Aku turun dari mobil. Enggan kaki ini digerakkan. Tak ingin melangkah lebih dekat lagi. Aku menghela napas panjang. Meniupkan pelan udara dari mulutku. Mengamati rumah berarsitektur kolonial ini. Rumah besar berlantai satu, bercat putih, beratap limasan. Pilar rumah masih kokoh seperti dulu. Saling terhubung membentuk lengkungan di atasnya. Pagar langkan yang mengelilingi seluruh teras, serta jendela kayu krepyak kupu tarung menambah kesan antik. Cahaya lampu kuning nan redup berpendar menyinari seluruh rumah berhalaman luas itu.
"Ayo, Gi! Ngapain berdiri di situ?" Mas Aksel melambaikan tangan. Memasuki teras.
Aku mengangguk pelan. Lantas melangkah setapak demi setapak. Aku menunduk. Berpegang pada pilar. Melepaskan sepatu oxford hitam mengilap yang kukenakan. Berjalan di atas tegel klasik berwarna abu-abu semen. Dingin langsung merasuk dalam tubuh. Mas Aksel menyambut bahuku. Meremasnya pelan. Mengajakku memasuki rumah.
Mas Aksel membuka pintu utama yang terbuat dari kayu jati berdaun pintu dua. Mengucapkan salam. Aku mengikutinya dari belakang. Suara sahutan terdengar jelas di telinga. Itu suara Ibu. Lembut dan tegas dalam sekali waktu.
"Ibu, Aksel pulang. Lihat nih, siapa yang Aksel bawa?!" seru Mas Aksel. Lantas melemparkan raganya di sofa. Menatapku. Memintaku duduk. Aku menurut. Duduk di sebelahnya.
"Memangnya ada siapa? Girang sekali, Nak." Suara Ibu semakin nyaring terdengar. Aku menunduk. Menutup mataku. Derap langkahnya mantap. Tap tap tap. Kini tepat di hadapan kami.
"Kejutan! Ada Gio, Bu. Waktu itu Ibu nanyain." Mas Aksel mengumbar senyum.
Aku membuka mata. Mengangkat wajah. Sosok itu berdiri tak jauh dariku. Menatapku tajam. Tidak ada senyum tergores di sana. Datar. Diam.
Seketika hening.
Mas Aksel berdiri. Menyentuh bahu Ibu, membimbingnya duduk. Kini beliau tepat di hadapanku. Masih sama. Memandangku tak suka dengan mata keriputnya. Rambut Ibu dikuncir satu. Semakin memutih dibandingkan setahun yang lalu saat lebaran. Kali terakhir aku bertandang ke rumah ini. Ibu mengenakan daster panjang berwarna merah maroon, dengan aksen batik cokelat di bagian pinggang ke bawah dan lengan. Pakaian yang biasa beliau kenakan saat hendak tidur.
Mas Aksel menyikut lenganku. Memintaku menyapa Ibu. Sebenarnya aku malas. Ibu tidak pernah suka ataupun berharap aku datang. Jadi buat apa.
Aku berdehem. Melegakan tenggorokan yang tiba-tiba tertutup gumpalan. "Apa kabar, Bu?" Pertanyaan basa-basi. Tentu Ibu baik-baik saja. Beliau sehat, terbukti saat ini duduk takzim bersama kami.