Regrets

Fitriyana
Chapter #15

15. Kejadian di Puncak

Aku memejamkan mata. Semua kenangan berputar di kepala. Mengingat kembali perkataan Mas Aksel waktu dulu. Semuanya benar adanya. Semua itu bukan bualan, semua itu bukan ilusi. Sejak dulu dia membenciku, harusnya aku menyadari hal itu. Harusnya aku tahu, harusnya!

"Kau ... kau pantas mendapatkan piala Oscar, Mas. Kau berhasil menipuku selama ini." Aku menatapnya lekat, tersenyum pedih.

Lelaki itu menunduk, tertawa hingga tubuhnya bergoncang kuat. Aku miris menatapnya.

"Piala Oscar katamu? HA-HA-HA... !"

Dia mengangkat kepalanya, menatapku tajam. "Kau pun pasti mengira aku tak tahu hubunganmu dengan Sekar, bukan? Ah, salah, salah ... haruskah aku menyebutnya ‘Ayu’?" Mas Aksel menyeringai, menepuk-nepuk pipiku.

Aku terperangah, dari mana dia tahu tentangku dan Ayu? Dan banyak pikiran lain yang berkecamuk di dalam benakku.

"Kau kira aku dungu? Aksel yang naif dan selalu tersenyum? Persetan dengan itu. Aku tahu semuanya, Bodoh. Bahkan sejak awal, setelah aku memperkenalkanmu dengan dia. Aku mendengar semua percakapan kalian."

Mas Aksel menarik napas panjang. "Aku bungkam. Tapi aku tidak tahan melihatnya. Caramu menatapnya, kalian yang selalu membuang muka saat bertemu pandang. Kau pikir aku tak mengerti semua petunjuk itu? Kaulah yang naif, Gio!"

Wajah Mas Aksel mendekat. "Aku ingin kau menjauhi Sekar. Jangan kau ganggu dia. Jangan coba-coba mengubah keputusannya!"

Aku terkesiap. Baru saja tersadar, aku adalah manusia paling menyedihkan. Untuk apa aku menjaga hatinya selama ini? Dia orang yang kuhormati, ternyata penuh kepalsuan. Pandai bermain peran.

"Aku masih mencintainya, Mas," ucapku lirih. Tak bisa lagi kutahan gejolak dalam dada. Mataku terasa panas dan berair.

"Tutup mulutmu. Kata itu haram kau ucapkan. Jangan sampai kejadian di puncak terulang lagi. Jangan kau sentuh dia lagi walau seujung kuku pun!"

Aku menelan ludah. Berpikir. Itu artinya Mas Aksel melihatku dan Ayu malam itu.

"Kenapa? Kau pikir aku buta? Aku mengajakmu ke tempat itu agar kau tahu posisimu, bukan bermesraan dengan calon istriku. CAMKAM ITU, BEDEBAH!"

Kami saling pandang beberapa saat. Mata dan wajah Mas Aksel merah padam. Tangannya bergetar, semakin kuat menarik kausku. Tangan yang satu mengepal. Siap melayangkan tinjunya di wajahku. Aku memejamkan mata pasrah. Sesaat kemudian, Mas Aksel melepaskan cengkeramannya. Tertunduk.

"Saat ini, aku ingin sekali memukul wajahmu. Tapi aku tak sudi mengotori tanganku. Ingat kata-kataku tadi. Jauhi Sekar. Sekali kau langgar, aku tak segan untuk menghabisimu!" ancamnya. Dia mengangkat kepala di akhir kalimat. Mendorong tubuhku. Lantas berjalan menjauh, membanting pintu saat keluar dari apartemenku.

Aku terpaku menatapnya. Napasku memburu, dadaku bergemuruh. Tubuhku meluruh, akhirnya terduduk di sofa. Tanganku terulur, mengacak rambutku. Mengusap tengkukku yang kian terasa berat.

BRAK!

Aku menendang meja di hadapanku. Cangkir teh terguling, airnya membasahi karpet bulu berwarna abu-abu yang melapisi lantai. Buku dan vas bunga berserakan. Aku tidak peduli. Aku merentangkan kedua tangan, menyandarkan punggung. Kepalaku tengadah, menatap hampa langit-langit yang dihiasi lampu putih.

"Kenapa jadi seperti ini?" desisku pelan.

*****

Hari Jumat, selepas magrib. Aku mengendarai mobil, menjemput Deni dan Tika. Kami bertiga pergi ke puncak. Menginap dua malam di sana. Perjalanan malam itu cukup menguras tenaga. Macet. Bisa dipastikan banyak yang melakukan perjalanan ke puncak untuk menghabiskan libur akhir pekan.

Hampir tengah malam, akhirnya kami bertiga sampai di sebuah penginapan. Setelah memarkir mobilku, aku dan yang lain segera turun. Aku mengambil tas ransel, memasang topi di kepala. Memasukkan ponsel dalam saku celana jeans biru langit belel yang kukenakan. Mengaitkan ritsleting jaket yang melapisi kaus putih di badanku.

Kami bertiga menuju lobi, langsung disambut Mas Aksel yang sudah lebih dulu sampai.

"Nunggu lama, Mas?" tanyaku.

"Tidak. Aku juga baru sampai, kok," jawabnya.

"Ay ... eh, Sekar di mana, Mas?" Tika menepuk bibirnya, hampir kelepasan memanggil Sekar dengan 'Ayu'.

"Sudah di kamar, Tik. Kecapaian dia." Mas Aksel tersenyum. Tika menganggukkan kepala paham.

Mas Aksel menepuk bahuku. Kami berempat beriringan menuju pondokan kami.

Tak berselang lama, kami pun sampai. Aku langsung memasuki kamar yang kutempati berdua dengan Deni. Aku meletakkan tas di atas ranjang. Melepaskan topi dan jaket yang membungkus tubuhku. Berjalan ke kamar mandi untuk membasuh muka, tangan, dan kaki. Aku keluar, mengambil handuk. Menyeka sisa air di kulitku. Lantas menjemur handuk itu. Aku berdecak pelan, menggeleng-gelengkan kepala. Deni sudah tertidur pulas dengan posisi menyamping. Tas ranselnya masih tergantung di punggung. Astaga.

Malam semakin larut, aku tidak sempat melihat pemandangan di sekitar penginapan. Aku menaiki ranjang, bersiap untuk tidur. Berharap mimpi indah menjadi penutup hari ini.

*****

Pagi yang dingin. Aku keluar dari kamar. Terus berjalan hingga ke balkon. Menikmati embusan udara pegunungan. Kabut putih menutupi hamparan pohon cemara nan rimbun. Menyisakan pucuk-pucuk hijau kelabu. Cahaya mentari enggan kupeluk, masih tertidur di balik cakrawala. Gerimis tipis membuatnya malas untuk terbit di ufuk timur.

Aku berdiri, kedua tanganku berpegangan pada pagar kayu yang ditata mengelilingi balkon. Menghirup aroma embun pagi nan segar. Sedikit mengurangi kepenatan di kepala. Aku menatap udara berkabut di hadapanku. Termenung. Mas Aksel memaksaku ikut berlibur dengannya akhir pekan ini. Agar aku lebih mengenal Sekar, katanya. Aku ingin tertawa sekaligus menangis saat mendengarnya. Entah sampai kapan aku harus berpura-pura tidak mengenal Sekar seperti ini.

"Gio?"

Aku menoleh, Ayu berdiri di bingkai pintu. Canggung.

Aku menatap sosok cantik di hadapanku. Gaun putih panjang berenda membungkus tubuhnya. Leher dan bahunya sedikit terekspos, tertutup selendang yang dia lingkarkan hingga siku—sebagai penghalau dingin di pagi buta. Rambutnya dijepit sebagian, sedikit berantakan. Beberapa helai rambut menutupi wajah tanpa riasan miliknya. Mata itu, hidung dan bibir tipis merah jambu. Aku terbetot oleh sihir bidadari tak bersayap di hadapanku.

"Kapan kau sampai?" tanya Ayu basa-basi. Membuyarkan lamunanku mengagumi sosoknya.

"Semalam. Mungkin kau sudah tidur saat aku dan yang lainnya sampai." Aku tersenyum simpul.

"Oh ...." Ayu mengangguk-anggukkan kepala. Berjarak delapan hasta denganku, enggan mendekat.

Sepi. Suara pohon yang tertiup angin memecah suasana hening pagi ini.

"Aku masuk dulu," ucapku. Aku cukup tahu diri. Gadis ini tak ingin menikmati pagi sunyi bersamaku.

Aku berjalan masuk. Saat berpapasan dengannya, aku merentangkan sebelah tanganku. "Silakan."

Lihat selengkapnya