Ada tumpukan kertas berserakan yang memenuhi meja segi empat, sebuah pulpen, secangkir kopi hitam yang sepertinya sudah dingin dan sebuah kalkulator. Pak Alex, setiap akhir semester dia berubah menjadi seperti kami, siswa-siswinya yang stress karena ujian. Wajahnya menegang dan dia jadi sangat pendiam. Padahal yang dia hadapi cuman hitung-hitungan nilai akhir. Heran, seorang sarjana ekonomi kelihatannya benci banget sama yang namanya hitung-hitungan.
“Ah, ada apa lagi ini?” kami baru saja sampai di kantin dan Amira sudah menunjukkan ketertarikan yang besar pada orang dengan kemeja abu-abu yang saat itu memunggungi kami. Sorot mata Amira mengarah ke bangku panjang yang kebetulan kosong dan cukup untuk delapan orang.
“Tuhan memihak kita,” ujar Amira tersenyum lebih lebar. “Ana!” sebut Amira pada salah seorang dari kami. Amira menunjuk ke tempat dimana Ana seharusnya duduk. Diikuti Dian, Farah, dan Gina. Duduk di hadapan mereka ada Dera, Amira, aku dan Maya. Sesaat, Amira meminta kami merapatkan diri, tidak ada yang ia katakan saat itu, hanya tersenyum licik dan semuanya mengangguk setuju.
Ini adalah waktu yang kritis, tentu saja nilai enam bisa jadi delapan jika konsentrasi Pak Alex buyar, dan bisa juga sebaliknya. Tapi, buat Amira bukan itu esensinya. Akan menyenangkan buatnya melihat Pak Alex gaduh sendiri.
Dian menengok ke belakang. Posisinya tepat berada di belakang Pak Alex. Perempuan berambut pendek itu sangat ahli mengoleskan make-up ke wajahnya yang sebenarnya sudah seperti porselen. Dia paling stylish diantara kami. Terkenal sebagai player dan merayu laki-laki adalah keahliannya.
“Pak!” sebutnya terdengar nakal.
“Ya!” sahut Pak Alex masih belum berpaling. Dia masih serius dengan kertas berisi angka yang berserakan di atas meja.
“Bapak!” sebut Dian lebih lembut.
“Ya, ada apa?” Pak Alex akhirnya berpaling.
“Nggak ada apa-apa, kok! Cuman nyapa aja,” Dian akhirnya membuat kami terkekeh diam-diam.
Hening sejenak. Pak Alex menyorotkan mata elangnya kepada kami. Nampaknya ia sadar sedang ada yang menganggunya sekarang. Pak Alex juga melihat kepadaku, dan buru-buru saja kualihkan pandangan. Dan ketika Pak Alex kembali berpaling, saat itulah kami tertawa tanpa suara.
“Ih, Dian! Lo tega banget sich! Masak lagi serius gituh di php-in?”celetuk Farah.
“Abisnya, lagi serius gitu tetap ganteng sich! Nggak tahan pengen ngengganggu! Daripada dicuekin!” ucap Dian dengan intonasi lebih nyaring.