Pukul 8 malam. Aku berjalan bersisihan dengan Ayu. Jemari kami saling mengait. Pertemuan hari ini tak pernah kusangka. Terlintas sedikit pun tidak. Apalagi berandai-andai. Terasa mustahil. Namun, Tuhan sungguh baik, memberiku kesempatan sekali lagi. Aku sangat berterima kasih. Tak akan kusia-siakan seperti waktu lalu.
Ayu menghentikan langkahnya. Aku menoleh. Gadis itu menatap lautan kelam. Hanya sedikit cahaya yang berpendar di permukaan airnya. Aku ikut berhenti. Berdiri di sampingnya. Tangan kami masih bergandengan. Angin berembus kencang. Menyapu tubuh kami berdua.
"Gi, lautnya cantik."
Aku mengangguk. "Iya."
Lengang.
"Janji, jangan pernah tinggalkan aku lagi."
"Aku janji."
Ayu menoleh. Tersenyum manis. Ada ketakutan yang kutangkap di kedua manik indah itu. Aku sadar diri. Hubungan kami terlalu rapuh. Berberapa kali perpisahan menyambut. Meski kami bersama malam ini, rasa was-was itu sempurna terbit. Aku yang dulu selalu menghindar. Aku pula yang harus memberikan kepastian.
Aku meraih kedua tangan Ayu. Kami berhadapan. Saling tatap untuk beberapa saat.
"Kau tak perlu khawatir. Aku tak punya tempat lain lagi. Hanya di dekatmu kurasakan rumah yang nyaman. Apa lagi yang kuharapkan, Ayu? Tidak ada."
"Kau punya ikat rambut?" tanyaku spontan.
"Ikat rambut? Untuk apa?" Gadis itu balik bertanya.
"Berikan saja," desakku.
Ayu meloloskan tangannya. Mengambil ikat rambut dari dalam tas. Memberikannya padaku. Aku menerimanya, mengamatinya sebentar. Berwarna hitam polos dengan hiasan sebutir mutiara. Aku memutarnya beberapa kali.