Regrets

Fitriyana
Chapter #3

3. Hujan


Tiiinnn tiiinnn!

Suara klakson memekakkan telinga, membuatku terjaga dari lamunan. Ada ruang kosong di depanku. Dengan cepat kutarik tuas rem tangan, menginjak gas, maju perlahan. Hanya beberapa meter saja. Dan kembali aku terjebak. Masih mengular. Berkali-kali kilat membentuk serabut akar merah di langit. Sepertinya akan turun hujan. Tinggal menunggu waktu, titik-titik air menghujam daratan.

Kenangan tentangnya kembali berputar di otakku.

*****

Saat itu hujan deras. Kami berteduh di halte bus. Aku lupa membawa jas hujan. Ayu menolak saat aku memintanya pulang lebih dulu dengan taksi atau angkutan umum. Tetap teguh pada pendiriannya saat kutawarkan sekali lagi. Memilih menemaniku di sini. Jujur, aku lebih nyaman saat dia bersamaku. Aku mendengus pelan. Mengalah. Berharap hujan segera reda. Bagaimana mungkin berboncengan dengannya bermandikan air hujan? Jangan. Kalau aku sendirian pasti sudah kuterjang tetesan air ini. Bukan masalah besar. Namun, hari itu tidak. Jangan sampai dia sakit karenanya.

Ayu mendongak, tubuhnya sedikit maju. Menatap langit. Masih hujan lebat. Lantas kembali mundur. Rambutnya sedikit basah terkena percikan air. Mendesah pelan. Entah bergumam apa, bibirnya sedikit bergerak-gerak. Tidak jelas di telingaku.

Aku tersenyum menatapnya. Mengamati gerak-geriknya. Kepalanya kini tertunduk, mengentak-entakkan kaki bosan.

"Gio ... pulang, yuk. Nekat saja." Ayu melemparkan tatapan memelas.

Aku menggeleng cepat, menolaknya tegas. "Tidak! Nanti kau sakit." 

Ayu mendengus pelan. "Jangan doakan sakit dong, Gi. Ayo, pulang!" Dia menarik lenganku, menggerakkannya maju mundur. Merajuk.

"Nanti basah, Ayu." Aku menolak lagi.

Ayu melepaskan lenganku. Kembali menatap hujan. Aku pun sama. Pandanganku teralihkan pada sekitar. Hujan ini sungguh deras. Tidak ada tanda-tanda akan reda dalam waktu dekat. Aku melirik pergelangan tangan, sudah pukul 16.05. Aku harus bekerja pukul 17.00. Bagaimana ini?

Plash!

Air membasahi wajahku. Sontak aku memejamkan mata. Lantas segera mengusapnya. Aku kembali membuka mata, menoleh pada Ayu yang tertawa terpingkal-pingkal. Tangannya basah. Usil menyiramkan air hujan kepadaku. Aku menyeringai kesal. Kuulurkan telapak tangan membentuk cekungan untuk menampung tetesan air hujan. Dia pun sama. Siap-siap berperang. Dalam hitungan detik kami saling melemparkan air. Membuat rambut, wajah dan baju kami basah. Seakan tidak ada artinya berteduh dari tadi.

Ayu tergelak, aku pun sama. Seperti anak-anak yang riang gembira kala bermain hujan. Segelintir orang yang berdiri di halte pasti berpikir, “masa kecil kurang bahagia”. Terlihat dari pandangan mereka pada kami, tetapi sungkan untuk menegur. Aku tidak peduli. Jika ditarik garis ke belakang. Itu tidak salah. Masa kecilku tidak bahagia. Namun, sudahlah. Aku tak mau membahas itu. Yang aku tahu, aku bahagia bersama dia. Hatiku terasa hangat melihatnya tersenyum lebar. Menularkan tawanya, cerianya kepadaku. Entah sudah berapa purnama aku tidak tertawa selepas itu. Mungkin, terakhir kali saat orang tuaku masih hidup. Aku sendiri tak bisa mengingatnya.

"Terabas saja, Gi. Sudah basah gini." Ayu mengusap wajahnya.

"Heem." Aku mengangguk, memakai helm. Diikuti Ayu memakainya juga.

Kami berkendara di tengah genangan air, merasakan sensasi jutaan butir air memukul seluruh badan. Aku tidak berani memacu kecepatan penuh, jalanan terlihat buram dari balik kaca helm yang berkabut. Kurasakan tangan Ayu memeluk erat pinggangku. Sekali dua dia berteriak, "Seru!", buatku menarik ujung bibir sepanjang perjalanan.

Lima belas menit kemudian kami sampai di depan indekosnya. Ayu memintaku masuk sebentar. Aku menunggunya di teras. Gadis itu berlari masuk, dalam hitungan detik keluar lagi. Memberiku handuk kering untuk mengelap rambut dan badanku. Aku menurut saja. Padahal tidak memberiku efek apa-apa. Baju yang kukenakan terlanjur basah seluruhnya.

Ayu kembali masuk ke kamarnya. Hendak berganti pakaian. Tidak butuh waktu lama, dia sudah duduk menemaniku meminum segelas teh hangat yang tadi dia siapkan. Aku segera menghabiskan teh itu, menatap hujan yang kini tinggal gerimis kecil-kecil.

"Aku pulang dulu," pamitku seraya berdiri.

Ayu mengangguk pelan. "Hati-hati. Besok ketemu di perpus, ya.”

Aku mengangguk, tersenyum tipis. Langsung berjalan menuju motorku. Dengan cepat melesat, meninggalkan Ayu yang berdiri dengan payung hitam polosnya di depan pagar.

*****

Siang itu cerah. Matahari bersinar dengan gagahnya. Terik. Tidak seperti kemarin, mega memeluk semesta. Hujan sepanjang hari menjadi tanda cintanya. Aku duduk sendiri di ruang ini. Ada sebuah buku di hadapanku, terbuka halamannya di atas meja. Namun, aku memilih menatap ke luar jendela. Di mana pepohonan rimbun terlihat jelas dari gedung lantai dua ini. Menyegarkan mata. Jalanan yang menghubungkan satu gedung dengan gedung lain tampak lengang, mengingat hari sudah siang. Perkuliahan sudah selesai beberapa jam yang lalu.

Aku mendesah pelan, melirik jam di pergelangan tangan. Mataku menyapu setiap sudut ruangan. Tidak kudapati sosok gadis itu. Tidak bisa kuhubungi ponselnya. Ke mana dia? Aku mulai gelisah. Berkali-kali membenarkan posisi duduk. Berkali-kali melirik jam di pergelangan tangan. Berkali-kali menatap setiap inci ruangan ini. Nihil.

Tiba-tiba ponselku berbunyi. Aku memiringkan kepala. Berpikir. Dari nomor tak kukenal. Siapa?

Aku tutup buku itu. Berdiri. Lantas mengembalikannya di rak buku. Berjalan cepat, keluar dari ruangan. Berhenti di koridor.

"Ya, halo. Dari siapa ini?" jawabku pelan.

"Maaf, ini Gio?" suara seorang gadis dari seberang telepon.

Aku tertegun sebentar, berpikir dari mana gadis ini tahu nama dan nomor teleponku. "I-iya. Dari siapa ini?" Aku mengulangi pertanyaanku.

"Aku Tika. Teman satu kos Ayu. Mau memberi kabar, Ayu demam. Dia sekarang sedang tidur. Tadi dia memaksa ingin pergi menemuimu. Aku tidak izinkan. Maaf, bukan Ayu sendiri yang memberi kabar. Ponselnya lowbat. Anaknya keburu tidur saat menunggu ponselnya dicas. Maaf, aku lancang lihat nomormu di ponsel Ayu. Aku yakin kau sedang menunggunya. Jadi aku kabarkan saja kondisi dia," jelasnya panjang lebar.

Aku mengembuskan napas lega. Setidaknya aku tahu di mana dia dan kabarnya hari ini.

"Terima kasih, Tika. Aku ke kos Ayu sekarang," ucapku sebelum Tika memutuskan sambungan telepon.

Aku kembali ke ruangan. Mengambil ransel dan jaketku. Berlari-lari kecil menuruni anak tangga. Dengan segera melompat ke atas jok motor, memacunya ke indekos Ayu.

Sampai di depan pagar, aku menelepon Tika. Gadis itu menghampiriku tak lama kemudian. Kami berjabat tangan sebagai tanda perkenalan. Lantas mempersilakanku masuk.

"Ayu masih tidur?" Aku bertanya, terus melangkah masuk.

"Masih." Tika menjawab singkat.

"Apa kau yakin laki-laki boleh masuk ke dalam kos?" Aku bertanya lagi, tak mau menyalahi aturan.

Lihat selengkapnya