"Tumben! Biasanya jam segini kamu udah berangkat!"
Kuperhatikan jam dinding yang sepertinya tertawa kepadaku. Ini bahkan belum pukul enam pagi dan bisa-bisanya Bunda bilang seperti itu. Murid bodoh mana yang mau-maunya datang ke sekolah di pagi-pagi buta, hantu penunggu sekolah saja baru siap-siap mau pulang di jam segitu.
Kujejalkan roti dengan margarin dan taburan gula ke dalam mulut sebelum beranjak dari meja makan. Kuempaskan tubuh di sofa depan televisi dan kutekan remote tv tanpa tujuan. Setiap chanel berganti dengan cepat, dan berakhir dengan tombol off hingga layar tv kembali hitam. Aku bingung apa yang mesti kulakuin di rumah setelah selesai mandi di pukul lima, berpakaian dan sarapan. Seperti bukan diriku. Biasanya di jam-jam itu aku berada di satu sudut di lantai dua sekolah, sambil menatap lapangan yang kosong, lalu cahaya matahari keemasan datang pelan-pelan. Aku tahu aku akan merindukan masa-masa itu, sekaligus merasa sakit hati mengingat betapa kasihannya aku karena mencintai seseorang.
"Bunda! Ayah! Aku berangkat!" kuciumi satu per satu tangan bunda dan ayah sebelum keluar dari rumah.
"Mas, Bon!" tegurku pada supir keluarga kami yang ketiduran di bangku taman. Sepertinya ia ikut-ikutan frustasi dengan perubahan jam berangkat sekolahku. Orang itu sudah siap sejak pukul lima pagi, beberapa kali bertanya kepadaku "Kapan kita berangkat?" dan disinilah ia sekarang.
...
"Mba, Rei! Mba Rei kayaknya telat dech!" ucap Bondan.
"Masak sich!" sahutku tidak percaya. Aku memang tidak berniat berangkat pagi-pagi, tapi juga tidak berniat terlambat.
"Cepetan Mas, Bon!" kataku panik saat pintu gerbang mulai tertutup.
Aku segera turun dari mobil dan berlari menuju gerbang. Tapi, seperti punya dendam kepadaku, Pak Alex membiarkan seseorang yang hanya berjarak semeter di depanku masuk, sementara pintu tetap tertutup buatku.
"Biarin saya masuk, Pak! Saya janji besok nggak akan telat lagi!" aku mengiba.
"Kamu udah janji kayak gitu ratusan kali kemarin," bahas Pak Alex dengan garis bibir tertarik ke kiri.
Pak Guru itu kemudian memperhatikan jam tangannya, sepertinya ia akan membiarkanku berdiri di depan gerbang selama sepuluh menit. Jumlah waktu yang cukup untuk tidak membiarkanku dihukum sendirian. Beberapa anak dengan seragam yang sama denganku berdatangan kemudian.
...
Seperti biasa, aku hanya akan menundukkan kepala. Aku takut dengan pikiran Pak Alex yang mengira diriku seorang ...agresif. Seperti ketika ia bertanya,"Kenapa lagi kamu telat?"'
"Saya tidak punya alasan untuk datang lebih pagi, Pak!" spontanku dengan pikiran terbelah ke kejadian sebelumnya, pada Bunda yang kurang lebih membahas hal yang sama.
"Jadi, maksud kamu... kamu punya alasan buat datang telat?"tangkap Pak Alex.
Aku mendesis kemudian. Apa dia mengira aku sengaja datang telat agar bisa bertemu dengannya? Andai saja aku seberani itu, menyukai orang seperti Pak Alex tentu akan lebih mudah.
"Bukan sekali dua kali aku ketemu murid kayak kamu," ucap pak Alex dengan tawa mengejek.
"Huuuu!" suara itu terdengar kompak dari orang-orang yang juga berbaris di tengah lapangan denganku. Aku tahu mukaku akan berubah menjadi kemerahan. Rasanya ingin sekali menenggelamkan diri ke dalam lautan gelap dan tak ingin kembali ke daratan.
"Ok! Hari ini kalian keliling lapangan basket tiga kali seperti kemarin. Kecuali Reina!"
Kutengadahkan kepala, aku punya alasan untuk menatapnya saat itu. Dia juga mengarahkan sorot matanya kepadaku. Dia tersenyum ringan, tapi entah kenapa rasanya aku benci melihat senyumnya ketika itu.
"Memang saya kenapa? Saya tidak sakit, Pak! Nggak perlu Bapak sok kasihan sama saya!" ucapku segera berlari ke tepi lapangan basket dan memulai putaran pertama hukumanku.
...
Matahari sudah menggantung tinggi, cukup menyilaukan ketika melihat dirinya yang juga berlari di sampingku. Pak Alex seharusnya tidak melakukan itu, kemeja birunya akan basah karena keringatnya sendiri, bawahan kainnya akan kotor karena debu lapangan yang berwarna kecokelatan, dan apa dia tidak kasihan denga pantofel hitam yang tampak elegan menopang tubuh tingginya? Aku berusaha mendahului Pak Alex, tapi dengan mudahnya Pak Alex mengiringi langkah kakiku. Ya, harusnya aku tahu Pak Alex bisa berlari lebih cepat lima kali dariku.
"Kalau nggak sanggup, jangan dipaksain!" ujar pak Alex yang melangkah santai di sampingku.