Mobilku maju perlahan. Lebih banyak diam tak bergerak. Kemacetan ini sungguh melelahkan. Setiap hari selalu saja begini. Aku melirik jam di pergelangan tangan, sudah setengah jam aku terjebak. Harus sedikit bersabar hingga perempatan depan. Mungkin saja akan sedikit lengang setelah melewatinya.
Ponselku berdering. Aku mengambil hands-free, memasangnya di telinga kiri. Menekan tombol, menerima panggilan masuk itu.
"Ya, Mas?"
"Kau sampai mana? Aku dan Sekar sudah keluar dari kantor. Seperempat jam lagi kami sampai di kafe." Mas Aksel bertanya.
"Aku terjebak macet, Mas. Semoga bisa bareng sampainya." Aku menjawab sekenanya, konsentrasiku masih pada kemacetan ini.
"Oke. Hati-hati. Aku berangkat sekarang," nasihatnya padaku, lantas memutus sambungan teleponnya.
Aku melepaskan hands-free dari telinga, melemparnya asal ke dasbor. Mengembuskan napas lelah, mengusap rambutku yang sedikit basah karena keringat. Menoleh ke kanan dan ke kiri. Mobil dan motor saling meringsek, memenuhi badan jalan. Wajah-wajah letih tampak jelas terlihat.
Letih, aku pun sering merasakan itu. Ingatan tentangnya masih mengisi seluruh otakku saat ini.
*****
Detik berganti, menit bertambah, hari berubah, bulan memintal tahun. Dua tahun lamanya aku dan Ayu bersama. Saat itu kami semester delapan. Semester akhir menimba ilmu, untuk selanjutnya mendapatkan gelar sarjana. Selama itu pula aku merahasiakan keberadaan Ayu dari Ibu maupun Mas Aksel. Kadang Mas Aksel iseng bertanya, “Kau tidak ada pacar, Gi?”, saat chatting denganku. Aku hanya diam. Kadang memberikan jawaban mengambang. Membuatnya kurang puas mendengar jawabanku. Mungkin, dia merasakan perubahan akan sikapku. Entahlah.
"Libur semesteran kemarin, kau pulang ke rumah, Gi?" tanyanya saat meneleponku.
Aku terdiam sebentar, mengembuskan napas pelan.
"Tidak, Mas," jawabku lesu.
Hening untuk beberapa saat.
"Ibu menanyakan kabarmu. Kalau kau ada waktu, tengoklah Ibu, Gi. Meski sikapnya begitu, aku tahu Ibu sayang kau, Gio."
Aku masih diam. Antara ingin dan enggan menjawabnya. Aku rindu Mas Aksel, bahkan rindu Ibu. Namun, untuk menjejakkan kaki di rumah itu tanpa ada Mas Aksel di sana, sepertinya aku tidak bisa. Maaf, Mas.
"Ya, sudah. Jangan terbebani perkataanku, ya. Terserah kau saja, Gi." Suara Mas Aksel terdengar sedih. Aku bisa rasakan itu.
"Maaf, Mas," balasku lirih.
Mas Aksel berdehem pelan. "Ceritakan pacarmu saja, Gi. Siapa namanya? Seperti apa dia?"
"A-apa? No comment, Mas." Aku gugup, mengusap tengkukku.
"Ha-ha-ha ... kau selalu menghindar. Aku penasaran dengannya. Gadis macam apa yang bisa meluluhkan hatimu," ucapnya girang, masih setengah tertawa.
"Tidak ada, Mas. Sudah, ceritakan hidupmu di tanah rantau saja. Pasti lebih seru," elakku cepat. Mengalihkan pembicaraan.
Kami berbicara banyak di telepon. Sekalipun tak pernah kusebutkan nama Ayu. Sebisa mungkin kualihkan jika Mas Aksel mulai menyerempet pembahasan itu. Aku belum siap. Aku ingin sukses dan menata hidupku dulu. Dengan begitu, aku bisa dengan bangga menggenggam tangannya saat bertemu dengan Mas Aksel dan Ibu. Memperkenalkan dia sebagai calon istriku. Aku amat yakin menyongsong masa depan dengannya. Tak sekalipun merasa lelah menghadapi watak moody-an yang mendarah daging pada diri Ayu. Itu tidak seberapa dibandingkan menyelami hati dan sikapku yang seringkali tidak terduga bagi Ayu maupun orang lain.
*****
Aku masih berada di kafe. Seperti biasa, bekerja hingga jam sebelas malam. Ayu tidak datang mengunjungiku seperti malam-malam sebelumnya. Sesaat lalu gadis itu telepon, tak bisa datang karena sibuk mengerjakan skripsinya. Biasanya, dia selalu menyempatkan diri meski sekejap saja. Setor muka istilah kerennya.
Ayu mengirimkan makanan melalui ojol. Berpesan untuk makan tepat waktu. Dasar, selalu saja khawatir berlebihan. Padahal aku bisa membeli sendiri, tetapi dia beralasan, aku memilih makanan yang kurang bergizi dan itu-itu saja. Aku mengalah, menurut saja. Aku tidak keberatan dengan sikap Ayu, malah menikmati perhatiannya.
"Dari Ayu?" tanya Devian, rekan kerjaku sekaligus teman satu kampus.
Aku mengangguk sembari menikmati hidangan dari Ayu saat rehat kerja.