Pak Alex sudah menunggu kami di lapangan. Laki-laki bertubuh tinggi dan pemilik otot rapat itu berdiri tepat dibawah ring basket sambil berpangku tangan dengan kaki agak merenggang. Dia selalu tampak lebih muda dengan potongan rambut yang agak memanjang dan dikuncir setengah. Belum lagi karena warna rambutnya yang agak kecokelatan, sekilas seperti di highlighs, padahal tidak. Ia terlalu tampan sepanjang ingatan kami. Hanya saja, beberapa bulan ini ia mempertahankan rambut yang tumbuh tipis di atas bibirnya, itu membuatnya terlihat jauh lebih dewasa.
"Kalian kelas berapa?" suara Pak Alex terdengar oleh beberapa orang saja. Tampaknya ia hanya perlu satu orang yang menjawab pertanyaan itu.
"Kelas tiga, Pak!"
Pak Alex diam sejenak. "Apa sudah hadir semua?" tanyanya lagi.
Masing-masing kami celingak-celinguk depan belakang, sulit mengatakan sudah hadir semua kecuali yang hadir di lapangan itu sudah 39 orang. Akhirnya tidak ada jawaban untuk pertanyaan terakhir. Pak Alex mulai memperhatikan satu per satu muridnya yang berbaris. Dengan tatapan sendu seakan sedang mencari sesuatu.
"Bapak minta maaf karena minggu kemarin Bapak tidak bisa hadir. Waktu itu Bapak memang sakit. Tapi, sekarang Bapak sudah tidak apa-apa. Bapak sudah sehat. Jadi, tidak perlu khawatir. Jangan terlalu mengkhawatirkan Bapak. Fokus saja sama ujian kalian. Bagaimana pun kalian harus pergi dari sekolah ini ... dengan membawa kebanggaan dan prestasi," ucap Pak Alex di depan 39 muridnya.
Amira berdecak. "Ada apa dengannya? Tidak biasanya dia seperti itu? Apa kita terlihat sedang mengkhawatirkannya?" Amira berpaling ke samping, melihat kepadaku. Ia kemudian tertawa.
"Baiklah anak-anak, hari ini Bapak akan mengajarkan kalian teknik advance bermain basket. Biasanya teknik ini hanya Bapak ajarkan pada tim basket yang akan ikut turnamen. Berhubung materi pendidikan jasmani semester ini sudah habis Bapak ajarkan, jadi tinggal mengasah skill yang ada saja lagi. Nanti, yang perempuan di sisi lapangan sebelah kanan dan laki-laki sebelah kiri. Tapi, sebelum itu pemanasan dua kali keliling lapangan. Ayo, semangat!"
"Siap, Pak!" sahut kami kompak.
Permainan dimulai ketika Pak Alex men-drible bola dengan santai ke tengah lapangan. Hentakan bola yang berirama, mampu menarik perhatian kami dan sejenak menghipnotis kami. Seperti biasa, kami memperhatikan setiap gerak dan penjelasan dari Pak Alex dari sisi lapangan.
"Aku heran! Beliau selalu bilang suka dengan sepak bola. Tapi, dia dewanya basket di sekolah ini!" ucap Ifan yang menganggap dirinya penggemar nomor satu Pak Alex. Ifan adalah kapten dari grup basket angkatan kami di sekolah ini dan dia bilang Pak Alex juga jadi pelatih basket grup yang akan maju di pekan olahraga nasional dari provinsi kami.
"Tahu tidak, waktu kuliah dulu, Pak Alex beberapa kali mengantarkan kampusnya menjadi juara turnamen basket nasional antar kampus. Dia sebenarnya bergelar SE, tapi karena hobinya di olahraga, dia tidak mau meninggalkan dunia mengajar dan terus bermain bersama kita," lanjut Ifan.
"Benarkah?" Diran agak merasa tidak yakin, karena ia pernah bermain beberapa kali dengan Pak Alex di sesi latihan.
"Lihat saja! Kalau dia bilang advance, berarti dia akan memperlihatkan teknik kelas atlet, bukan yang biasa kita lihat!"
Aku mendengarkan gosip Ifan dan teman-temannya, mereka akan terkejut jika saja aku bersuara soal Pak Alex dan latar belakangnya di dunia olahraga. Dan yang dikatakan Ifan adalah sedikit kebenaran tentang betapa mengagumkannya Pak Alex. Dia anggun hanya dengan mengayunkan bola dari jemarinya yang panjang. Terlihat sangat mudah dan seperti tidak perlu tenaga ketika bola itu menghentak ke dasar.
<>
"Dribbling adalah teknik dasar, tapi apa kalian men-dribble dengan benar? Aku yakin tidak ada 10% persen dari kalian yang melakukannya dengan benar. Perhatikan ini!" Pak Alex mulai mencontohkan dari hal yang tersering kami lihat dari permainan basket, lama-lama dia memasukkan banyak variasi dan itu lebih terlihat seperti free style-nya basket jalanan. "Passing juga hal dasar, tapi tetap ada perbedaan dari orang-orang yang sudah terlatih dan yang sekadar melempar bola," lanjut Pak Alex.
"Diran! Berdiri!" perintah Pak Alex. "Tangkap ini!" Pak Alex segera melemparkan bola, lurus dari depan dadanya. "Chest Pass dari jarak dua meter," jelas Pak Alex. Diran mengaduh ketika menerima bola yang diarahkan Pak Alex kepadanya. "Kalian lihat di mana perbedaannya? Cepat, kuat dan terarah," kata Pak Alex kemudian. "Sekarang, kita lihat bagaimana aplikasinya!"
Pak Alex mengisyaratkan agar Ifan berdiri dan ia menyerahkan bola kepada muridnya itu. Mereka akan bertanding satu lawan satu. Pak Alex berada pada posisi bertahan dan dia harus merebut bola dari tangan Ifan yang siap menyerang. Untuk tiga langkah pertama Pak Alex berhasil merebut bola dari anak itu.
"Konsentrasi! Kita ulang lagi!"
Ifan siap dengan bola di tangannya. Kali ini ia benar-benar terlihat serius, langkahnya lebih cepat dari sebelumnya dan benar saja, dalam tiga detik ia berhasil melewati Pak Alex dan mendapatkan dua poin.
"Bagus!" puji Pak Alex sambil bertepuk tangan.
Suara kekaguman juga datang dari anak-anak lain. "Pantas aja bisa jadi kapten tim basket!" timpal seseorang.
"Sekarang...gantian! Aku yang di posisi penyerang! Kalian semua! Coba perhatikan!"
Tidak dipungkiri, sampai sekarang Ifan selalu mencari kesempatan agar bisa diajari oleh Pak Alex. Kemampuannya tidak sampai sepertiga kemampuan dari gurunya yang satu itu. Pak Alex unggul dalam teknik, kecepatan, stamina, juga pengalaman, dia dapat dengan mudah melalui Ifan dan menghasilkan 10 poin dalam waktu kurang dari dua menit tanpa sekali pun Ifan menyentuh bola. Para gadis tak henti-hentinya bersorak untuk setiap langkah yang diperlihatkan Pak Alex ketika melewati Ifan begitu saja. Permainan basket di tangan Pak Alex, sejenak terlihat seperti tarian dan kadang-kadang berisi tipuan. Dan Pak Alex memiliki kepercayaan diri yang besar untuk melakukan itu semua, sesuatu yang tidak kami miliki dan akhirnya lebih banyak memilih menjadi penonton saja.
"Di sini Bapak mengkombinasikan beberapa teknik saat menyerang sekaligus bertahan! Saat berhadapan satu lawan satu, penting untuk menentukan kaki mana yang akan kita jadikan poros agar leluasa bergerak dan pergerakan kita menjadi stabil. Dalam posisi seperti itu, kita mungkin harus bertahan, dengan sedikit tipuan, lalu kita bergerak menyerang!" Pak Alex mulai mencontohkan lagi. "Kita mulai saja! Masing-masing lima orang dulu dari grup putera dan puteri. Sisanya gantian setelah ini. Waktunya sepuluh menit."
Penjelasan dari Pak Alex mungkin dapat dicerna dengan mudah oleh kaum adam. Permainan ini jadi sangat menarik buat mereka. Tapi, untuk kaum princess seperti kami, itu benar-benar membuat mati gaya. Bola basket, sebenarnya sesuatu yang cukup berat, terbuat dari karet dan memantul di atas lapangan berdebu. Kami harus mengusapkan telapak tangan kami ke baju lebih sering karena merasa tidak nyaman. Dan kami tak tahu apa lagi yang harus kami lakukan dengan bola itu, selain melemparkannya ke ring dengan derajat kegagalan lebih dari 90%.
...
Entah sejak kapan Pak Alex memperhatikan kami dari sisi lapangan dengan kening mengerut, "Kalian ngapain?" tanyanya yang akhirnya harus masuk ke dalam barisan kami."Bapak sedang ngajarin main basket. Bukan ngelempar bola."
Lima orang dari grup puteri yang ada di tengah lapangan tertunduk.
"Rebut bola ini dari Bapak, kerahkan semua tenaga kalian! Kalian berlima,'kan? Dan Bapak sendirian," ujar Pak Alex.
Tidak ada tanggapan dari lima orang dari grup puteri.
Hentakan dimulai, Pak Alex bergerak maju...
"Tangkap dia!" teriak Amira. "Dian! Ambil bolanya... kasi ke Farah, dan Farah ayo lempar ke atas!"
Amira, apa ada yang pernah bilang bahwa dia atlet taekwondo, dia menjatuhkan Pak Alex dengan satu kali banting dan kakinya masih berada di leher Pak Alex. Gina membantu memegangi kaki Pak Alex. Sedangkan aku, aku tidak punya pengalaman untuk hal semacam itu. Jadi, aku diam saja. Dan bodohnya, Farah benar-benar melempar bola ke atas, bukan ke arah ring, dan semua usaha tim puteri menjadi sia-sia.