"Bi! Sop Buntut satu, ya!" kataku pada Bi Tarni. Ibu kantin di sekolah kami.
Seperti biasa, aku mengambil posisi agak pojokan dan kuhabiskan waktu di sana, setidaknya sampai setengah jam untuk sarapan dan membaca buku. Biasanya hari-hariku terasa tenang dan menyenangkan, namun hari itu...
"Ehm!"
Aku hampir tersedak mendengar suara itu. Pak Alex, tidak biasanya dia datang ke kantin sepagi ini. Dia bersandar di salah satu tiang sambil memperhatikan Bi Tarni.
"Kenapa? Laper?" tanya Bi Tarni pada Pak Alex.
"Nggak kok, cuman kangen aja," sahut Pak Alex terlihat seperti playboy.
"Hari ini nggak ada ngutang, ya!"
"Bi,jangan gitu dong! Kalo kedengaran orang 'kan malu. Lagian kapan sich aku pernah ngutang? Aku nggak pernah ngutang, kok! Cuman lupa bayar!"
Bi Tarni tertawa. Sepertinya mereka berdua cukup akrab.
"Kopi satu, ya! Kayak biasa!" ucap Pak Alex.
Sepertinya Pak Alex tidak akan cepat pergi. Dia duduk tak jauh dari mulut pintu meski tetap satu meja denganku. Aku berusaha menyembunyikan wajah dengan rambutku yang panjang dan buku di tangan. Dan aku tidak menyadari bahwa itu akan membuatnya semakin penasaran. Entah kenapa setiap kali kuintip, posisi kami semakin dekat. Panjang meja kantin tempatku tak kurang dari empat meter, begitu juga bangku panjang di sisi depan dan belakangnya. Dan... sepertinya Pak Alex memang sengaja mendekat kepadaku, sampai kami benar-benar berhadapan. Sampai saat itu pun, aku masih berusaha menyembunyikan wajahku.
"Aku tahu kamu!" ujarnya.
"Saya? Siapa?" tanyaku. Pak Alex terkenal tidak bisa mengingat dengan baik nama orang.
Pak Alex mulai berpikir. Kukira otaknya mulai bekerja mencari satu di antara ribuan nama yang pernah terekam di benaknya. Dan dia tidak bisa menemukannya.
"Saya juga tahu Anda!" kataku.
"Siapa?"
"Pak Alex, guru olahraga kami."
"Oh," tanggapnya datar. "Kamu yang tadi malam nggak belajar, malah keluyuran malam-malam, 'kan? Kok pagi banget datangnya?"
"Justru aneh kalau Reina datangnya kesiangan," sahut Bi Tarni seraya mengantarkan Sop Buntut pesananku.
"Tapi kok aku nggak pernah liat kamu?" kening Pak Alex mengerut.
Kutundukkan wajah, tidak ada yang ingin kujelaskan soal itu dan tidak ada jawaban untuknya.
Apa dia berpikir tentang surat cinta merah muda yang misterius? Aku harus berhati-hati agar dia tidak mencurigaiku. Cukup lama sampai Pak Alex melepaskanku dari pandangannya dan dia mengembuskan napas payah.
"Ada apa?" tanyaku segera.
"Nggak," jawabnya seadanya. Ia tiba-tiba saja mengangkat cangkir kopiku, menyeruput isinya dan meletakkannya dengan anggun.
Aku ingin menahannya, dia mungkin lupa kalau kopi yang ia pesan belum datang. Dan dia meminum kopi di gelasku, di gelas bekas bibirku. Tapi, apa aku bisa membuatnya malu? Jadi, aku diam saja.
"Manis!" lirihnya. "Ini seperti rasa perempuan. Manis dan pahit bisa dikecup bersamaan."
"Karena Anda minum dari gelas saya, Pak!" kataku tersenyum.
Pak Alex juga ikut tersenyum.
"Tapi, Pak! Anda bilang 'kan Anda nggak bisa tidur, terus kenapa pesan kopi? Bisa tambah nggak bisa tidur ‘kan, ya?" tanyaku lagi.
"Kamu juga pesan kopi," sahut Pak Alex.
"Supaya nggak ngantuk."