Titik air membasahi kaca mobilku. Satu dua lantas menderas turun. Lihat! Seperti yang aku bilang. Akhirnya hujan, hanya menunggu waktu saja. Aku menekan tombol. Wiper bergerak ke kanan dan ke kiri, berderit menyeka air. Banyak motor memilih menepi di bahu jalan, memakai jas hujan. Ada pula yang memilih berteduh di warung-warung kaki lima yang bertebaran di samping jalan. Terpaksa memesan segelas minuman hangat. Sungkan jika hanya menumpang berteduh saja. Ada pula yang nekat menerjang hujan. Tidak masalah basah kuyup, asalkan segera sampai di tujuan. Mungkin saja pikiran mereka seperti itu.
Akhirnya, aku melewati perempatan. Jalanan menjadi sedikit lengang. Aku bisa menginjak gas lebih dalam, menginggat aku sudah sangat terlambat. Pasti keduanya telah lama menungguku. Yah, lebih baik terlambat dari pada tidak datang. Mas Aksel bisa sangat marah jika aku nekat kabur.
Ponselku berdering. Bisa kupastikan itu Mas Aksel. Tanganku meraba dasbor. Mencari-cari hands-free yang tadi kulemparkan asal di sana. Akh ... ketemu. Langsung kupasang di telinga kiri. Menerima panggilan itu.
"Ya, halo," jawabku.
"Kau di mana, Gio? Lama sekali," protes Mas Aksel menyambutku.
"Iya, Mas. Lima menit lagi. Baru saja terbebas dari kemacetan." Aku beralasan. Ah, bukan. Memang kenyataannya seperti itu.
Mas Aksel mengembuskan napas pelan. "Ya, sudah. Kau beruntung kali ini. Hatiku sedang berbunga."
"Hmm? Kenapa?" Aku penasaran. Tanganku sigap mengemudi.
Dia tertawa. Aku ikut tertawa padahal tak mengerti apa alasannya.
Hening untuk beberapa saat.
"Kenapa? Kalau kau tidak mau menjawab, aku tutup teleponnya!" ancamku, bercanda.
"Oke, oke. Sekar, Gi! Sekar!" serunya tertahan.
"Sekar kenapa?"
"Sekar menerima cintaku! Oh, Tuhan ... aku senang sekali! Ternyata, ada untungnya juga kau terlambat, Gi. Sudah, sudah, nanti saja aku ceritakan detailnya." Suara Mas Aksel terdengar begitu bersemangat.
Deg!
Hatiku nyeri. Aku tidak tahu penyebabnya. Aneh.
"Oh ... baguslah."
"Cepatlah kau datang!" perintahnya.
"Iya. Aku segera sampai. Tinggal melewati satu bangunan lagi," jelasku.
"Oke. Aku tutup teleponnya. Tidak enak meninggalkan ‘pacarku’ lama-lama duduk sendirian. Ha-ha-ha ...." Dia tergelak. Aku pun. Sesaat kemudian sambungan telepon diputus.
Tak berapa lama, aku sudah sampai di kafe. Memarkir mobilku berdekatan dengan pintu. Hujan semakin deras. Sialnya, tak ada payung didalam mobilku. Terpaksa aku turun sembari menangkupkan kedua tangan melindungi kepalaku dari tetesan air. Berlari cepat menuju pintu kafe. Aku mengusap rambut, wajah, bahu dan tangan. Mengeringkan sekenanya sembari melangkah masuk. Mas Aksel melambaikan tangannya padaku. Tersenyum lebar. Aku balas tersenyum. Berjalan mendekat. Semakin dekat hingga berjarak satu meter dari meja mereka berdua.
Gadis yang berada di hadapan Mas Aksel memutar kepalanya. Mendongak menatapku.
Mata kami bertemu. Aku terkesiap. Badanku seketika dingin. Bukan karena kehujanan, tetapi bagai terbenam dalam lautan es di kutub selatan. Gadis itukah Sekar? Sekar kekasih Mas Aksel?
Aku melebarkan kelopak mata. Langkahku terhenti seketika. Menatapnya lekat. Menelan ludah. Dia pun sama. Kaget melihatku. Untuk beberapa detik kami saling pandang. Tiba-tiba, lalu lalang pelayan kafe tampak buram. Live music terdengar samar. Lama-lama menghilang dari pendengaran. Lantas waktu seolah berhenti. Gulita menyergap sekeliling ruangan, menyisakan cahaya terang yang tertuju pada kami berdua—lakon dalam sebuah sandiwara kehidupan. Terasa fantastis, tetapi tragis. Jantungku berdetak sangat kencang. Ingin melompat keluar andaikan bisa. Ingin sekali memeluknya.
"Gio! Ayo duduk. Kau ngapain berdiri mematung di situ?" Seruan riang Mas Aksel menelanku bulat-bulat. Memuntahkanku kembali pada kenyataan. Membiarkannya tersungkur, terguling-guling hingga hancur.
Takdir apa ini? Takdir apa ini, Tuhan?
*****
Aku menunduk. Mengembuskan napas gusar. Mengatur hatiku yang bergemuruh. Kembali mengangkat kepala. Mencoba tersenyum padahal bibirku kebas. Langkahku berat. Berbanding terbalik dengan wajah Mas Aksel yang berseri. Lihatlah senyum itu. Rona bahagia tergambar jelas di sana. Dadaku sesak. Sakit.
"Duduk di sini." Mas Aksel menepuk kursi di sampingnya.
Aku mengangguk, melemparkan pantatku di kursi itu. Berhadapan dengan dia.
"Lama banget, Gi. Kami sampai lumutan nunggunya," keluh Mas Aksel. Menepuk pelan pundakku.
Aku tersenyum kecut. Melirik gadis di hadapanku. Dia tersenyum kikuk. Lantas menundukkan wajahnya.
"Oh, iya. Gio, kenalkan ini Sekar. Sekar, ini Gio, adik sepupuku." Mas Aksel memperkenalkan kami. Aku kelimpungan bersikap. Haruskah menjabat tangannya? Tersenyum padanya? Aku harus apa?
Senyap.