Apa yang harus kulakukan? Apa yang akan dia pikirkan tentangku? Benarkah dia telah mengetahui keberadaanku jauh sebelum aku menyadarinya? Lalu, kenapa dia diam saja? Apa menyenangkan buatnya melihat kebodohanku? Apa dia sedang menertawakanku? Menertawakan perasaanku yang tulus kepadanya?
"Reina, kamu belum berangkat?"
Aku tersentak. Itu suara Ayah, ia menemukanku sedang bersandar di sisi jendela kaca kamarku dengan kaki menekuk. Entah sejak kapan aku berada di posisi itu, aku tidak menyadarinya. Yang kuingat, tadi malam, aku tidak bisa meredam ketakutanku. Tanganku bergetar dan jantungku berdegup kencang. Sudut kecil di sisi jendela, menjadi tempat yang ternyaman buatku. Ya, setiap kali aku merasa tidak nyaman, aku akan duduk di sana sambil menyandarkan kepala. Kadang-kadang kuembuskan napasku hingga terbentuk kabut untukku menuliskan sebuah nama. Dan ketika kulihat bayangan diriku sendiri terekam di kaca tersebut, aku akan merasa kasihan kepadanya. Kasihan karena orang itu tidak pernah punya keberanian untuk mengungkapkan perasaannya. Kadang-kadang aku menguatkan hatinya, memberinya semangat... hanya saja, itu percuma. Karena selain cintanya, sepertinya orang itu tidak benar-benar memiliki tujuan dalam hidup.
Ada sinar hangat yang menembus jendela kamar, kugeser pandangan ke jam dinding. Sudah pukul tujuh. Aku tidak pernah pergi ke sekolah sesiang itu.
"Boleh hari ini aku tidak masuk, Yah? Aku tidak enak badan," kataku tak sepenuhnya berbohong.
"Kamu sakit?" Ayah meraba keningku. "Perlu Ayah panggilkan Rian? Dia bisa ngobatin kamu."
"Nggak perlu, Yah! Aku cuman perlu istirahat!" kataku dengan memaksakan diri untuk tersenyum.
Ayah diam sejenak sambil memperhatikanku. "Kamu itu harus benar-benar menjaga kondisi kamu. Sebentar lagi ujian, ‘kan!"ujarnya menghela napas. "Hari ini tidak ke dokter, tapi jika besok kamu masih merasa kurang enak badan, Ayah akan bawa kamu ke dokter!"
Kuanggukkan kepala.
"Sebentar! Kupanggilkan bundamu!" kata Ayah yang kemudian keluar dari kamar.
<>
Aku sudah memikirkannya. Sebenarnya tidaklah buruk jika dia tahu tentangku. Bukankah aku pernah bermimpi suatu hari akan kukatakan perasaanku langsung kepadanya. Kenapa aku harus berprasangka buruk, bahwa dia akan menertawakanku dan mengasihaniku? Andai saja dia jahat, dia tidak akan menjaga rahasia kami begitu lama. Dia akan mengatakan langsung kepadaku jika dia tidak suka dengan sikapku selama ini. Dan Pak Alex tidak pernah melakukan itu.
Meski ini lumayan berat, aku akan menghadapinya sekali lagi. Di sekolah, bukankah angin akan tetap bertiup dan dedaunan kuning akan tetap berjatuhan dan mengering. Tawa anak-anak akan tetap terdengar silih berganti, dan buatku, apa pun keputusan Pak Alex karena sikapku selama ini, itu akan menjadi hal yang tidak akan pernah terlupakan selama hidupku. Dia mungkin akan mengatakan, "Aku tidak bisa", atau "Cari saja laki-laki seusiamu", atau dia hanya akan diam dan membiarkanku berlalu begitu saja. Entahlah. Aku benar-benar tidak tahu apa yang akan terjadi jika kami bertemu lagi.
Pukul 07:31, gerbang sekolah ditutup. Akhirnya aku bisa merasakan bagaimana perasaan anak-anak yang terlambat datang ke sekolah. Mereka memohon ke Pak Satpam agar dibukakan pintu. Tangan mereka mengepal di batangan besi dan masih tidak berhenti memohon sampai akhirnya Pak Alex datang.
"Yah, kena hukum lagi dech!" seseorang berdiri di sampingku. Entah kapan dia datang. Perempuan berambut pendek dengan pearsing di telinga dan hidungnya. Ia mengunyah permen karet sambil berpangku tangan.
Perempuan berambut pendek itu, ia mendekat ke Pak Alex dan berdiri di hadapan guru olahraga itu. "Anda juga akan menghukum saya?" tanyanya tegas.