~Prolog~
Entah kenapa aku menjadi sangat menyukai sekolah ini. Cahaya matahari pagi yang menembus celah dedaunan, embusan angin di siang hari dan daun-daun kuning yang berjatuhan. Semua itu mengiringi memoriku pada cinta terlarangku. Sesuatu yang membuatku percaya cinta itu hanya akan sampai pada angan-angan saja, tapi aku menikmatinya.
Cintaku, pertama kali aku melihatnya, saat pertama kali aku menginjak sekolah ini. Dia bersama siswa-siswanya sedang bermain bola di lapangan gersang berdebu. Aku tidak tahu seberapa menyenangkan permainan itu, tapi aku bisa melihat dirinya tertawa lepas saat di lapangan. Di luar sana, ia berubah menjadi pribadi yang dingin, bicara seperlunya saja, dan bersikap apa adanya.
Aku juga hapal kebiasaannya. Dia dengan motornya muncul dari tikungan menuju sekolah kami sebelum jam enam pagi dan selalu memarkirkan motornya di tempat yang sama. Datang dengan kemeja formal, celana kain hitam dan tas selempang bermerk menggantung di dada. Setelah turun dari motor, ia menuju ruang ganti dan mengganti pakaiannya dengan pakaian olahraga.
Sekolah yang masih sepi, untuk waktu yang sangat lama, kurasa dia mengira dirinyalah yang selalu menjadi orang pertama yang datang ke sekolah. Dia tidak tahu ada satu perempuan yang terus mengawasi dan mengintainya dari sudut yang tak terlihat. Seseorang yang selalu menanti dirinya, tapi tidak punya keberanian untuk mendekat. Padahal kami punya banyak kesempatan. Setiap pagi, kulihat dia mulai dengan meregangkan badan, kemudian turun ke lapangan basket. Lemparan tiga angka, lay up, entahlah, dia punya banyak hal yang dilakukan sebagai bagian dari pemanasan. Kadang-kadang orang itu hanya duduk di bangku tepi lapangan dengan kaki merenggang dan pandangan lurus ke depan. Seperti melamunkan sesuatu.Jika sudah seperti itu, aku ingin sekali menyelami pikirannya hingga tahu apa yang sebenarnya membebaninya. Semua hal itu ia habiskan sendirian. Rasanya sangat menyenangkan jika saja aku punya keberanian turun ke lapangan, mendekat kepadanya dan mengajaknya bicara. Sesuatu yang tidak kulakukan hingga hari ini, sudah hampir tiga tahun. Kukira aku cukup puas hanya dengan mengungkapkan isi hatiku dengan selembar kertas yang kuselipkan di antara buku-buku di meja kerjanya, kukirimkan itu setiap hari Senin, dan aku tahu dia membacanya.
Aku mengenalnya sebagai guru olahraga di sekolah kami. Dan dia mengenalku sebagai... aku ragu... apa dia benar-benar mengenalku? Maksudku apa dia bisa mengingat tentangku? Sementara aku bisa mengingat semua hal tentang dirinya. Aku hanyalah salah satu dari sekian ribu muridnya. Kami bertemu setidaknya satu kali dalam seminggu, dan aku kecewa jika saja dia tidak datang di pelajaran olahraga kami karena berbagai alasan.
Inilah aku, di tahun terakhir sekolahku dan sebentar lagi aku akan meninggalkan angan-angan cintaku di sekolah ini.