“Oh, Tuhan! Aku tidak bisa memejamkan mata.” Kutarik selimut dan kutenggelamkan diriku ke dalamnya. Masih terbayang Pak Alex yang menyentuh kakiku, bicara kepadaku, dan merangkul bahuku dengan hati-hati ketika aku berdiri. Dia bahkan memapahku hingga ke kantin sekolah.
Aku ingat bagaimana dia menatapku ketika berhadapan satu lawan satu di pertandingan basket tadi siang. Apa dia menikmati permainan kami? Dia bilang dia juga tidak menyesal mentraktir kami semua. Apa itu karena aku?
“Tidak. Tidak mungkin karena diriku,” lirihku mencoba berpikir realistis. Aku bukan pemain yang baik. Dia tahu itu. Tapi, bagaimana aku bisa mengabaikannya begitu saja? Senyum tipis yang ia tunjukkan saat jarak kami tidak lebih dari 20 cm dan bola masih di tangannya. Dia terlihat senang karena seberapa keras pun aku berusaha, aku tetap tidak bisa merampas bola darinya. Kukira ada baiknya dia bersikap kasar, dan menjadi orang paling menjengkelkan, hingga aku bisa membencinya. Dan aku, tidak pernah menemukan dia yang seperti itu.
"Kayaknya kamu gelisah banget?"
Kusingkirkan selimutku segera ketika kudengar suara itu. Suara yang berat khas laki-laki, tapi selalu terdengar lembut sepanjang ingatanku tentang dirinya. Rian Galael. Ya. Aku hampir melupakan tamu keluarga kami yang satu itu. Ayah bilang dia adalah sepupuku, tapi pertalian darah kami tidak terlalu jelas hingga kusimpulkan kami mungkin sepupu, sepupu empat atau lima kali. Rian berdiri di mulut pintu kamarku, gagang pintu masih ada dalam genggamannya.
"Apa aku mengangganggu?"
"Ah, nggak," ujarku agak canggung.
"Boleh aku masuk?"
"Hah!" Entah apa dia serius? Apa dia tidak melihat aku sedang di atas tempat tidur, aku perempuan dan ini kamarku. Apa aku akan mengizinkan seorang laki-laki masuk ke kamarku? Meski kusebut dia keluarga, tetap saja aku merasa canggung.
"Ya. Tentu."
Rian kemudian duduk di sisi tempat tidur. Ia melihatku sejenak, kemudian memalingkan wajahnya segera. Aku tidak tahu dia akan jadi segelisah itu. Ada hal yang sepertinya ingin ia katakan dan aku bersiap untuk mendengarnya.
"Setelah lulus dari SMA, kudengar kamu akan mendaftar di Fakultas Kedokteran?"
Kuanggukkan kepala sambil tersenyum, soal itu memang cita-cita ayahku sejak dulu dan aku ingin sekali mewujudkannya.
"Aku akan membantumu sebisaku supaya kamu juga bisa diterima di sana," ujar Rian.
"Terima kasih," tanggapku seadanya. Rasanya aku tidak terlalu berharap ada yang membantuku. Setidaknya aku cukup berusaha untuk selalu menjadi nomor satu di kelas dan benar-benar menyiapkan diri untuk seleksi masuk menjadi calon dokter. Rian, tahun lalu dia sudah menerima gelar dokternya dan aku tahu ayah begitu bangga kepadanya, hingga memujinya sepanjang waktu. Sekarang dia bekerja di sebuah rumah sakit swasta di kota kami.Sementara mencari tempat tinggal, ayah bilang Rian akan menginap di rumah kami.
"Kamu nggak bisa tidur, ya?" tanya Rian mengubah tema pembicaraan.
Kuanggukkan kepala.
"Kenapa?"
"Entahlah."
Rian memperhatikan jamnya, "Masih jam 9 juga... justru aneh kalau kamu bisa tidur jam segini," katanya.
"Biasanya begitu, kok! Jadwal di sekolah 'kan padat banget, capek. Jam 8 aja udah bisa ketiduran... kalau nggak ada tugas sich!"
"Mau jalan-jalan? Sebentar aja!"
Aku diam sejenak. Jalan di malam hari seperti bukan diriku. Aku juga tidak yakin ayah akan mengizinkanku keluar malam.
"Tenang aja! Nanti aku yang izin sama Om. Paling jam 10 kita udah balik, cuman cari makan sebentar."
Aku tetap tidak menganggukkan kepala, tapi juga tidak menolak ajakan Rian. Rian keluar dari kamar, tidak lama kemudian dia datang lagi dengan memperlihatkan kunci mobilnya kepadaku. Sesuatu yang berarti kami siap berangkat.
Aku tidak berpikir tempat apa yang akan kami datangi. Hanya saja, aku terlalu malas untuk mengganti baju, kutarik sweater cokelat dan kukenakan segera. Aku tidak menyisir rambut, hanya kurapikan sedikit dengan jari-jari.
"Kamu nggak nanya kita mau ke mana?" ujar Rian ketika baru saja aku masuk mobil.