bola mataku. Kembali pada buku-buku yang tertata rapi di hadapanku. Berpura-pura memilih buku yang akan kubaca.
Tanpa kusadari dia sudah berdiri di sampingku. Mengembalikan buku yang tadi dibacanya. Darahku berdesir pelan. Jarak kami hanya satu meter, cukup dekat hingga tercium aroma parfum dari tubuhnya. Aku meliriknya. Kakinya berjinjit, kepalanya mendongak, tangannya terulur, ingin menggapai sebuah buku. Aku ingin menawarkan bantuan. Tetapi bolehkah? Aku terlalu canggung. Bahkan sangat canggung untuk memulai semuanya.
"Maaf, boleh minta tolong?"
Aku tersentak, untuk pertama kali aku mendengar suaranya. Lembut dan merdu.
"Ten-Tentu." Aku menganggukkan kepala, menoleh padanya.
Gadis itu menunjuk sebuah buku, tangannya tak sampai untuk menggapainya. Dengan tinggi badanku, mudah saja aku mengambilnya. Mungkin karena terlalu bersemangat, tanpa sengaja sebuah buku ikut terjatuh ke lantai. Kami berdua langsung jongkok, hendak mengambil buku itu. Ragu, maju mundur tangan kami terulur untuk mengambilnya.
Dia tersenyum tipis. "Aku saja yang ambil." Dia mengambil buku itu, kembali berdiri setelahnya.
Aku menyerahkan buku yang tadi ingin dia baca. Dia menerimanya. Lantas, mataku teralihkan pada lipatan kertas putih di lantai. Aku mengambil kertas itu, sepertinya dari dalam buku yang tadi ikut terjatuh.
"Tunggu sebentar!" sergahku saat gadis itu hendak berjalan kembali ke bangkunya.
"Iya?" jawabnya penuh tanya, memutar tubuhnya menghadap padaku.
"Sepertinya ... ini dari buku itu. Yang tadi jatuh." Aku menyodorkan kertas itu. Menunjuk salah satu buku yang dibawanya.
"Oh ...." Gadis itu menerimanya. Entah, aku salah menduga atau tidak, tersirat kekecewaan dari ucapannya.
Dia kembali duduk. Sedangkan aku masih berdiri di antara ribuan buku ini. Melewatkan kesempatanku untuk berkenalan dengannya, bertanya siapa namanya. Melewatkan kesempatanku untuk duduk dan berbincang dengannya. Sungguh bodoh.
Tiba-tiba,
"Kau harus baca ini!" Gadis itu menarik lenganku. Memaksaku duduk di sampingnya. Menyerahkan lipatan kertas yang tadi kutemukan.
Aku menatapnya ragu. Dia anggukkan kepala seolah berkata, bacalah! Aku kembali fokus pada kertas di tanganku. Ternyata itu surat. Entah milik siapa. Aku membacanya perlahan. Indah namun menyedihkan. Itu kesan yang kutangkap dari isi surat itu.
"Kira-kira punya siapa, ya?" tanyanya antusias.
"Ini ada namanya. Dari Damar untuk Puspita," jawabku sembari melipat kertas itu. Menyerahkannya kembali pada gadis itu.
"Oh, iya.” Dia terkekeh pelan.
"Tapi ... tapi ... mereka akhirnya bertemu atau tidak, ya? Secara, surat ini ditulis tahun 1998. Sekarang sudah tahun 2015. Tujuh belas tahun yang lalu. Hebat!" ujarnya berbinar menatapku.
Aku tertegun menatapnya. Gadis ini begitu percaya diri. Berbicara denganku tanpa rasa kikuk sama sekali.