Regrets

Fitriyana
Chapter #9

9. Menikah?

Enam bulan berlalu sejak pertemuanku dengan Ayu malam itu. Aku tidak pernah bertemu dengannya lagi. Hubungan Mas Aksel dan Ayu baik-baik saja. Kakakku selalu membicarakan dia setiap saat. Jenuh. Aku ingin menghindar. Tetapi, apa daya bibir ini terlipat sempurna. Malah ikut tergelak saat Mas Aksel tertawa mengingat suatu kejadian lucu bersama Ayu. Persona. Iya. Itu yang kuperlihatkan pada kakakku. Seolah aku baik-baik saja. Padahal itu hanya topeng. Aku tidak baik. Sejujurnya, masih enggan melepaskan bayang-banyang Ayu. Tak rela gadis itu bersama Mas Aksel.

"Gi, sampeyan tahu ndak? Akan ada kunjungan kerja dari RU (Revinery Unit) Kalimantan." Deni menepuk pundakku. Aku menoleh kaget.

"Oh, ya? Kapan?" Aku bertanya antusias. Ini soal pekerjaan. Aku akan sangat bersemangat. Karena ini satu-satunya yang tersisa di hidupku.

"Aku juga ndak tahu." Deni mengedikkan bahu. Logat khas Jawa masih kental di setiap kata yang dia ucapkan. Padahal, Deni sudah menetap beberapa tahun di ibu kota.

Aku mengangguk. Deni menepuk bahuku lagi. Pamit untuk kembali ke bilik kerjanya. Aku tersenyum, mengangguk pelan. Lantas fokus pada layar komputer. Berkutat pada pekerjaan yang belum terselesaikan.

*****

Hari yang melelahkan. Memang setiap hari seperti ini. Tidak ada bedanya. Aku duduk di sofa selepas membersihkan diri. Aku melirik jam di dinding. Masih pukul delapan malam. Masih terlalu awal untuk tidur. Aku menyalakan televisi. Menekan tombol remot kontrol. Mencari-cari program acara yang kusuka. Akhirnya mataku terpaku pada sebuah film animasi. Bercerita tentang sebuah keluarga. Mataku terasa panas. Aku lemah dengan alur cerita seperti ini. Dadaku sesak, tetapi perasaan hangat mengalir di sana. Andai aku punya keluarga. Aku punya, tetapi terasa asing untuk disebut keluarga.

Tettt ... Tettt!

Aku menoleh. Mengusap ujung mataku yang berair. Mematikan televisi. Siapa pula bertamu malam-malam begini? Pasti Mas Aksel. Aku bangkit. Langsung menuju pintu, membukanya. Sesuai dugaanku, wajah itu menyembul dari balik pintu. Tersenyum lebar. Masih memakai baju kerja. Dasar pemalas.

Eh, tunggu dulu. Mataku beralih pada gadis di belakangnya. Itu Ayu. Tersenyum kikuk. Menunduk. Aku menelan ludah. Untuk apa Mas Aksel membawa Ayu ke apartemenku? Ingin pamer? Akh ... Ya Tuhan, pikiranku picik sekali. Tidak mungkin Mas Aksel berbuat seperti itu. Dia saja tak tahu sejarah hubunganku dengan Ayu.

"Hei, Gio. Kami tidak boleh masuk?!" seru Mas Aksel. Wajahnya cemberut, berkacak pinggang. Sedikit mengagetkanku.

"Oh, maaf. Lupa. Ayo masuk." Aku membuka pintu lebar-lebar. Menunggu Mas Aksel dan Ayu masuk. Lantas menutupnya rapat.

Mas Aksel langsung duduk di sofa. Berdampingan dengan Ayu. Aku mengusap wajah. Aku harus membiasakan diri melihat keduanya bersama. Meskipun sampai detik ini aku belum bisa.

"Gi, Sekar membawakan kue untukmu. Asal kau tahu, dia pintar sekali memilih. Padahal, aku belum memberi tahu apa kesukaanmu, dia sudah menjatuhkan pilihan yang tepat." Mas Aksel meletakkan sekotak kue di meja. Sungkan, aku mengambilnya.

"Terima kasih, Sekar," ucapku lemah. Gadis itu mengangguk, tersenyum tipis. Aku membawa kue itu ke mini bar di dekat dapur, lantas membukanya. Aku menghela napas panjang. Tersenyum kecut. Kue yang sama. Dulu, Ayu pernah memberiku kue persis seperti ini. Aku sangat menyukainya. Sekarang, dia memberiku kue ini lagi. Namun, berbeda arti. Bukan lagi karena dia peduli, hanya bentuk formalitas tanpa arti. Miris.

Aku memotong kue itu. Meletakkannya di beberapa piring kecil. Menyajikannya untukku beserta dua tamuku.

"Terima kasih, Gi." Mas Aksel mengambil kue itu. Langsung menyantapnya.

"Kalian mau minum apa?" tanyaku.

"Apa saja. Kau, Sekar?" Mas Aksel menoleh pada Ayu, aku pun ikut menatap gadis itu.

"Aku ... aku terserah saja." Seutas senyum terkulum di bibirnya. Aku tertegun sebentar, teringat akan sesuatu. Dulu, “terserah” adalah kata yang sering Ayu ucapkan sebulan terakhir sebelum kami berdua berpisah. Kata yang menggambarkan kalau hatinya sedang tidak baik-baik saja. Mungkinkah saat ini pun? Ah, masa bodoh.

Aku berjalan menuju dapur. Membuat minuman untuk kami bertiga.

Lihat selengkapnya