"Makin lengket saja sampeyan sama Pak Teguh," sindir Deni di sela-sela menggulung mi goreng di piring. Tersenyum miring. "Sampeyan jadi ambil tawarannya?" Deni bertanya lagi dengan mulut penuh makanan.
Aku mengambil air mineral botol di meja. Meneguknya pelan. Meletakkannya kembali. "Entah, Den. Aku masih bingung."
"Kukasih saran. Kalau aku jadi sampeyan, tanpa pikir panjang langsung kuterima tawaran Pak Teguh. Kesempatan ndak datang dua kali, Mas Bro. Karir cemerlang terbuka di depan mata. Jalan sudah tertata rapi, tinggal sampeyan mau lalui itu atau berbelok pergi. Pikirkan cepat. Apalagi Pak Teguh suka sekali sama sampeyan. Kapan lagi bisa dekat dengan seorang senior manajer seperti beliau." Deni berkata panjang, sekali dua mengacungkan garpunya di depan wajahku.
Seketika wajah Deni berubah muram. "Sayangnya itu sampeyan Gio, bukan aku. Wajar sih, sampeyan lulusan universitas ternama. Karyawan teladan pula. Aku bangga sama sampeyan, sekaligus iri. Aku diterima di perusahaan ini saja, bagai dapat durian runtuh. Sampai Emak Bapakku ndak percaya anaknya yang bandel ini lolos wawancara kerja. Ha-ha-ha ...." Deni tergelak. Suaranya keras menggelegar. Membuat kantin tambah riuh karena ulahnya. Aku pun ikut tertawa. Deni, orang yang sangat tulus dan jujur dengan perasaanya. Justu aku yang dibuat iri dengan sifatnya.
"Hai, Gio, Deni. Boleh ikut gabung?" Kami berdua menoleh pada sumber suara. Tika tersenyum, memamerkan gigi gingsulnya.
"Boleh, Cah Ayu. Dengan senang hati." Mata Deni berbinar. Senyum di bibirnya mengembang, selaras dengan lubang hidungnya yang ikut kembang kempis karena terlalu bersemangat.
Deni menyikut lenganku. Aku menoleh. Deni memberiku kode agar menyingkir. Dengan malas aku berdiri. mengosongkan kursiku. "Duduk sini saja, Tika." Deni menepuk-nepuk kursi—bekasku duduk—di sebelahnya saat Tika hendak menepati kursi lain.
"Eh, tapi, kan, itu tempat Gio," tolak Tika.
"Ndak, kok. Gio sudah selesai makannya. Biar pindah di situ." Deni tersenyum. Sesuka hatinya menyuruhku menepi. "Dekat Deni saja, Tika. Paling enak tempatnya, pas hadap jendela. Bisa lihat pemandangan luar," rayu Deni. Tika tersenyum canggung. Melirikku tidak enak hati. Aku mengangguk merpersilakan. Lantas menoleh, melotot pada Deni yang hanya nyengir tanpa dosa.
"Maaf, Gio." Tika berkata lirih. Aku mengibaskan tangan. Bukan soal penting. Lagi pula tidak ada namaku tertempel di kursi itu. Kantin adalah fasilitas umum. Semua pegawai punya hak yang sama.
Tika duduk. Tersenyum tanggung pada Deni yang terus saja memandangnya tanpa berkedip. Tentu saja perbuatan Deni membuat Tika risi, hingga gadis itu memalingkan wajah saat menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Membuatku geleng-geleng kepala.
"Gi, aku kemarin bertemu Ayu," ujar Tika. Meletakkan sendok dan garpunya dalam posisi menutup.
Aku melebarkan kelopak mata. Menghentikan jariku yang sedari tadi menari di permukaan gawai. Menatapnya kaget.
Aku mengubah mimik muka. Berdehem pelan. "Oh .... Bagaimana kabar Ayu?" bertanya dengan intonasi santai. Padahal hatiku bergemuruh mendengar namanya disebut.
Dia—”
"Ayu siapa?" Deni menyela. Memotong perkataan Tika.
Aku dan Tika saling pandang. Hening sesaat.
"Kabar Ayu baik, Gi. Aku justru kaget saat dia bilang akan menikah. Sebulan lagi pula." Tika meneruskan ucapannya. Tidak menanggapi pertanyaan Deni.
Tika tersentak, lantas memukul bibirnya. Seolah menyesal karena telah salah bicara.
"Kau ... sudah tahu, Gi?" Tika bertanya, ragu-ragu.
Aku tersenyum kecut. Menganggukkan kepala pelan.
"Kau baik-baik saja, kan?"
"Itu tidak penting, Tika. Yang penting Ayu bahagia. Apalagi calon suaminya kakak sepupuku sendiri. Aku pasti bahagia untuk keduanya." Aku berbohong. Menggigit bibirku kuat. Berpura-pura tegar.
Tika menunduk. Gadis itu tidak terkejut. Ayu pasti sudah memberitahu Tika betapa rumitnya hubungan kami.
"Tapi, Gi. Aku tahu kau masih sa—"
"Cukup, Tika. Cukup. Jangan ungkit masa lalu. Kumohon." Aku menggeleng cepat. Tersenyum pahit.
Tika mengangguk, menundukkan wajahnya. "Maaf, Gio."
Hening.
Deni berdehem. "Maaf, nih, ganggu sebentar, ya. Ngomong-ngomong siapa ‘Ayu’?" Deni bertanya lagi, memecah keheningan. Menoleh padaku dan Tika bergantian. Penasaran. Melebarkan kupingnya kalau-kalau salah satu dari kami berkenan menjawab.
Aku berdiri. "Tika, aku balik dulu, ya. Salam untuk Ayu."
"A-aku ikut, Gio. Bareng saja jalannya." Tika ikut berdiri, menyusulku. Meninggalkan Deni sendiri. Pria itu menggerutu. Menggeram. Langsung menyambar leherku dari belakang dengan kencang.
"Kenapa pada ninggalin aku sih?!" seru Deni tak terima.
Aku menarik tangan Deni. Melepaskan lengannya dari leherku. "Pikir saja sendiri," jawabku berseloroh. Tika terkekeh melihat tingkah kami. Deni masygul. Memilih diam menyelaraskan langkahnya denganku. Berjalan di antara aku dan Tika.
*****
Aku duduk di ruang tunggu. Melihat secarik kertas di tangan. Masih ada dua antrean di depanku. Aku menghela napas panjang. Menunduk. Mengamati garis-garis nat pada lantai gedung. Hampir satu jam aku duduk mematung, akhirnya nomor antreanku dipanggil. Aku berjalan pelan menuju kursi yang ditunjukkan.
"Selamat siang, Bapak. Silakan duduk. Dengan saya—" ucapan customer servis itu terjeda. Aku mengenalinya.
"De-dengan saya, Sekar, ada yang bisa saya bantu?" Ayu tersenyum tanggung. Aku juga tersenyum. Lantas kami berdua duduk.