Regrets

Fitriyana
Chapter #16

16. Potongan Teka Teki yang Hilang

Drrrt ... drrrt

Ponselku berdering berulang kali. Aku membuka mata. Kepalaku terasa berat. Aku mengerang pelan. Sedikit menyibak selimut yang menutupi badanku. Jemariku perlahan meraba nakas. Mencari keberadaan ponselku. Akh ... ketemu!

Aku menarik ponselku mendekat, tangan yang satu mengusap mata. Memijat keningku sebentar. Aku menghirup udara dalam-dalam. Membuka mata lebar. Melihat nama Tika di panggilan tak terjawab. Aku mengangkat alis. Mengapa Tika meneleponku? Aku melihat jam di ponsel. Sudah pukul empat sore. Aku tidur terlalu lama, sampai melewatkan ritual berbincang dengan Sang Pencipta. Ampuni aku, Tuhan.

Semalam suntuk, aku tak bisa memicingkan mata barang sekejap. Perasaanku keruntang-pungkang tak keruan melihat kakak yang kuhormati murka hingga tega mengatakan sumpah serapah itu. Kebenciannya membuatku merenung, berpikir, apa yang harus kulakukan sekarang. Waktuku semakin sempit. Kian menghimpitku tanpa ampun. Memaksaku terus terjaga. Buntu. Tak jua menemui titik temu. Keesokan harinya barulah mata ini tunduk pada kantuk. Tubuh yang lelah serta merta membuatku ambruk. Meski begitu, tak lantas tidurku setenang genangan air di kolam tanpa ikan. Gelisah memenuhi ruang bawah sadar.

Dering ponsel membuyarkan anganku. Aku mengusap wajah. Menerima panggilan Tika.

"Halo, Tika. Ada apa?" Aku mengawali percakapan. Suaraku terdengar sengau.

"Kenapa tak masuk kerja, Gi? Kau sakit?" Tika bertanya, terdengar khawatir.

"Heem. Aku kurang enak badan," jawabku. Duduk bersandar di sandaran kasur. Meringis, merasakan nyeri di kepalaku.

Hening. Aku melihat layar ponselku, masih tersambung dengan Tika. Aku diam, menunggu gadis itu kembali berbicara.

"Gio ...," panggilnya lirih. Diam lagi.

"Ada apa, Tika? Kau aneh." Aku terkekeh. Terbatuk, menepuk-nepuk dadaku. Sedikit sesak.

Senyap. Aku mulai kehabisan kesabaran. Ada apa sebenarnya?

"Tika? Halo? Kau ini kenapa?"

"Aku bingung, Gi. Ayu pasti marah banget kalau aku memberitahumu hal ini."

Aku terkesiap. Ayu?

"Gi, aku bisa gila jika memendamnya sendiri. Aku harus bagaimana?"

"Coba tarik napas dalam, Tika. Tenanglah."

Deburan napas Tika terdengar berat dan bergetar. Gadis ini menahan tangisnya. Membuatku takut membayangkan apa yang akan Tika sampaikan.

"Aku tak tahan lagi, Gio." Tika tergugu.

"Tik, ada apa sebenarnya? Ayu kenapa?" tanyaku khawatir.

****

Aku menekan kuat klakson mobil, berkali-kali. Jalanan macet. Aku mengusap peluh di dahi. Mataku mengitari seluruh badan jalan. Tidak ada celah. Aku menyandarkan punggung di kursi. Mengambil napas dalam. Memijit pelipisku pelan. Kepalaku makin terasa berat. Bukan masalah, yang pasti aku harus bertemu Ayu segera. Harus.

Setelah satu jam membelah jalanan kota, aku sampai di depan rumah mungil ini. Aku menatap teras rumah, lampunya menyala. Semoga si empunya berada di rumah. Aku mengambil air mineral, menyesapnya. Seharian aku belum makan—tidak nafsu sama sekali—sejak bertemu dengan Mas Aksel. Siapa pula yang bisa makan dalam situasi seperti ini? Aku meletakkan botol minumku. Tanganku terulur, membuka pintu, bangkit, menutup kembali pintu mobil. Berjalan perlahan. Jemariku meraih pagar, mendorongnya. Untunglah tidak terkunci. Aku ayunkan langkahku mendekati pintu utama. Berdiri untuk beberapa saat di depan pintu kayu berwarna coklat. Aroma cat pernis menusuk hidung. Aku mengusap tengkuk. Menarik napas dalam. Tangan kananku terangkat, menggenggam. Membenturkannya pada permukaan pintu.

Tok tok tok!

Aku mendengar jawaban. Jantungku berpacu, berdenyut-denyut, nyeri. Keringat dingin mulai membasahi kaus yang kukenakan.

Krek!

Pintu terbuka. Aku menatap Ayu yang berdiri mematung tak percaya. Tangannya masih setia menggenggam gagang pintu.

"Kita perlu bicara," desisku.

"Bicara apa lagi?" Gadis itu mengalihkan pandangannya pada lampu bulat di taman.

"Banyak." Aku maju beberapa langkah, menyentuh permukaan pintu.

Ayu menatapku, kedua manik matanya berdenting air. "Untuk apa?"

"Untuk kita berdua," jawabku.

Ayu terkejut, lalu menunduk. Tetesan air sempurna turun, membanjiri wajahnya nan ayu. Aku menyentuh jemari Ayu, mengusapnya lembut. Kami berdua terdiam untuk beberapa waktu.

Ayu mengangkat wajahnya, masih terisak.

"Ada yang ingin kau katakan, Gio?" Ayu mengucapkan pertanyaan yang sama seperti saat perpisahan kami, mata itu berkabut.

Aku mengangguk. "Ada. Dan harusnya kukatakan empat tahun yang lalu!" jawabku mantap. Tanganku melucuti jemari Ayu dari gagang pintu. Menggenggamnya erat. Setapak demi setapak aku maju, hingga tubuhku sempurna masuk ke dalam rumah itu. Masih saling berhadapan, saling pandang. Sedikit dorongan dari tanganku membuat pintu tertutup. Kami berdua saja sekarang.

Ayu menarik tangannya dari genggamanku, mengusap kering mata dan pipinya.

"Bicaralah."

Aku menelan ludah. Berpikir keras untuk memulai semuanya. Terlalu banyak fakta yang terungkap dalam dua puluh empat jam terakhir. Semuanya memaksa masuk ke dalam otakku. Terlalu banyak yang ingin kuucapkan, terlalu banyak yang ingin kutanyakan. Terlalu banyak rasa entah bagaimana mendeskripsikannya.

"Apa kau percaya pada perkataan Devian empat tahun yang lalu?"

Ayu tersentak, menatapku dengan kedua netra indah miliknya. Aku tersenyum pahit.

"Aku tahu, Ayu. Aku tahu semuanya."

*****

"Ayu, aku minta maaf. Terserah kalau nanti kau marah. Aku sudah tak tahan lagi." Tika berbicara sendiri, seolah ada Ayu di sebelahnya.

"Tik, jangan buat aku takut! Ayu kenapa?" Aku menyibak selimut dari tubuhku. Bergeser hingga duduk di tepian ranjang.

Sedu sedan Tika terdengar lagi. Menambah galau hati ini.

"Tika?" Aku menunduk, mengusap tengkuk.

"Gi, sebelumnya aku harus pastikan sesuatu. Kau harus jujur," ujar Tika parau.

"Apa lagi, Tika? Cepat katakan!" Aku semakin tak sabar.

"Apa kau pernah berkhianat pada Ayu? Menduakan cintanya saat kalian masih bersama dulu?"

Aku melebarkan kedua mataku. "Apa?!"

"Jawab saja!" bentak Tika.

Aku mengembuskan napas kasar. "Aku tak segila itu, Tika. Tidak pernah. Terlintas di pikiranku saja tidak. Sekalipun tidak."

"Ya, Tuhan ... kenapa jadi begini?" Tika kembali menangis. Aku semakin bingung menghadapinya.

"Tika, please. Sebenarnya ada apa?!"

"Oke. Aku akan cerita. Tolong jangan dipotong. Dengarkan aku baik-baik."

"Tentu."

Tika menghela napas di sebrang sana. "Hari itu, hari Sabtu. Aku masih ingat sekali. Aku dan Ayu sedang di mal. Hanya jalan-jalan santai. Tanpa sengaja kita berpapasan dengan Devian. Kau masih ingat dia, kan? Teman kerjamu di kafe itu. Aku baru pertama kali bertemu dengannya, tapi langsung tak suka melihat caranya memandang Ayu. Aneh. Lalu, dia menarik tangan Ayu agar mendekat, membisikkan sesuatu. Aku tak bisa mendengarnya. Tapi setelahnya, wajah Ayu berubah pucat pasi, menganggukkkan kepalanya pelan. Ayu memeluk lenganku, memintaku ikut bersamanya. Aku menurut, kami bertiga berjalan berdampingan. Aku tidak tahu ke mana Devian akan membawa kami."

Tika mengambil jeda.

"Lantas, kami berhenti di depan restoran cepat saji yang berada di dalam mal, agak berjarak. Devian tersenyum licik. Telunjuknya mengarah pada satu meja. Aku mengikuti telunjuk itu. Aku kaget, seketika menoleh pada Ayu. Tangannya gemetar, meremas lenganku. Matanya masih menatap lurus meja itu. Meja di mana kau sedang duduk berdua saja dengan seorang gadis. Berambut lurus hitam legam. Kulitnya bersih, tubuhnya mungil. Cantik seperti boneka Jepang. Pelupuk mata Ayu penuh dengan air. Aku tidak tega melihatnya. Aku menarik tangan Ayu, ingin mengajaknya pergi. Tapi dia bergeming.

"Kau tahu, kata-kata yang diucapkan Devian kala itu lebih menyakitkan. Aku saja ikut sakit hati saat mendengarnya. Laki-laki itu mendekat, dengan pongahnya berkata, 'Gio sudah bosan denganmu, Ayu. Kau terlalu menuntutnya untuk patuh. Tidak memberinya celah untuk bernapas. Dia muak dengan sifat sok ngaturmu. Dia minta dikenalkan pada Jenni, gadis itu.' Devian menarik tangan Ayu, menyeringai. 'Lihat, mereka berdua cocok, kan? Ini karma untukmu karena memilih Gio daripada aku. Nikmatilah.' Ayu diam saja. Sesaat kemudian, berlari meninggalkan tempat itu tanpa bertanya padamu terlebih dahulu. Itu kesalahannya.

"Sampai di kos, dia mengurung diri di dalam kamar. Aku coba mengetuk pintu kamarnya beberapa kali. Nihil. Dia tak merespon. Mungkin saat itu dia butuh waktu sendiri, aku mengerti."

Aku memijit kening. "Tunggu, tunggu, ini semua ulah Devian?"

Tika menghela napas. "Iya, Gi. Tapi ... kau tak berbohong, kan? Semua yang Devian katakan tidak benar, kan?"

"Tidak, Tika. Demi Tuhan. Hari itu Devian yang memintaku datang untuk membantunya belanja kebutuhan kafe. Lantas bertemu dengan Jenni secara kebetulan. Aku tak tahu jika itu hanya akal-akalan Devian saja. Aku dijebak, Tika. Bangsat!" Aku mengumpat. Memukul tembok dengan kepalan tanganku.

"Akh, sial. Aku baru sadar, Tika. Kebencian Devian pada Ayu yang tidak berdasar selama ini, ternyata karena dia sakit hati pada Ayu. Astaga, Tuhan. Kenapa aku tak menyadarinya sejak dulu? Bodohnya aku. Bodoh, bodoh, bodoh!" Aku kembali meninju tembok itu beberapa kali.

"Sudah, Gi. Sudah. Jangan salahkan dirimu lagi. Sebenarnya ada hal yang membuatku tak habis pikir, kenapa kau tak menjelaskannya pada Ayu? Kenapa kau tidak menahannya saat kalian bertemu siang itu?"

*****

Ayu tertunduk, mengangkat wajahnya, menunduk lagi. Pasti berpikir dari mana aku mengetahui semua ini.

"Kenapa kau tidak memastikan kebenarannya dulu, Ayu? Minimal menceritakan kejadian itu padaku."

"Untuk apa? Itu faktanya, kan?!" Ayu mendongak, menatapku nyalang.

Aku menggeleng kecewa. "Kau salah."

"Apa yang salah? Aku jelas-jelas melihatnya. Dengan mata kepalaku sendiri!" Ayu menunjuk kedua matanya.

Lihat selengkapnya