Aku duduk di kursi. Mataku menyapu setiap inci ruang ini. Kursi-kursi lain sudah ramai diisi pengunjung. Live music pun sudah mengalun merdu. Cahaya kuning temaram dari lampu gantung menambah suasana hangat dan nyaman. Canda tawa samar-samar terdengar. Wajah semua pengunjung tampak berseri. Ada yang berdua dengan orang terkasih; ada yang berkumpul dengan keluarga; ada yang nongkrong bersama para sahabat atau kolega. Saling bergerombol dan tentu saja aura bahagia tumpah ruah. Memenuhi langit-langit kafe. Namun, ada pula yang sendirian. Melepaskan pandangan melalui jendela berkaca lebar. Tenggelam dalam lamunannya sendiri. Orang itu adalah aku. Sendiri menyisir lanskap kota. Gedung-gedung pencakar langit. Asap mengepul dari warung kaki lima di pinggir jalan. Lampu jalanan yang sudah menyala. Langit murung, mega bergulung menutupi kerlip bintang. Bulan purnama yang menggantung di angkasa hanya terlihat sebagian. Tertutup awan yang tak kunjung hilang.
Percakapanku dengan Pak Teguh kala itu, terlintas kembali di kepala. Aku tertegun. Apa benar aku bimbang karena perasaan yang kuciptakan sendiri? Dari awal cinta ini bukan aku yang meminta. Bukan aku mengada-ada. Hadir begitu saja. Lantas menetap meski pemilik hati telah lama menepi. Memilih menyingkir dan pergi. Aku embuskan napas pelan. Menundukkan wajah. Menatap sepatu hitamku nan mengilap.
"Gio?" Suara seorang dara mengagetkanku. Aku langsung mendongakkan kepala. Siapa?
"Kau Gio, kan?" tanyanya.
Aku mengangguk. Berpikir cepat, mencari wajah gadis itu dalam potongan ingatanku.
"Astaga! Kau berubah sekali. Tambah tampan sekarang. Kau pulang kerja?" Suara itu riang. Aku mengangguk lagi. Seperti boneka mainan yang menempel di dasbor mobil, mengangguk-angguk tanpa henti. Masih berpikir keras siapa gadis ini?
Tanpa meminta izin, gadis itu langsung duduk di kursi. Berhadapan denganku. Aku menatapnya. Rambutnya hitam panjang. Anak-anak rambut tertata rapi di dahi. Kulitnya putih bersih. Hidung dan bibirnya mungil, sepadan dengan wajahnya yang juga mungil. Mata hitam berkilauan, sedikit sipit. Memakai gaun midi selutut. Bermotif bunga-bunga kecil tanpa lengan. Meletakkan clutch berwarna baby pink di meja, senada dengan gaunnya.
Gadis itu mengulurkan tangan. Aku terdiam sesaat. Menyambut tangannya ragu-ragu.
"Aku Jenni. Kau lupa? Ya Tuhan, Gio ...." Gadis itu terkekeh pelan. Menutup bibirnya malu-malu.
Ah ... Jenni. Iya aku ingat. Dulu sering melihatnya karena dia pelanggan kafe di tempatku bekerja saat aku masih kuliah. Hanya sebatas itu, aku tak begitu mengenalnya.
"Kau kerja di situ?" Jenni menunjuk dada kananku. Aku menunduk, mengikuti arah telunjuknya. Tertera bordiran nama perusahaan tempatku bekerja. Aku mengangkat kepala. Tersenyum simpul. Mengangguk pelan.
"Keren!" Mata Jenni berbinar. Untuk beberapa jenak aku terkesima. Binar di matanya laksana milik Ayu. Aku memutar bola mata. Mendengus pelan. Apanya yang keren? Hanya jadi budak korporat. Tak ingin terbuai pada sanjungan Jenni.
Jenni mengangkat tangan, memanggil pelayan kafe. Memesan segelas minuman. Duduk takzim menemaniku. Aku tak mungkin mengusirnya. Toh, ini tempat umum. Aku malah sedikit terhibur, mendengarnya berceloteh tentang berbagai hal tidak penting. Tetapi, aku malas menimpali. Terserah dia merasa diabaikan atau tidak. Bukan aku yang memintanya duduk dan bertahan di dekatku.
"Kau tidak berubah Gio. Masih saja pendiam seperti dulu. Cuek dan membosankan." Jenni mendengus kesal. Cemberut. Mengerucutkan bibirnya. Tiba-tiba tangannya terulur, perlahan menyentuh ujung jariku. Aku melonjak kaget.
"Waw ... Gio!"
Suara yang sangat kukenal. Aku menoleh cepat. Menarik tanganku. Tersenyum pada kakakku ini.
"Siapa ini?" tanya Mas Aksel sesaat setelah duduk. Tersenyum miring menggodaku. Diikuti Ayu yang duduk bersisihan dengan Mas Aksel. Aku melirik Ayu. Wajahnya muram, pucat. Senyum terbit di bibirnya. Terpaksa. Sangat jelas terbaca.
Tanpa permisi, Jenni langsung menyodorkan tangan. "Halo, Mas. Kenalkan. Namaku Jenni." Diikuti senyuman semringah. Sungguh memuakkan.
"Halo, aku Aksel. Kakaknya Gio. Ini tunanganku, Sekar,” balas Mas Aksel. Ketiganya saling berjabat tangan.
“Kau temannya Gio?" Mas Aksel penasaran.
"Betul. Seratus buat Mas Aksel." Jenni mengacungkan jempolnya. Mengedipkan satu matanya genit.
"Ha-ha-ha ... kau sangat ceria, Jenni. Cocok untuk adikku yang pemurung ini," seru Mas Aksel senang.
"Ah, Mas Aksel bisa saja. Jenni, kan, jadi malu." Jenni tersenyum. Menyentuh kedua pipinya yang membulat. Aku menyeringai. Tak bisa berbuat apa-apa untuk menyela.
Pandanganku beralih pada Ayu. Gadis itu menunduk. Diam seribu bahasa. Bagai manekin yang dibiarkan begitu saja. Cantik, tak usah diragukan lagi. Namun, tak ada percikan semangat dalam dirinya. Itu yang kutangkap dari air mukanya.
"Oh, iya. Ada yang ingin aku sampaikan, Gio." Mas Aksel memutus lamunanku. Secepat kilat aku memutar bola mata. Jangan sampai ketahuan memerhatikan tunangannya.
"Sekarang, Mas?" Aku melirik tajam ke arah Jenni. Memberinya kode untuk meninggalkan meja kami bertiga. Yang akan dibicarakan Mas Aksel pasti masalah pribadi. Tentu saja Jenni tak berhak untuk tahu apalagi mencampuri nantinya.
"Apa sih, Gi? Aku tak akan ganggu, kok. Jangan pelototin aku gitu. Serem, tahu!" Jenni menjulurkan lidahnya. Mas Aksel tertawa. Bagi sebagian orang sikapnya mungkin lucu dan imut, tetapi tidak denganku. Membuatku naik darah.
"Ya sudah, Gio. Biarkan Jenni di sini. Kami juga tidak keberatan. Iya, kan, Sekar?" Mas Aksel meraih bahu Ayu. Mengelusnya pelan. Aku memalingkan muka. Enggan melihat pemandangan seperti ini.
"Iya, Mas. Tidak apa-apa." Ayu menoleh. Suaranya parau seperti menahan tangis.
Mas Aksel tersenyum. Ayu pun balas tersenyum. "Gi, aku dan Sekar akan menikah sebulan lagi."
Aku tercengang. Bagai disambar petir jutaan volt. Mengusap dahiku yang seketika penuh titik-titik keringat.
Aku tidak salah dengar, kan? Sebulan lagi?
"Sebulan lagi?" gumamku lemah.
"Iya. Aku sekalian mau minta maaf, Gio. Waktu melamar Sekar, kau tidak kuajak serta. Ibu yang memintanya. Aku tidak kuasa untuk membantah. Maaf sekali lagi," ucap Mas Aksel penuh penyesalan. Aku hanya bisa diam. Tersenyum penuh luka. Hatiku sakit, tercabik-cabik mendengar berita ini. Ayu dan Mas Aksel akan segera menikah. Sebulan lagi. Secepat itu. Lebih menyakitkan lagi, Ibu tidak ingin aku berada di tengah kebahagiaan mereka semua. Baiklah. Aku mengerti. Aku bukan siapa-siapa. Toh, aku pun tak sudi menghadiri pernikahan itu kelak.
"Ma-maaf. Maaf, Gio. Maaf ...." Ayu mengusap pipi. Meleleh sudah air dari pelupuk matanya.