Kutatap layar smartphone yang hitam, saat kutekan tombol pembuka kunci, segera muncul foto Pak Alex yang berdiri di tengah-tengah lapangan sepak bola. Ia mengenakan kaca mata hitam, rambutnya terkuncir setengah, ada ransel di punggungnya dan tangan kanannya menggenggam jaket Nike hitam kesayangannya.
Alexander Widjaya, ia menggunakan nama lengkap di akun instagram-nya. Sudah lebih dari dua jam aku memperhatikan akun itu. Sudah hampir dua puluh kalimat kutulis di kolom private messages namun berakhir di tombol backspace. “Aku harus bicara kepadanya, aku harus meminta maaf”, itulah yang ada di otakku. Tapi, aku tidak punya keberanian untuk menekan tombol send di layar touch screen.
Ya. Ini bukan pertama kali terjadi, aku yang sepertinya enggan menyerah terhadap dirinya. Namun, tiba-tiba aku teringat ucapan Damian. “Jangan diteruskan! Pak Alex orang yang baik, kurasa ia tidak akan mengatakan hal seserius itu secara langsung. Tapi, ini tentu beban. Bagaimana pun, hubungan seperti ini adalah aib bagi seorang guru.”
Aku sedih, tapi aku bisa tersenyum ketika mengingat ucapan Damian sebelum aku keluar dari klinik. Itu seperti sebuah dukungan untukku bisa melupakannya. Hal baiknya aku akan segera pergi dari sekolah ini. Dia bilang, berdasarkan banyak pengalaman, enam bulan adalah waktu yang cukup untuk membuat pikiranku terdistraksi, dengan catatan selama itu aku tidak boleh melihatnya.
“Tapi, apa itu mungkin?” Pak Alex punya Instagram walaupun hanya update sekali setiap bulan. Di sana aku melihatnya. Aku bahkan membuat akun dengan nama samaran hanya untuk bisa me-like semua postingan di akunnya. Apa yang ia umbar, terlalu sedikit menurutku. Orang-orang bilang dia sudah menikah, istrinya cantik. Tapi, kecuali fotonya dengan tim basket perempuan binaannya, samasekali tidak ada foto perempuan yang ia unggah. Sesuatu yang membuatku semakin penasaran dan belum ingin menyerah.
“Ngapain, Rei?”
Aku tersentak. Segera kutekan tombol back di handphone-ku, kuselipkan benda itu di bawah bantal, dan kutegakkan punggungku.
“Itu siapa?”
Aku ragu jika bundaku bertanya tentang sosok laki-laki yang barusan ku-stalking, “Emm…, bukan siapa-siapa kok, Bunda!”
Satu belaian singgah di rambutku. “Kamu enggak keluar, Sayang? Udah jam empat sore lo. Udah seharian kamu di kamar. Kamu sakit?”
Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum. “Karena sebentar lagi ujian, di sekolah ada pelajaran tambahan, Bunda! Paling cepat pulang jam lima sore. Mumpung hari ini hari Minggu, aku mau istirahat aja!” jelasku.
“Oh, gitu. Ya, udah! Nanti Bunda bilang ke Rian kalau kamu pengin istirahat.”
“Rian?”
“Iya. Rian. Tadi Rian nelpon Bunda, katanya kamu nggak balas WA dia. Ditelpon juga nggak diangkat.”
Aku tidak menanggapi. Kubiarkan bundaku mengecup keningku. Soal Rian, entahlah. Aku berpura-pura tidak mengerti maksudnya seringkali mengajakku keluar. Dia menelponku setiap hari dan parahnya aku harus menjawab pertanyaannya yang sangat tidak penting, seperti, ‘Apa kamu sudah makan?’, ‘kamu lagi ngapain?’ dan soal dirinya yang ingin mengambil kesempatan menjemputku di sekolah. Pada akhirnya, aku harus mengabaikan semua pesan dan telpon darinya, menolak semua ajakannya. Bagiku itu bukan sebuah kejahatan. Itu hanya pilihan dariku untuk bersikap tegas dan realistis, dan kuharap laki-laki itu mengerti.
Dan tiba-tiba, pintu kamar terdorong lagi, “Rei! Katanya Rian mau ke sini!”
“Hah...? Tapi, Bunda...!”
“Kenapa? Nggak papa ‘kan kalau dia ke sini, sekalian ikut makan malam sama kita.”
“Iya, Bunda! Tapi, Amira barusan telpon,” kataku sambil menggoyang-goyangkan handphone-ku, “minta dibantuin ngerjain tugas fisika,” nada suaraku melemah. “Aku harus ke rumah Amira, Bunda!”
…
“Ok! Fix!” Aku berbohong pada bundaku sendiri karena seorang Rian. Lalu sekarang, ke mana harus kukayuh sepeda? Rumah Amira hanya berjarak dua blok dari rumahku, tapi Amira bilang dia ada di sekolah, ada kegiatan kepramukaan. Hadir di sana sebagai senior yang iseng karena malas belajar di rumah.
Jarang sekali aku ke sekolah di hari Minggu. Hampir pukul lima sore, ketika ekspektasiku jalanan akan padat karena itu hari libur. Tidak ada siapa pun di sana dan sekolah pun tampak mencekam dengan gerbang yang menganga lebar. Rasanya sungguh mengagumkan melihat setiap sudut bangunan tempatku menghabiskan sebagian besar waktu tiga tahun terakhir ini. Kali ini begitu senyap. Sinar keemasan menyelip di antara pohon tinggi dengan bunganya yang berwarna merah dan daun yang menguning. Aku tidak tahu bagaimana orang-orang menyebut pohon itu. Pohon yang hanya pernah kulihat di halaman sekolah kami.