Regrets

Fitriyana
Chapter #14

14. Topeng

Hari Senin mengawali pekan ini. Tidak terasa dua minggu lagi Ayu dan Mas Aksel akan menikah. Semua persiapan dalam proses pengerjaan. Aku menghela napas panjang. Memencet tombol lift. Menunggu pintu terbuka. Deni sudah lebih dulu meninggalkan kantor selepas waktu pulang tiba, berlari tunggang langgang. Ujung bibirnya tak henti terangkat. Cengengesan seperti orang gila. Ada kencan dengan Tika katanya. Meski baru tiga minggu mereka saling mengenal, Deni begitu gencar mendekati Tika. Barangkali Tika jenuh, capek atau bahkan khilaf hingga mau jalan dengan Deni. Entahlah. Mengapa malah membicarakan Deni? 

Pak Teguh hari ini meminta jawabanku. Aku masih belum memutuskan. Padahal hanya kata setuju, selesai perkara. Mengapa sulit sekali hatiku menerima tawarannya? Seperti menunggu sesuatu yang aku sendiri tak mengerti apa yang kutunggu. Harusnya, tawaran beliau bisa menjadi penawar untuk hari-hariku yang biasa saja, monoton. Bahkan, kali ini jauh lebih menyiksa karena harus mendengarkan Mas Aksel bercerita tentang Ayu.

Pintu lift terbuka, memutus lamunanku seketika. Aku masuk, ada beberapa pegawai lain di dalam lift. Aku menundukkan dagu, tersenyum. Mereka membalas tersenyum. Dengan segera kotak sempit ini membawa tubuhku ke basement. Melangkahkan kaki keluar menuju mobilku yang terparkir. Dengan cepat pergi membelah jalanan malam ibu kota.

*****

Aku memarkir mobil. Segera turun. Menaiki lift menuju apartemenku di lantai tujuh. Hari ini tubuhku terasa berat, mungkin kelelahan. Banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, membuat kepalaku ikut penat.

Pintu lift berdenting, lantas terbuka. Sudah sampai di lantai tujuh. Aku keluar. Berjalan pelan di koridor sembari merogoh saku celana. Mengambil ponsel. Tak ada pesan atau telepon penting. Hanya pemberitahuan beberapa email masuk. Sudahlah, nanti saja kulihat melalui laptopku.

Aku berhenti beberapa langkah sebelum mencapai pintu. Mataku tertuju pada Mas Aksel yang tengah berdiri bersandar di depan pintu apartemenku. Bisa dipastikan dia sedang menungguku.

"Mas? Kok tidak telepon dulu kalau mau ke sini?" tanyaku. Berjalan mendekat hingga depan pintu. Menekan pin. Mas Aksel masih diam. Lelaki ini tidak menatapku, pandangannya lurus ke depan.

Aku membuka pintu, menoleh padanya. "Masuk, Mas." Aku berjalan duluan. Mas Aksel menyusulku di belakang. Melemparkan tubuhnya di sofa. Menyandarkan punggung. Kepalanya menengadah ke atas. Menatap langit-langit ruangan bercat putih.

Aku melangkah ke dalam kamar. Melepaskan kemeja. Masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebentar. Membiarkan Mas Aksel menunggu. Sejenak aku berpikir, dia tidak seperti biasanya. Aneh. Mungkinkah ada masalah dengan Ayu?

Aku meletakkan segelas teh hangat di atas meja. Duduk berhadapan dengannya. "Diminum tehnya, Mas."

Mas Aksel masih diam. Tidak menjawabku. Aku semakin bingung menghadapi kebisuannya.

"Ada apa, Mas?"

Mas Aksel menatapku sekilas. Duduk tegak. Mengalihkan pandangannya pada teh yang kusuguhkan untuknya. Uapnya mengepul, aroma teh menguar memenuhi seluruh ruangan. Dia tidak menyentuhnya. Bibirnya masih mengatup sempurna. Perasaanku tak enak.

"Kau ...," ucap Mas Aksel serak.

Aku memasang telinga. "Hmm? Aku kenapa?"

Hening.

Mas Aksel masih menunduk. Mengembuskan napas kasar. Menutup matanya sebentar.

"Kau ... jangan berani mendekati Sekar lagi!"

Aku terkesiap. Menelan ludah.

"Kau kira aku tak tahu permainanmu? Kau menemui Sekar di tempat kerjanya, kan?"

Aku diam. Bintik keringat memenuhi dahi.

"Kenapa diam? Jawab aku!" Mas Aksel berteriak. Wajahnya merah padam. Dadaku bergemuruh. Tak pernah melihatnya seperti ini.

"Mas, tenang dulu. A-aku akui bertemu Sekar di tempat kerjanya. Tapi itu hanya kebetulan, Mas. Aku ada keperluan di sana. Bukan sengaja." Aku mengusap dahi.

"Kau pikir aku percaya?" Mas Aksel tersenyum miring. Mengambil sebatang rokok. Memantik api, menghisap rokok dengan ujung yang membara. Menyemburkan asapnya ke mukaku.

"Sejak kapan kau merokok, Mas?" Aku bertanya, mengibaskan tanganku. Membuat kepulan asap itu tercerai berai. Namun, aromanya terlanjur memenuhi rongga hidung. Membuat napasku sesak, terbatuk.

"Kau tak tahu? Itu artinya kau tidak sepenuhnya mengenalku, Bangsat!"

Bangsat?! Astaga, Mas Aksel mengumpatku. Aku melebarkan kelopak mata tak percaya.

"Kenapa? Kau kaget?" Mas Aksel tertawa. Menumbuk rokok itu pada permukaan meja. Kembali menatapku tajam.

"Aku muak denganmu. Aku muak!"

Aku menelan ludah.

"Aku muak selalu menjadi yang kedua. Selalu dibandingkan denganmu. Aku muak harus pura-pura tersenyum, menjadi kakak yang hebat di depan semua orang. Aku MUAK! Kau dengar, HAH!!" Mas Aksel berdiri. Menunjukku kalap.

Aku semakin dibuat tak mengerti. Aku menggeleng. Ini bukan Mas Aksel yang kukenal. Ini bukan dia.

Aku berdiri. "Mas, tenang dulu. Mari dibicarakan baik-baik." Aku berusaha menenangkannya. Menyentuh pundaknya.

"Jangan sok peduli!" Mas Aksel menepis tanganku kasar.

"Kau tak tahu apa yang kualami selama ini. Aku selalu dipandang sebelah mata. Selalu dibandingkan dengan kau si anak yatim piatu yang pintar dan sopan. Selalu dituntut menjadi sempurna. Dicemooh karena selalu kalah darimu!"

Ucapan Mas Aksel terjeda. Mengambil napas dalam.

"Kau tahu, Eyang yang dulu selalu menemaniku. Selalu ada saat kedua orang tuaku bercerai. Sejak kehadiranmu, semuanya berubah. Seluruh perhatian mereka tercurah padamu, hingga aku dilupakan.

"Saat itu kau pasti tidak bisa mengingatnya. Eyang Kakung mangkat, sebulan kemudian Eyang Putri menyusul. Itu terjadi setahun setelah kehadiranmu di tengah-tengah kami. Kau tahu apa yang mereka ucapkan? Mereka ingin melihatmu untuk terakhir kalinya. Keduanya menitipkanmu padaku. Memintaku menjadi kakak yang baik. Selalu menjagamu. Apa mereka menanyakan keadaanku? Tidak. Selalu hanya kau, kau dan kau. Aku jenuh, Gio. Aku juga ingin diperhatikan. Ibu yang selalu marah dan menyalahkan segala hal karena pengkhianatan ayahku. Dan kau yang tiba-tiba muncul dan mengambil semua tempatku. Kau tak akan tahu rasanya tersisihkan. Kau tidak pernah berada di posisiku. Kau merampas segalanya. Kau rampas tak bersisa. Harusnya kau mati saja bersama orang tuamu!"

Kelopak mataku melebar. Aku tak bisa berkata. Mas Aksel yang selalu ceria dan tersenyum, mempunyai sisi kelam yang tidak pernah kuketahui. Menyimpan rasa sakit hatinya sendiri.

Mas Aksel mendekat. Kedua tangannya terulur. Mencengkram kedua sisi kerah kaus yang kukenakan.

"Aku selalu berusaha menjadi pribadi yang menyenangkan agar orang-orang bisa menerimaku. Selalu belajar giat agar Ibu bangga padaku. Selalu setia pada gadis yang kucintai agar mereka tulus membalas cintaku. Tapi apa?" Mas Aksel mendongak. Menghirup udara, semakin kuat mencengkram kausku. "Semua sia-sia. Kau yang hanya diam membisu mendapat lebih banyak simpati orang. Mereka setia menjadi kawanmu. Kau selalu mendapat peringkat terbaik di sekolah. Hingga diterima di perguruan tinggi terbaik di negeri ini. Memperoleh pekerjaan impian banyak orang. Gadis yang kucintai selalu berpaling mengejarmu setelah mengenal kau. Selalu mengkhianati ketulusanku. Kesetiaanku. Aku kurang apa, Gio? Apa kurangku! Aku berusaha lebih keras daripada kau. Tetapi, kenapa cuma kau? Kenapa?!" Mas Aksel berteriak frustrasi di akhir kalimat. Bersungut-sungut.

"Kau tahu alasanku menerima pekerjaan di luar pulau?" Mas Aksel menunduk.

Aku menggeleng patah-patah. Tak tahu.

"Aku sengaja ingin menghindarimu. Aku ingin pergi sejauh mungkin. Aku tak tahan lagi harus selalu memakai topeng ceria. Apalagi harus berlagak sebagai malaikat penolongmu. Tidak lagi."

Aku menelan ludah untuk kesekian kali.

"Akhirnya aku kembali, saat kurasa ada yang bisa kubanggakan. Agar orang tak lagi meremehkanku. Tapi semua itu tak mengubah fakta kalau aku membencimu, Gio. Benci sekali," ucapnya. Menyeringai. Wajah penuh amarah tepat berada di hadapanku.

Aku menggeleng lagi, tak percaya. Tak mungkin semua ini benar adanya. Ini ilusi, kan?

Kumohon katakan kau sedang berbohong, Mas. Bergurau seperti hari-hari lalu. Katakanlah!

Dadaku sakit bagai diiris sembilu. Kian perih dengan kucuran kebencian dari kedua bola matanya.

*****

Sebelas tahun yang lalu.

Saat itu umurku lima belas tahun. Aku menerima surat yang memberitahukan jika aku diterima di sekolah menengah negeri favorit sekaligus undangan untuk para wali murid. Aku sangat senang, sampai menciumi surat itu. Menghirup aroma khas kertas. Tidak sia-sia aku belajar giat. Aku ingin membanggakan Ibu.

Malamnya, aku berencana menyerahkan surat itu pada Ibu. Aku berharap Ibu akan ikut gembira melihatnya. Menepuk pundakku lalu berkata, "Kau sudah berusaha keras, Nak". Itu saja sudah membuatku melayang hingga ke awang-awang.

Aku berjalan keluar. Mendapati Ibu sedang membaca buku di teras rumah. Duduk takzim di kursi goyang kesayangannya—peninggalan mendiang Eyang Kakung.

Aku mendekat. "I-ibu ...," panggilku lirih. Berdiri mematung di sampingnya.

Ibu mengangkat wajah datar. Menoleh sekilas. Lantas kembali tenggelam dalam buku yang sedang dibacanya.

"Apa maumu?" tanyanya dingin tanpa melihatku.

Aku tidak menjawab. Gemetar, mengulurkan kedua tanganku. Menyerahkan sepucuk surat dari sekolah. Ibu melirik surat itu lama, lantas melihatku sebentar. Mendengus pelan. Menarik kasar surat itu dari tanganku. Aku tidak tersinggung. Sudah terbiasa dengan sikap tak acuh Ibu. Beliau sering menganggapku tidak ada. Kami juga jarang berbincang. Kalau ada keperluan saja aku berani mengajaknya berbicara.

Lihat selengkapnya