Hari berlalu dengan cepat. Seminggu sudah berlalu sejak aku menerima kabar keduanya akan menikah. Aku mengembuskan napas lelah. Duduk di atap gedung tempatku bekerja. Menikmati langit merah dari ketinggian. Sebentar lagi matahari bertekuk lutut di kaki cakrawala. Jangan anggap seindah di pantai. Tidak. Polusi mendominasi langit kota. Kabut asap membuat mata perih. Jarak pandang pun terbatas. Aku menenggak air mineral botol. Membasahi kerongkonganku yang kering kerontang.
Kabar tentang pernikahan mereka membuatku berpikir keras. Perlukah aku jujur pada Mas Aksel tentang hubunganku dengan Sekar? Aku tak ingin berbohong, apalagi membuatnya terluka. Namun, jika pernikahan itu benar terjadi, jangan harap aku mau merestui. Aku tak sudi. Egoiskah aku? Terserah. Selama ini aku berusaha untuk patuh. Sangat patuh hingga leherku tercekik. Sulit bernapas. Nyatanya, tak ada yang berjalan seperti harapanku. Aku tetaplah setitik nila menyedihkan. Tak pernah dipedulikan. Selalu dianggap benalu yang harus dimusnahkan.
"Sampeyan ngapain di sini, Gi?" Deni menyentuh pundakku. Lantas duduk di sebelahku. Ikut menatap langit. Aku tersenyum tipis. Deni adalah teman sekantorku. Kami saling mengenal saat mengikuti seleksi masuk di perusahaan ini. Beruntung, kami berdua diterima. Ditempatkan pada divisi dan kantor yang sama pula. Dan ya, aku lumayan dekat dengan Deni. Bisa dibilang dia satu-satunya sahabatku saat ini.
"Hanya ingin melihat langit merah. Ditemani polusi yang merajalela," jawabku bergurau.
"Ah ... sampeyan ini!" Deni menyikut lenganku. Tergelak.
"Sebenarnya ada apa? Cerita, Gi. Aku tahu kalau sampeyan duduk sendirian di sini, bisa dipastikan sampeyan ini sedang galau alias banyak pikiran." Deni berpendapat. Skakmat. Aku memang sedang banyak pikiran. Ah, bukan. Sebenarnya hanya satu, tetapi merenggut seluruh ruang di otakku.
"Masalah wanita?"
Mataku membulat. Refleks menoleh. Berusaha menahan mimik mukaku agar terkesan biasa saja. Menelan ludah.
"Ha-ha-ha ... wanita apa? Jangan asal menyimpulkan, Den," jawabku kikuk. Memutar bola mata. Menggaruk kepalaku yang tak gatal.
Deni tersenyum penuh arti. "Ya sudah kalau sampeyan ndak mau cerita.” Deni menepuk lenganku. “Sini, tak kasih tahu, Gi. Wanita itu rumit. Lain di mulut, lain di hati. Kadang bilang tidak padahal dalam hati iya. Sukanya bermuka masam, kalau ditanya selalu bilang ‘ndak ada apa-apa’. Ah ... makhluk paling absurd di dunia."
Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Benarkah ini Deni yang bicara? Jomlo akut dari lahir? Astaga. Tetapi harus kuakui, semua yang Deni katakan benar. Itulah wanita.
Aku tergelak keras. Disusul Deni yang ikut tertawa. Kembali menatap langit petang. Matahari benar-benar takluk. Hilang sudah. Hanya semburat kemerahan yang masih tersisa. Lampu-lampu kota berpijar. Bunyi klakson melenguh, jalanan mulai padat. Waktu pulang kerja. Seperti biasa, jalanan mulai mengular. Dan aku, masih duduk takzim. Enggan pergi. Masih ingin berdiskusi dengan angin kosong. Tak perlu jawaban, ingin didengar saja. Mengangkat kedua tanganku ke atas, jemari mengepal, meregangkan otot. Mendongak. Tolong Tuhan, aku hanya ingin bahagia. Bisakah hilangkan dia dari hati dan pikiranku? Separuh hatiku mengeluh. Separuh hatiku yang lain tak ingin dia hilang. Inginkan dia menjadi milikku seutuhnya. Aku lelah dengan perdebatan batinku. Lelah, Tuhan.
*****
Esok harinya, setelah jam makan siang. Kantor mendadak sibuk. Tamu itu–yang dibilang Deni tempo hari–benar datang siang ini. Rombongan ini dari kilang minyak di Kalimantan. Informasinya sebatas itu, belum ada yang lain. Satu divisi berbenah. Para cleaning service cekatan membersihkan ruangan. Kepala divisiku menyiapkan berkas laporan. Apa itu diperlukan? Aku pun tak tahu. Aku bekerja seperti biasa. Tidak ikut kehebohan siang itu. Banyak rekanku bergerombol. Berbisik-bisik. Menerka apa yang akan dibicarakan dan dilakukan rombongan itu di kantor kami. Sungguh, aku tidak peduli. Tetap setia dengan komputerku.
Tamu itu menyambangi ruangan kami. Langsung disambut kepala divisiku. Berjabat tangan, beramah tamah sebentar. Lantas masuk ke ruang kerjanya. Aku melihat sekilas. Pastilah beliau orang penting. Perawakannya tinggi, tidak kurus atau pun gemuk. Pas. Hampir seluruh rambutnya memutih. Kaca mata membingkai kedua indra penglihatannya. Beliau mengenakan kemeja putih. Ada logo perusahaan di dada kanan. Sama seperti yang kupakai dan ribuan karyawan lain di perusahaan ini.
Setelah satu jam di dalam, tamu berserta kepala divisiku keluar ruangan. Mengobrol, diselingi gelak tawa yang menggema di langit-langit, menyeruak ke segala penjuru. Aku masih tak acuh. Tetap melanjutkan pekerjaanku. Tiba-tiba, derap langkah berhenti di hadapanku. Aku mendongak. Kepala divisiku memintaku berdiri. Berjabat tangan dan memberi salam pada tamu kami. Bapak itu tersenyum ramah. Menganggukkan kepalanya.
"Ini Giovano, Pak Teguh. Akrab dipanggil ‘Gio’.Yang kita bicarakan tadi." Atasanku itu menepuk bahuku pelan. Aku tersenyum kikuk. Menundukkan dagu. Rekan yang lain melirik. Membuatku tak nyaman menjadi tontonan.
"Kapan-kapan kita berbincang, Gio." Bapak itu tersenyum. Wajahnya teduh.
"Baik, Pak," jawabku patuh. Berpikir, apa yang ingin Bapak ini bicarakan denganku?
"Tolong, Tika. Atur jadwal saya bertemu dengan Gio, ya," Pak Teguh berseru pada salah satu staf yang ikut dengan rombongannya.
"Baik, Pak Teguh." Gadis itu menjawab. Aku tak asing dengan suaranya. Aku sedikit miringkan kepala. Melihat gadis itu. Rambutnya lurus sebahu. Hitam legam. Anak-anak rambut tertata rapi di dahinya. Dia menundukkan wajah. Mencatat apalah aku tak tahu.
Beberapa detik aku mengamati, gadis itu mengangkat wajahnya. Aku terbatuk. Tersedak ludahku sendiri. Orang yang amat kukenal. Pandangan kami bertemu. Dia tersentak. Gadis itu Tika—kawan karib Ayu. Terakhir bertemu saat aku kebingungan mencari Ayu di indekos mereka. Dan kata-kata tajam menusuk jiwa jadi kenang-kenangan pertemuan terakhir kami. Nostalgia sekali.
Aku mencoba tersenyum. Menundukkan dagu ramah. Dia tersenyum tanggung. Syukurlah, setidaknya dia membalas senyumku. Akan canggung dan aneh jika dia tetap jutek seperti dulu.
Rombongan itu tak bertahan lama berada di ruang kerjaku. Aku belum sempat berbicara dengan Tika. Sesaat sebelum keluar, gadis itu sempatkan menoleh ke arahku. Hanya sekejap saja, lantas memalingkan wajahnya. Kembali menatap lurus ke depan, berjalan di belakang Pak Teguh.