Hari terus berganti, aku masih berkubang dengan pekerjaan. Sedikit terlepas dari bayang-bayang Ayu. Aku ingat terakhir kali bertemu dengannya di apartemenku–mengabarkan rencana pernikahannya dengan Mas Aksel. Akh ... Tuhan. Aku ingin membebaskan hatiku. Berlapang dada menerima takdir cinta kami bertiga. Dalam kasus ini, aku-lah yang paling menderita.
Siang itu, Pak Teguh memintaku menemui beliau di ruangannya. Hendak berbincang. Kepala divisiku tidak berani melarang. Melemparkan pekerjaanku pada Deni. Aku tertawa melihatnya menggerutu, cemberut, mengepalkan tangan. ‘Dasar anak emas’, serunya ketus saat aku berpamitan, melenggang keluar dari ruang kerjaku.
Aku mengetuk pintu—sesaat setelah tersenyum pada Tika ketika berpapasan dengannya—lalu membukanya. Pak Teguh tersenyum cerah. Mempersilakanku duduk. Lantas meminta office boy membuatkan dua cangkir teh hangat. Kami duduk berhadapan setelah sebelumnya saling berjabat tangan. Pak Teguh menanyakan jawabanku tentang tawarannya. Aku belum bisa memutuskan, meminta waktu lagi. Masih ada tiga minggu tersisa. Biarkan aku memikirkannya masak-masak.
"Kau mengingatkan saya saat muda dulu, Gio. Terombang-ambing karena perasaan yang kita ciptakan sendiri." Pak Teguh menatapku. Tersenyum penuh arti.
Aku melipat dahi, belum bisa mencerna ucapannya.
"Saya mengerti. Dari awal sudah saya tekankan, tidak ada unsur paksaan di sini. Saya akan hargai semua keputusanmu, Gio.” Pak Teguh tersenyum. “Tapi, kalau Bapak boleh menebak, apakah ini ada hubungannya dengan wanita?"
Aku terkesiap. Menelan ludah. Langsung menatap mata teduh orang tua ini.
Pak Teguh membenarkan posisi duduk. "Melihat matamu, saya rasa tebakan saya benar. Dan tidak berjalan dengan baik. Benar begitu?"
Aku menggigit bibir. Dengan berat menganggukkan kepala.
Pak Teguh tertawa pelan. Aku pun ikut tertawa. Lebih tepatnya menyeringai malu.
"Kau mau dengar cerita, Gio?" Pak Teguh bertanya, masih tersenyum. Aku mengangguk saja. Tak ada alasan untuk menolak.
"Ini cerita karibku." Pak Teguh memulai kisahnya. "Tersebutlah dua anak manusia. Panggil saja mereka Bijak dan Kembang. Usia keduanya terpaut dua tahun. Lebih dewasa Bijak. Mereka tumbuh bersama. Selalu berdua. Bermain di pematang sawah, mencari katak, berenang di aliran sungai irigasi. Bahkan mencuri ketimun. Macam kancil itu. Masa kecil bahagia, umumnya anak-anak berusia belasan awal. Keduanya masih kanak-kanak saat mengenal cinta. Ah, bukan. Si Bijak-lah yang mencintai Kembang. Kalau Kembang entah mencintai Bijak atau tidak.