Jangan memandang ke belakang. Mereka hanya akan membuatmu semakin membenci dirimu sendiri.
Dering alarm berbunyi sejak dua belas detik yang lalu. Namun, meski terusik, aku terlalu malas untuk bergerak seinci pun hanya demi mematikan suara bisingnya.
Aku tidak ingat telah menyetel alarm pada ponselku semalam, atau mungkin aku tidak sengaja memencetnya tanpa kuketahui? Biasanya aku sangat ceroboh saat memegangnya dalam kondisi tidak terkunci, sehingga jemariku bisa menyentuh beberapa tombol tanpa kusadari. Pernah tanpa sengaja benda itu menelepon nomor polisi karena aku memutar-mutarnya saat bosan.
Sesuatu di atas perutku bergerak karena terusik. Ah, ya, aku hampir lupa jika semalam aku menginap di apartemen salah seorang 'teman'. Ya, teman untuk berbagi malam panas di ranjang yang sama, melampiskan hasrat yang entah datang dari mana. Hal gila yang benar-benar membuatku seolah-olah lupa akan seberapa besar karmanya.
Ia bergerak untuk lebih dekat ke arahku. Dada bidangnya menindih perutku dan tangannya terjulur untuk meraih ponsel yang enggan diam di atas nakas di samping tempat tidur.
"Udah kubilang, jangan nyetel alarm di hari minggu!" gerutuku. Aku merasa terusik dengan pergerakannya. Di saat kulit kami bergesekan langsung. Itu membuat sesuatu dalam dadaku berdesir.
Dia terkekeh, kemudian kembali ke posisinya dan memeluk perutku yang masih betah untuk tidak mengenakan sehelai benang pun. "Maaf, tadinya aku ingin memasak sesuatu untukmu."
"Aku enggak bakalan sarapan sepagi ini. Biarin aku tidur beberapa jam lagi."
Dia semakin mengeratkan pelukannya, mengecup pundakku dan menarik selimut yang berantakan untuk menutupi bagian atas tubuhku. "Gimana dengan sarapan di sini? Aku pengen makan kamu lagi."
Refleks, aku langsung membuka mata dan mendapatkan seratus persen kesadaran. Kantuk dan pusing yang kurasakan akibat terbangun dengan rasa kaget, kini sepenuhnya lenyap. Aku beranjak duduk dan menatapnya dengan wajah kesal. "Kamu gila, Kenan. Aku capek!"
Kenan hanya tersenyum, kemudian bergerak merentangkan lengannya lebar-lebar. Ia menepuk bahunya, memberi isyarat agar aku kembali tidur di sana. Aku pun menurut dan menyamankan diriku dengan sempurna.
Tangannya kembali memelukku, mengeratkan kedua tubuh kami dan saling melindungi dari udara pendingin ruangan yang menusuk. Dia sangat tahu, aku tidak suka dingin.
"Kalau aja kamu mau kunikahi, Luna. Setiap pagi lihat kamu bangun di sampingku dan bersikap semanis ini. Aku pasti bakal jadi orang yang paling bahagia di bumi."