END.
Aku tamat. Hal yang paling memalukan sudah kulewati. Sekarang, aku hanya berpura-pura berani melangkah kembali ke sekolah. Ya. Setelah insiden masuk klinik sekolah karena hukuman telat datang kemarin, hari ini sekolah tampak seperti biasa. Langit tetap berwarna biru, angin tetap berembus dan candaan anak-anak tetap nyelekit di hati.
“Duh,yang abis dapat perhatian dari Pak Alex! Sukses nih ye caper-nya!”
Kutahan napas. Kulewati gerombolan perempuan yang sebenarnya cukup akrab denganku. Mereka semua itu, kemarin datang ke klinik untuk melihat keadaanku, tapi urung masuk karena ada Pak Alex.
Baru saja ingin masuk ke dalam kelas, langkahku ditahan oleh Amira. Gadis itu berdiri angkuh sambil melipat tangannya di depan dada. Sorot matanya mengintimidasi, seolah aku telah berbuat salah kepadanya.
Kutundukkan kepala, tentang aku yang dibuli di grup Line. Mereka memajang foto saat Pak Alex menggendongku ke klinik. Banyak yang histeris dengan sikap romantis Pak Guru yang satu itu. Tapi, seharusnya itu tidak akan mempengaruhi Amira selama aku tidak mengkonfirmasinya. Kami terbiasa dengan cerita-cerita yang dibuat-buat dan kabar itu hanya akan menjadi trending topik dalam semalam. Kecuali… Damian! Apa dia mendengar sesuatu dari Damian?
“Sudah kubilang… Pak Alex itu kejam!” ujar Amira. Membuatku bernapas lega.
“Ngehukum orang seenaknya aja!”
Aku mengangguk beberapa kali, “Aku udah nggak kenapa-napa, kok! Bukan salah Pak Alex juga!”
“Kenapa sich kamu selalu ngebelain Pak Alex?” tanya Amira yang berjalan mengiringiku.
“Bukan ngebela. Tapi, itu memang kejadian nggak disengaja. Pak Alex juga nggak mau aku sampai sakit begitu.”
“Sebagai guru dia harusnya tahu kondisi muridnya. Nggak boleh dong dia maksain kamu lari sementara kamu memang nggak sanggup.”
Aku diam. Rasanya cukup berdebat dengan Amira. Selama ini aku memang selalu mendapat nilai terendah dalam praktik olahraga. Pak Alex bilang nilai teori bidang Penjaskesku tertinggi dan itu tentu saja sangat membantu. Namun, dalam olahraga, praktik tetap penting. Karena itu, setiap semester, meski dengan sesi yang lebih sedikit dari murid lain, aku tetap harus mengikuti pelajaran tambahan. Hanya saja, ada satu hal yang kuyakini, aku tidak pernah menyebutkan soal penyakitku di hadapan guru olahraga itu. Jadi, soal 'lemah jantung'... entah dari mana Pak Alex tahu?
“Apa kamu yang bilang?” sasarku pada Amira.
Kening Amira mengerut, sepertinya ia juga lupa apa dirinya pernah membahas soal ini ke Pak Alex. “Kenapa? Memang itu penting?”
Aku diam.
“Kupikir karena kamu paling sering nggak masuk kelas Pak Alex! Anak-anak lain juga tahu ‘kan kalau kamu sering sesak napas kalau kecapekan!”
Aku mengangguk dua kali. Selain kelas Pak Alex, aku juga selalu menolak ikut camping, ekstrakurikuler tambahan dan bahkan sangat jarang menerima ajakan jalan malam bersama teman-teman. Ironis, karena aku akhirnya dibilang nggak gaul dan agak sombong karena semua penolakan itu.
“Tapi, kamu hebat!” Amira menepuk bahuku dua kali dan ia menunjukkan senyum paling lebarnya saat itu.
“Kenapa?” tanyaku.
“Karena Pak Alex mendapat peringatan keras dari kepala sekolah.”
Senyumku tenggelam seketika. Tiba-tiba aku merasa sepertinya darahku mengalir keluar dari pembuluh darah dan aku menjadi sangat lemah.
<>
Seperti zombi, ada aroma darah yang menarik langkahku menuruni anak tangga, dengan tatapan kosong dan indera yang terkunci. Kecuali apa yang harusnya aku datangi, aku tidak peduli. Beberapa menit kemudian aku sudah berdiri di tengah lapangan, berdiri di hadapan puluhan anak kelas XI IPS 2 yang berpakaian olahraga.
“Saya mau bicara!” kataku kepada Pak Alex.
Merasa terganggu, memalukan, bikin repot, Pak Alex punya seribu alasan untuk menghindar dan marah kepadaku. Tapi, aku benar-benar benci jika ia salah sangka dan tidak mempercayai kata-kataku. Entahlah, sejak kapan itu menjadi penting. Aku hanya ingin menaburkan rasa sayang yang meluap menjadi sebentuk embun yang menyegarkan. Bukan debu yang akan menghalangi pandangannya. Tapi, apa yang bisa kulakukan. Karena kali ini aku benar-benar menjerumuskannya dalam masalah.
Mengganggunya saat bekerja, membuatnya dapat peringatan keras, mengganggunya selama tiga tahun, “Ayolah Reina! Diam adalah pilihan terbaik!” Aku merasa bukan seperti anak SMA biasa, tapi seorang teroris. Entahlah, aku juga merasa seperti seorang psikopat yang terobsesi pada sesuatu, aku ingin memiliki Pak Alex, dan jika aku tidak mendapatkannya, maka dia harus mati atau aku sendiri akan bunuh diri. “Nggak!” pikirku sambil menelan air liurku sendiri. Aku berusaha cukup keras untuk membuat pikiran buruk itu tidak memenuhi otakku. Aku masih waras, tidak ada hal yang terlalu ekstrem yang akan terjadi di hidupku. Lagi pula, Pak Alex bukan satu-satunya laki-laki di dunia ini, yang tampan, baik, dan perhatian.
“Pak! Ngapain sich dia di sini? Ngalangin jalan aja!” celetuk Luna yang sepertinya sangat kesal dengan kehadiranku.
Ini sudah dua menit berlalu sejak aku mencoba bicara kepada Pak Alex. Aku tidak tahu apa yang terjadi dalam diamnya. Sedari tadi kutundukkan kepala. Biar begitu, aku tahu Pak Alex sedang memperhatikanku sambil menekan-nekan bola basket di tangannya. Sesekali ia mengempaskan bola itu ke lantai beton lapangan basket. Sepertinya, ada hal yang membuatnya tidak nyaman.
“Kenapa tangan Anda?” spontanku saat tidak sengaja melihat luka lecet di punggung tangan Pak Alex.