Aku masih diam. Belum bisa memejamkam mata. Denting jam terus bergerak. Terus berubah. Tak berhenti barang sekejap saja. Pikiranku berkelana. Setelah pertemuan dengan Sekar, otakku terus memutar potongan kenangan tentangnya. Bagai pita kaset yang terus-menerus rewind, kembali ke masa itu. Tanpa bisa kucegah, tanpa kuminta, tidak terbendung lagi. Dia gadis pertama yang membuatku jatuh cinta. Benar-benar tenggelam. Sulit kugapai permukaan. Sekadar mengambil udara untukku bernapas pun tak bisa.
Kau bilang aku seperti samudra. Namun nyatanya, aku hanya butiran pasir yang terhanyut ombaknya. Kau bilang sikapku sulit ditebak dan tak terduga. Padahal aku hanyalah pecundang dalam ungkapkan rasa. Aku tak tahu apa yang akan kulakukan sekarang. Merelakanmu dengan Mas Aksel? Jujur, aku belum bisa. Merebutmu kembali? Aku tak sanggup membayangkan kemarahan Mas Aksel, jika kulakukan itu. Lagi pula masihkah kau mencintaiku? Aku bingung, Ayu.
Kini, kenangan tentang perpisahan menohok jantungku. Hari itu, titik balik di hidupku. Dia memilih pergi, meninggalkanku penuh tanya. Tanpa bisa aku menahannya. Waktu bergeming melihatku merana. Tidak peduli. Apalagi berempati. Aku ingin berlari mengejarnya. Terlambat. Hanya khayalan semu. Waktu telah berlalu, membungkamku dalam pilu.
*****
Hari itu, perpisahan empat tahun yang lalu.
Hari yang cerah. Langit berseri, dihiasi awan putih tipis bergerombol di beberapa sisi. Namun, si biru tetap mendominasi. Menawan. Aku duduk di dekat jendela. Di meja ada sebuah buku yang sedang kubaca. Aku bertopang dagu, tangan yang satu bertugas membuka lembar demi lembar halaman buku. Aku melirik jam di pergelangan tangan. Ayu terlambat. Satu jam sudah aku menunggunya di sini.
Saat itu, aku dan Ayu sudah dinyatakan lulus. Seminggu lagi kami wisuda. Setelah melewati skripsi berdarah-darah, sidang plus ujian komprehensif. Akhirnya selesai sudah perjuangan kami. Perjuangan untuk mendapatkan gelar sarjana yang kami idamkan. Aku mengangkat wajah. Menoleh pada kaca jendela. Di luar terik. Angin berembus kencang. Daun kering beterbangan. Tergolek pasrah di atas aspal hitam jalanan.
Aku termenung. Mengamati rumput yang memaksa tumbuh di sela-sela paving block berbentuk hexagon seluas halaman perpustakaan. Hijau segar, kontras dengan warna abu-abu paving itu. Bagi sebagian bahkan banyak orang, rumput itu mengganggu estetis lingkungan. Tetapi siang itu, aku punya pandangan lain. Rumput itu pantang mati. Terus tumbuh meski terjepit. Tidak menyerah meski tempat hidupnya telah direnggut, dijadikan bangunan beton. Ia seolah tak peduli, walau tubuhnya diiinjak-injak setiap waktu, ia memilih untuk terus bangkit.
Kini pandanganku beralih pada jalanan. Daun kering berserakan. Berkaca dari daun itu. Jika sudah sampai masanya, ia akan menguning, kering dan akhirnya jatuh terenggut angin. Membiarkan helainya hancur tergerus roda kendaraan atau terinjak kaki tak berperasaan. Ia tak pernah berontak, karena itu hukum alam. Kuncup daun baru nan hijau akan segera menggantikan posisinya. Itulah kehidupan. Pohon pun demikian. Ia tak pernah merasa tersakiti meski manusia melukainya dengan parang yang tajam. Memotong dahannya, menebangnya atau menyayat kulitnya. Ia tak menuntut permintaan maaf atau bahkan membalas perbuatan keji manusia. Diam dan terus tumbuh menjulang.
Sejenak aku berpikir. Dalam perjalanan hidupku, aku ingin segera dewasa. Ingin meneladani sifat rumput yang tangguh, daun yang ikhlas dan tulus, serta pohon yang pemaaf dan tegar. Tetapi, apa aku bisa? Entahlah.
Tiba-tiba, aku gelisah. Anganku melanglang buana. Mengingat-ingat lagi. Sikap Ayu terasa berbeda sebulan terakhir. Binar di matanya meredup. Tidak secerah arunika. Tidak seindah cahaya senja. Senyumnya pun terasa ganjil. Lesung pipinya tak sekalipun mengintip. Tidak selepas biasanya. Tutur katanya berubah. Lebih terstruktur, tetapi terkesan dibuat-buat. Dia tidak seriang Ayu yang kukenal. Selalu berkelit saat kuajak bertemu. Padahal lazimnya, dia-lah yang meminta waktu lebih untuk bersamaku. Lebih parah, kata “terserah” mendadak akrab di telinga. Jawaban yang membuatku memutar otak keras. Dia yang biasanya bersemangat menentukan apa pun, kini enggan bersuara. Sebenarnya ada apa? Apa aku melakukan kesalahan? Hatiku ingin mendobrak paradigma yang melekat pada diriku. Ingin bertanya langsung padanya. Namun akhirnya, tak pernah tersampaikan. Bibirku beku jika berhadapan dengan mata bulat sendu miliknya. Hatiku meronta tetapi sikapku justru sebaliknya. Semakin diam termakan dilema. Hanya saling melempar senyum canggung. Sungguh tidak nyaman.
Dan, “ada yang ingin kau sampaikan?” Berulang kali Ayu tanyakan hal itu. Membuat dahiku berkerut, sesaat setelah Ayu melontarkan pertanyaan aneh itu.
Siang itu, dia memintaku datang ke perpustakaan. Sudah lama kami tidak berkunjung dan berbincang di tempat ini. Tempat awal kami bertemu. Semoga akan membawa angin segar dalam hubungan kami. Aku tidak ingin berpisah dengannya. Memikirkannya pun tidak bisa. Jangan sampai hal itu terjadi, Tuhan. Ayu orang terdekatku setelah Mas Aksel. Jangan hilangkan dia dari semestaku.
"Gio ...."
Aku terperanjat. Suara yang sangat kukenal. Aku menoleh. Ayu berdiri, sedikit berjarak. Menundukkan kepala. Rambut hitam panjang sedikit menutupi parasnya.
"Maaf, aku terlambat." Ayu masih berdiri. Jemarinya saling remas.
Aku menggeleng cepat. Tersenyum. "Tidak apa-apa. Duduk, Ayu." Aku mengarahkan dagu pada kursi di hadapanku.
Ayu menurut. Menempatkan diri di kursi itu. Hening kembali berkuasa.
"Gi—"
"Ayu—"
Kami tertawa pelan. Kikuk.
"Kau saja dulu," tawarku.
Ayu menggeleng. Menatapku. "Kau dulu, Gio. Aku ingin dengar."
Aku terhenyak melihat matanya. Redup. Binar itu hampir sirna. Aku tak kuasa bertanya. Aku menundukkan kepala. Entahlah. Hatiku nyeri. Seperti tertusuk ribuan duri. Kami tidak baik-baik saja. Aku yakin itu. Ayolah, Gio. Bertanyalah!
"Kau ... kau apa kabar? Kau sehat, kan?”
Tolol! Mengapa pertanyaan itu yang keluar dari mulutku? Bukan itu.
Ayu mengangguk. "Iya, Gi. Kabarku baik dan aku sehat."
Senyap.
"A-ada yang ingin kau sampaikan?"
Hmph! Pertanyaan itu lagi. Hatiku semakin nyeri mendengarnya.