Regrets

Fitriyana
Chapter #5

5. Camping, Sunrise dan Edelweiss

"Istirahat sebentar, Gi. Aku capek." Ayu menarik ranselku. Sontak aku menghentikan langkah. Aku menoleh. Ayu jongkok, lantas duduk menjeplak di tanah. Membuka masker penutup wajahnya. Napasnya tersengal. Dia mengambil botol minum, meneguknya cepat. Aku ikut jongkok di sampingnya. Mengambil botol minumku. Mengamati sekitar sembari minum. Banyak pendaki lain berjalan melewati kami berdua. Yap! Aku mengajak Ayu mendaki gunung. Itu pengalaman pertama baginya. Namun, tidak denganku. Aku ikut komunitas pecinta alam. Mendaki gunung sering kulakukan bersama rekanku. Khusus hari itu, aku memilih gunung yang cukup mudah untuk didaki. Jalur pendakian tidak terlalu curam, masih bersahabat.

Ayu berdiri, menepuk-nepuk pelan celananya. Membersihkan tanah yang menempel.

"Sudah?" Aku bertanya padanya. Sedikit mendongak sembari memicingkan mata—silau terkena sinar matahari, meski ada topi yang bertengger di kepalaku.

"Heem." Ayu mengangguk mantap. Mengusap pelipis dan lehernya yang basah dibanjiri peluh.

Aku bangkit. Kami berjalan bersisihan mengikuti jalur pendakian. Dua pos telah terlewati. Kini menuju pos ketiga, di mana kami akan mendirikan tenda untuk beristirahat malam ini.

Aku menoleh, Ayu tampak lelah. Sekali dua mengembuskan napas keras. Namun, senyum tak lepas dari bibirnya. Terus mengoceh. Mengomentari apa pun yang ditemuinya selama perdakian. Aku hanya mengangguk dan sesekali menimpali kicauannya. Pendakian kali ini terasa lebih menyenangkan, membuat waktu cepat berlalu. Akhirnya kami sampai di pos tiga. Aku melihat jam tangan, pukul empat sore. Cukup untuk mendirikan tenda sebelum petang tiba.

*****

Aku duduk di luar tenda. Beralaskan matras tipis. Suara jangkrik bersahut-sahutan; burung hantu melenguh di pepohonan. Hening. Meski banyak pendaki lain membuat tenda di area itu, suasana senyap. Mungkin semuanya sudah terlelap karena kelelahan. Atau memilih istirahat lebih awal untuk memulai pendakian dini hari nanti, berburu sunrise di puncak.

Aku mendongak. Langit bersih malam ini. Tidak ada awan yang menutupi. Bulan purnama penuh, bulat nan gompal. Mataku tersedot pada milky way yang sangat memesona. Jutaan bintang-gemintang menyapa. Terpampang nyata. Indah dan terang. Aku menarik beanie yang kukenakan hingga menutupi telinga. Hawa dingin kian menusuk. Aku enggan beranjak. Takzim menikmati keindahan malam di ketinggian yang tidak bisa setiap hari kutemukan.

Ayu keluar dari tenda. Jaket polar membungkus tubuhnya. Juga hoodie di kepala. Dia menyalakan kompor portable, memanaskan air.

"Kau lapar tidak, Gi?" tanyanya.

"Memang kenapa?" Aku balik bertanya.

"Hih! Ditanya malah balik nanya. Aku mau bikin mi kuah. Kau mau?" Ayu sibuk mencari mi instan di kantong perbekalan kami.

"Tidak usah. Aku tidak lapar. Kau saja." Aku mengibaskan tangan.

Untuk beberapa saat senyap. Ayu sibuk sendiri bergelut dengan mi instan dan nesting yang dia gunakan. Aku tidak terlalu memerhatikan. Tetap duduk bersila menatap langit.

Tak berselang lama, Ayu sudah duduk di sebelahku, memberiku secangkir cokelat panas. Lantas meniup-niup mangkok penuh mi kuah miliknya. Aroma mi berhasil menggugah selera. Perutku mulai menggebuk drum di dalam. Meronta-ronta minta asupan. Astaga!

"Buka mulut!" Ayu menyodorkan satu sendok penuh mi di depan mulutku.

Aku terdiam.

"Ayo muka mulutnya. Kok malah diam, sih?" Ayu tak sabar. Perlahan, aku membuka mulut. Ayu tersenyum. Menggerakkan tangannya menyuapiku.

"Enak?" tanyanya antusias.

"Di gunung begini, apa pun yang bisa dimakan, ya ... artinya enak." Aku berkelakar. Memasang muka datar.

"Ish!" Ayu menyikut lenganku. Tertawa. Aku pun ikut tertawa bersamanya.

Kembali senyap. Ayu menikmati mi kuahnya. Beberapa kali menyuapiku. Aku meniup cokelat panas di genggaman. Menelannya beberapa teguk.

"Hangat!" Ayu berseru, mendekap lenganku setelah mi di mangkuknya tandas. Menempelkan kepalanya di bahuku.

Aku tersenyum. Menolehnya sebentar. Kembali hening. Suara jangkrik dan burung hantu mengambil alih. Ditambah kelap-kelip kunang-kunang berparade memamerkan ekornya yang bersinar. Elok. Bagai pertunjukan cahaya di hamparan semesta. Sudah sering aku melihatnya saat pendakianku bersama rekan-rekan pecinta alam. Namun, malam ini berbeda. Terasa lebih indah saat bersamanya.

"Terima kasih, Gio."

Aku tertegun sebentar. "Untuk?"

"Selama denganmu, aku bahagia." Dia mengembuskan napas pelan, lantas melanjutkan ucapannya lagi. "Kau tidak pandai merangkai kata, kau tidak pandai merayu, kau jarang sekali ungkapkan isi hatimu. Kau seringkali diam, bercengkrama dengan pikiranmu sendiri, tapi untukku kau sempurna. Matamu seperti berbicara saat menatapku. Sorot matamu seolah memelukku. Membuatku nyaman berada di dekatmu. Sangat nyaman malah."

Ayu tertawa pelan. Aku juga.

"Aku yang seharusnya berterima kasih. Kau terlalu baik memperlakukanku, kau peduli, kau juga perhatian. Bahkan pada hal-hal kecil yang aku sendiri kadang tak menyadarinya.” Aku mengembuskan napas gusar. Menunduk. “Sejak kecil aku dahaga akan hal itu.”

Sekilas, kenangan masa kecilku kembali. Padahal tak ada yang patut dikenang. Hanya bisa bersyukur karena aku tidak berakhir di panti asuhan. Itu sebabnya aku ingin segera dewasa. Mandiri. Mengambil kendali penuh atas hidupku sendiri.

Lihat selengkapnya