Pesawat! Aku Ditabrak Pesawat.
Kejadian persisnya, aku tak terlalu ingat. Bola-bola kertas berterbangan seperti rudal yang dilemparkan dari seberang sungai yang lebar. Pesawat-pesawat kertas lalu lalang tanpa kuketahui di mana sebenarnya landasannya. Aku baru saja masuk ke kelas setelah jam istirahat pertama, sebuah pesawat menabrak kepalaku. Aku terkejut dan buku yang ada di tanganku terempas ke lantai. Tidak tahu berapa yang hadir dalam kelasku saat itu, sorot mata mereka menunjukkan ketakutan dan juga rasa penasaran apa yang akan terjadi kemudian. Itu buruk. Tentu saja. Aku terkejut dan aku terganggu. Kelas yang tadinya riuh layaknya arena perang, seketika menjadi hening.
Rasanya aku sudah punya perjanjian pada seluruh orang yang ada di ruangan itu. Aku tidak peduli jika mereka membuat gaduh sepanjang waktu. Tapi, tidak boleh ada yang mengusikku saat aku sedang membaca. Atau, aku akan berubah pikiran untuk meminjamkan PR-ku kepada mereka, dan akan lebih sulit buat mereka menyontek jawabanku pada saat ujian.
Aku memungut pesawat kertas yang tergeletak di lantai. Kubongkar bentuknya… bukan puisi, sketsa iseng, ataupun surat cinta yang ada di kertas plan paper itu, tapi barisan not balok dan kecambah-kecambahnya yang rumit.
“Sepertinya aku udah tahu siapa yang berani ngelakuin ini!” kataku percaya diri. “Ayo, keluar!”
Kepala Vivaldi muncul dari bawah meja. “Aku…nggak sengaja!” ujarnya dengan senyum yang terkesan dipaksakan.
Aku berjalan menghampirinya. Dengan senyum yang tak kalah lebar dari yang ditunjukkan Vivaldi. Namun, entah kenapa saat aku memegang bahu kirinya,ia jadi gemetaran dan wajahnya langsung muram.
Apa dia beneran ketakutan?
Dia mungkin akan dibuli oleh semua orang di kelas itu ketika kukatakan aku tidak akan meminjamkan PR-ku lagi, kesalahan satu orang akan ditanggung bersama. Aku jadi sangat mencintai kelas ini karena prinsip kesetiakawanan yang mereka pegang. Tapi, tidak. Aku hanya akan menjadi kelinci kecil yang melompat-lompat girang ketika menemukan makhluk bernama Vivaldi. Aku hanya ingin sedikit bernegosiasi dengannya kali ini. Vivaldi, seperti namanya, ia musisi yang hebat. Menguasai tiga alat musik, piano, gitar dan violin. Dia membuatku selalu terpukau saat ia memainkan musiknya. Kupikir orang itu jenius, walaupun ketika kami bertanya apa dia mengenal matematika, fisika, dan sejarah, dia bilang dia tidak kenal. Bahasa Inggris, Spanyol dan Jepangnya juga lumayan bagus. Vivaldi tidak pernah belajar serius soal tiga bahasa itu, lantaran guru musiknya kebanyakan orang asing dan mengajar di International Music School sering membawa istilah-istilah asing dalam pelajaran musik, makanya ia akrab dengan bahasa-bahasa itu.
“Kamu tahu ‘kan apa yang aku mau? Belakangan ini banyak banget bikin aku ngerasa galau. Mau,ya?” ujarku justru balik memohon kepadanya.
“Ah, Ok!”
Vivaldi mengambil kotak hitam dari dalam lemari di kelas kami. Itu adalah Violin yang selalu ia bawa. Biasanya setelah pulang sekolah, orang itu langsung berangkat ke sekeloh berikutnya dengan membawa benda itu di punggungnya.
“Untuk Reina yang cantik,” ujarnya lumayan akrab di telingaku. Vivaldi memposisikan dirinya berdiri dekat jendela. Cahaya matahari masuk membentuk sudut yang menyorot fokus ke Vivaldi. Aku tidak yakin kalau dia tidak kepanasan karena tempatnya berdiri sekarang. Dan dari jendela kelas kami, pemandangan eksotis bisa terlihat dari sana, komplek pemakaman dengan pohon kamboja dan beberapa pohon beringin tua. Lupakan! Aku tidak mau hatiku menjadi semakin kelam.
“Kalau Reina yang minta, pasti dech nggak ditolak,” celetuk Maya dengan muka tertekuk. Ia memilih posisi hanya berjarak setengah meter dari orang yang sedang bersiap untuk konser dadakannya saat itu. Sambil bertopang dagu, sepertinya Maya mencoba meratapi perasaannya yang tak kunjung dibalas oleh Vivaldi. Sebenarnya Vivaldi sudah bersikap cukup adil untuk tidak memainkan alat musiknya atas permintaan siapa pun, kecuali itu memang kelas musik. Sementara kepadaku, aku tidak yakin Vivaldi pernah menolak permintaanku, yang jelas aku perlu menahan diri untuk tidak terlalu dekat dengan Vivaldi, atau Maya akan menangis sepanjang hari.
Satu part dari soundtrack “Kiki’s Deliver Service” yang digubah oleh Joe Hisaishi, aku sudah bilang Vivaldi secara zahirnya selalu bisa mengubah suasana hatiku. Dan…
“Ehmm!”Pak Anto, guru kimia tiba-tiba datang dari belakang.
Dalam hitungan satu… dua …tiga. Anak-anak sudah kembali ke tempat duduknya masing-masing. Nada-nada yang kami dengar dari Violin Vivaldi, seperti dandelion yang terbawa angin entah kemana. Pesawat kertas dan rudal kertas juga sudah hilang dari peredaran. Tidak ada sampah dan tidak ada keributan, sepertinya itu akan cukup membuat Pak Anto tidak mengeluarkan kalimat lain, kecuali ”Selamat pagi menjelang siang anak-anak!”
<>
“Mulai hari ini sampai dua bulan ke depan, guru-guru akan mulai memberikan pelajaran tambahan buat kalian. Semua pelajaran yang akan diujikan di ujian nasional. Kegiatan ini akan dimulai jam tiga siang sampai jam enam sore. Wajib untuk semua anak di kelas XII!”
Masing-masing dari kami menghela napas mendengar kabar buruk dari Pak Anto.
“Benar-benar kabar buruk,” ujar Amira mengamini isi hatiku.
“Penyiksaan yang sempurna.”
“Aku kira kamu suka.”