Regrets

Fitriyana
Chapter #19

19. Binar Itu Kembali

Aku duduk termangu di hamparan pasir. Menatap lautan. Kaki ditekuk. Kemeja putih terbuka kancingnya sampai dada. Lengan kemeja dilipat hingga tepat di bawah siku. Sepatu hitam oxford yang biasa kupakai, kuletakkan asal di sampingku. Memilih bertelanjang kaki. Ombak bergulung-gulung, semakin dekat menyapu ujung kakiku.

Sepulang kerja aku menyempatkan waktu ke pantai ini. Pantai lengang yang kupilih untuk menyendiri. Aku suka pantai, sejak dulu. Pantai menjadi tempat melepaskan lelah yang melanda, juga mengais puing kenangan tentang dia. Munafik, bukan? Aku memilih pergi. Tetapi hati tak mau bersinergi. Tetap tertinggal untuk gadis itu. Bukan. Tertinggal untuk istri kakakku lebih tepatnya. Aku bersalah, Tuhan. Mencintai wanita yang telah menjadi milik orang lain. Namun, aku bisa apa? Hati tak bisa memilih pada siapa menambatkan rasa.

Aku mendongak, sebentar lagi mentari berteluk lutut di kaki langit. Senja makin menua. Warnanya kian cantik. Aku ingat saat pertama kali mendaratkan kaki di pulau ini, aku mengunjungi belasan pantai dalam seminggu pertama. Bukan mencari-cari yang terindah, tetapi paling sunyi untukku bersembunyi. Tak ingin diganggu, hanya ada aku. Akhirnya, aku menemukan pantai ini.

Angin berembus kuat, aku memejamkan mata. Sedikit menunduk. Rambutku berantakan diterpa angin. Aku mengusap rambut. Jingga kemerahan kian pekat terlukis di langit, pantulannya bagai bara api di permukaan air. Aku mengembuskan napas kasar. Teringat senyum Ayu dan mata cantik itu. Aku tahu, mencintainya begitu menyakitkan. Aku tahu. Namun, sampai detik ini pun aku masih mencintainya. Aku tak ingin membohongi hatiku sendiri. Iya, aku masih cinta dia. Bukan berkurang, justru makin meluap.

Aku menatap kosong langit merah, mataku panas. Hatiku bergejolak. Rindu akan parasnya. Mengapa aku begitu lemah?

"Gi ... Gio ...."

Aku menoleh, menyipitkan mata. Dari kejauhan terlihat siluet seorang gadis. Berlari mendekat. Rambutnya berkibar diterpa angin. Memakai rok putih panjang, atasan off shoulder dengan warna senada. Aku tersenyum sendu.

"Kau datang?" gumamku. Lurus menatap gadis itu.

Mataku kian panas. Tersiksa pada halunisasi yang terasa nyata. Apa aku gila? Iya. Aku gila karena masih menaruh harap. Aku gila karena masih mencintainya. Aku gila karena rindu yang semakin menyiksa. Aku gila karena hanya dia di hatiku. Aku gila karena menciptakan bayangannya untuk menemaniku. Membuatku semakin tenggelam ke dasar nestapa. Hilang sudah akal sehatku. Berharap dan berharap pada sesuatu yang tak mungkin menjadi milikku.

Ayu semakin dekat, kian dekat. Aku kembali memejamkan mata, tak ingin melihatnya pudar dan menghilang.

Bruk!

Aku tersungkur. Kepalaku terantuk pasir. Terlentang. Mengaduh. Menghirup aroma vanila. Nyata bukan delusi semata.

Aku membuka mata perlahan. Aku terbelalak. Gadis itu tepat di atas tubuhku, terisak. Kedua tangannya berada di antara kepalaku. Aku tertangkap.

"Bodoh! Dasar bodoh!" teriaknya. Air matanya menetes di pipiku. Mengalir turun, hangat.

Aku mengangkat tangan kananku. Bergerak pelan. Mataku tak berkedip barang sekejap. Membelai pipinya ragu. Takut jika dia akan lenyap saat kusentuh.

Dadaku bergemuruh. Badanku gemetar. "Benarkah ini kau?" tanyaku dengan suara serak.

"Tentu saja ini aku. Memangnya siapa lagi?!" teriaknya.

"Kau jahat, Gio. Kau jahat sekali. Berani-beraninya kau meninggalkanku setelah menciumku malam itu!" Ayu memukul dadaku berkali-kali. Tergugu.

Aku terkesiap. Ini Ayu. Ini benar-benar Ayu. Aku menarik tengkuknya. Mendaratkan wajahnya di dadaku. Tanganku yang satu menarik punggungnya mendekat. Mendekapnya erat, merebahkannya di atas tubuhku.

"Maafkan aku, maafkan aku ...." Aku mengecup kepalanya.

Ayu mengangguk pelan. Tangannya meremas kuat kemeja yang kukenakan. Suara tangisnya tertahan. Bahunya berguncang. Aku semakin kuat memeluknya. Membiarkan dia merasakan deru rinduku untuknya. Tak terasa air mengalir di kedua sudut mataku. Rahangku mengeras, gigiku saling beradu. Ikut menangis bersamanya. Disaksikan senja nan indah memesona.

*****

Senja sempurna sirna. Langit kelabu menyelusup hadir. Ombak kian tinggi, tak henti-hentinya membentur tubir. Menghadirkan suara gemuruh di tengah kesunyian malam ini.

Aku dan Ayu duduk di hamparan pasir. Sedikit menepi, agar tak basah terkena ombak pasang lautan. Aku menatapnya lekat. Sisa haru di wajahnya tercetak mantap. Mata itu berkilauan memancarkan sinar. Berkilat rupawan. Ini yang selalu kurindu. Nayanika itu kembali berseri. Setelah sekian lama aku menunggu, Tuhan yang Mahabaik memberiku kesempatan untuk melihatnya lagi.

"Kau cantik."

Dia tersipu malu. Menyelipkan rambut di balik telinga.

Hening.

Aku mendesah, menunduk. "Maaf ... malam itu aku tidak bisa menemuimu. Aku kalah. Aku tak sanggup melangkah maju. Melihat wajah Ibu yang memohon. Aku—"

Jemari Ayu menyentuh pipiku. Aku terdiam. Tenggorokanku tersumbat. Tak kuasa melanjutkan ucapanku.

"Aku mengerti, Gio. Kau pasti punya alasan yang kuat. Meski malam itu, aku gelisah bukan kepalang karena menunggumu. Jemariku tak henti-hentinya saling remas. Jujur aku kecewa. Aku mengutukmu. Tapi ... aku tak bisa membencimu. Aku hanya bisa menangis semalaman. Memohon agar kau datang. Seperti janji yang telah kau ucapkan."

Kepalaku kian tertunduk. Meraih tangan Ayu yang berada di pipiku. Mengecupnya lama.

"Aku yang membuat peluang. Menjanjikan kebahagiaan padamu. Nyatanya aku sendiri yang ingkar. Meninggalkanmu. Menggoreskan luka lebih dalam di hatimu. Maaf. Hanya itu yang bisa kuucapkan atas semua kesalahanku," ucapku parau.

Lihat selengkapnya