Regrets

Fitriyana
Chapter #17

17. Luka

Aku membuka pintu apartemen. Mengayunkan kaki masuk. Menyalakan lampu, langsung menuju kamar. Melempar tas ke atas ranjang. Tanganku meraih selembar handuk, masuk ke kamar mandi, menyalakan kran air. Gemercik air membasahi rambut, mengalir ke seluruh tubuh. Aku mengusap wajah dan rambutku yang basah, termenung di bawah guyuran air dari shower yang menyala. Dua hari berlalu sejak hari itu. Aku resah. Ayu belum juga menghubungiku.

Di lain sisi, Pak Teguh sudah memberiku banyak waktu untuk berpikir. Aku pun harus segera memutuskan. Tak bisa terus menerus mengulur waktu. Besok adalah penentuan. Aku ambil atau tolak tawaran beliau. Yang pasti semua ini tergantung pada Ayu. Keputusannya akan memengaruhi semua lini di hidupku.

Aku keluar, handuk masih tergantung di leher. Rambutku lembap, belum kering. Aku mengambil ponsel di atas nakas. Melihatnya sebentar. Tidak ada telepon atau pun pesan masuk. Sudah pukul 19.55. Aku menggigit bibir. Tenggelam dalam asumsi tak berdasar. Bimbang dengan takdir yang akan kujemput. Akankah berakhir manis seperti ciuman kami malam itu atau berakhir pahit seperti perpisahan kami empat tahun yang lalu? Entah.

Ponselku berdering tepat saat aku meletakkan handuk basah di jemuran. Aku menoleh, berlari menggapainya.

"Ayu, apa kabar?" Aku bertanya. Mengatur deburan napas yang kian bergolak. Gemuruh jantung bertalu-talu, terdengar hingga ke gendang telingaku.

"Aku ingin bicara denganmu," jawab Ayu pelan.

"Heem." Aku mengangguk.

"Datanglah ke rumah. Aku tunggu. Jika kau datang, mungkin ... aku akan membuat keputusan gila," pinta Ayu.

"Aku pasti datang. Tunggu aku. Pasti!" Aku berseru senang. 

"Aku percaya kau kali ini. Jangan kecewakan aku," tandasnya.

"Aku tidak akan kecewakan kau, Ayu."

"Aku tutup, ya."

"Heem." Aku mengangguk lagi.

Sambungan telepon diputus. Aku melemparkan ponselku ke atas kasur. Mengepalkan kedua tangan.

"Yes!"

Aku tertawa girang. Membuka almari pakaian, memilih baju yang hendak kupakai. Mengusap tengkuk, bingung sendiri. Lantas berhadapan dengan kaca besar di sudut kamar. Merapikan rambut, tersenyum bak memenangkan lotre milyaran rupiah. Ah, tidak. Lebih dari itu, tak ternilai harganya. Aku sangat bersemangat—bagai kencan pertama. Hatiku pun ikut berdendang mengikuti irama jantung yang kian keras bertepuk riang.

Aku mengangguk pada pantulanku di cermin. "Aku siap. Tunggu aku, Ayu."

Aku mengambil tas slempang yang tergantung di dinding, tak lupa memasukkan ponsel. Keluar dari kamar. Senyum terus menghiasi wajahku. Tak bisa kutahan luapan kebahagiaan ini.

*****

Aku mengambil kunci mobil. Bersiap pergi.

Tok tok tok!

Pintu apartemenku diketuk. Aku mengerutkan dahi. Siapa yang datang? Selama ini tak ada yang mengetuk pintu, ada bel di sana. Terasa janggal.

Aku memasukkan kunci mobil dalam kantong celana. Bergegas membuka pintu. Semoga bukan hal penting, agar Ayu tidak terlalu lama menungguku. Jangan sampai dia berubah pikiran karena aku terlambat menemuinya.

Pintu terbuka, aku membeku seketika. Kelopak mataku melebar, tersedot pada wanita berwajah dingin di hadapanku.

"Ibu boleh masuk?" Ibu bertanya. Nada suaranya datar seperti biasa.

Aku mengerjap beberapa kali. Setelah beberapa saat, ruh-ku seolah kembali. Mendapati Ibu yang menatapku lekat. Aku menelan ludah, sedikit menyingkir. Tubuh renta itu masuk, tanpa menoleh apalagi tersenyum.

Ibu langsung duduk di sofa. Meletakkan tas jinjingnya di meja. Meluruskan punggung, enggan bersantai barang sekejap. Tiba-tiba Ibu menoleh ke arahku. Aku tersentak, masih berdiri di depan pintu. Darahku seolah menyusut sebagian. Lutut terasa kebas. Sungguh, pengaruh Ibu terlampau dahsyat mengoyak pikiranku.

"Duduk. Ibu perlu bicara denganmu."

Aku menelan ludah untuk kesekian kali. Menyeret kakiku yang enggan bergerak, seolah tertancap, memilih bertahan tak mendekat.

Aku duduk berhadapan dengan Ibu.

"Mau minum apa, Bu? Gio—"

"Tidak perlu," potong Ibu cepat.

Aku diam. Hening.

Mataku beralih pada jam yang melingkar di pergelangan tangan. Gundah menelusup di relung hati. Detik demi detik mengikis sisa waktuku. Ah, Tuhan ... ada apa lagi ini?

"Kau mau pergi?" Ibu bertanya, senyum tanggung terselip di bibirnya.

Aku mengangguk ragu.

Lihat selengkapnya