“Gue nggak mau pulang,” seorang siswa berkata dengan nada seolah ia tidak lagi memiliki semangat hidup. Marko memang bukan anak yang pintar. Ia malas, tidak punya motivasi dan jika ditanya apa cita-citanya, jawabannya selalu “Apa aja yang penting halal”. Pembagian nilai ujian selalu menjadi hari terburuk bagi Marko, karena seringkali nilai ulangannya hanya sejumlah jari pada satu tangan, dan seringkali juga ayahnya menceramahi Marko berjam-jam dengan harapan anaknya akan berubah. Namun apa daya, bagi Marko takdirnya bukanlah untuk berada di jalur akademik, melainkan artistik. Marko ingin menjadi musisi. Ia bisa memainkan lagu apapun menggunakan alat musik apapun, hanya dengan satu-dua kali mendengarkan lagu tersebut.
Keinginan menjadi musisi tentu saja ditentang orangtua Marko, yang dua-duanya adalah siswa teladan pada masanya. Ayah Marko sekarang bekerja sebagai spesialis bedah dan ibunya seorang dosen.
“Kita nggak salah ngambil bayi, kan, Ma?” begitu canda ayah Marko ke istrinya ketika mereka sedang berdua saja, merenungkan masa depan anaknya.
Marko memukul-mukul dahinya dengan telapak tangan.
“Lo mukul-mukul kepala juga nggak bakal jadi pinter kok,” kata Sani. Sani adalah kebalikan dari Marko. Ia adalah gadis yang pintar, tetapi tidak memiliki bakat apapun. Sani hanya bisa belajar, belajar, dan belajar. Sani bukanlah berasal dari keluarga yang serba ada. Biaya sekolahnya ditanggung oleh negara atas prestasinya memenangkan kejuaraan sains tingkat nasional ketika SMP. Bertahun-tahun membenamkan diri di buku-buku cetak tebal membuat Sani harus mengenakan kacamata besar yang menutupi wajah mungilnya yang manis.
“Kita tuh udah mau ujian nasional loh. Usaha dikit kek,” Sani berlagak bossy.
“Jangan ceramah,” jawab Marko ketus.
“Tenang aja, San. Kalau Marko bisa sebelas tahun selalu naik kelas, bisa lah dia lulus ujian,” Sakti menepuk pundak Marko. Sekilas Sakti tampak cupu dan lemah. Dia jarang berolahraga dan menghabiskan sebagian besar waktu luangnya mengeksplorasi dunia virtual dalam game. Selain Marko dan Sani, yang sudah menjadi temannya sejak masih kecil, teman lain Sakti adalah orang-orang yang ia temui dalam video game, yang wajahnya saja Sakti tak pernah tahu. Sakti senang menghabiskan waktu di forum-forum internet, dan chatting di website anonim. Jadi sebetulnya dari mereka bertiga, Sakti lah yang paling banyak memiliki teman. Dari berbagai negara pula. Hanya saja Sakti tidak pernah tahu mereka sebenarnya siapa, perempuan atau laki-laki.
“Thanks, bro,” kata Marko.
Sakti memang terlihat baik dan murah senyum, tapi jangan bikin dia marah. Sakti memiliki kesulitan dalam mengontrol emosi. Ketika kesabarannya habis maka amarahnya akan meledak-ledak dan ia kehilangan kendali. Ketika SD, Sakti menjadi korban bully. Suatu ketika ia hendak memakan bekal makan siangnya, dan tiga orang anak yang badannya lebih besar menghampiri. Mereka meminta bekal Sakti dan Sakti menolak. Mereka mengancam, tapi Sakti tidak merespon. Salah satu anak berusaha menarik kotak bekal Sakti, namun Sakti menahannya. Tarik-menarik terjadi dan kotak bekal Sakti jatuh. Saat itu pula ia mengamuk. Sakti meneriakkan sumpah serapah dan melemparkan badannya yang kecil ke salah satu anak. Mereka berdua terjatuh, Sakti berada di atas anak tersebut, dan sambil tetap berteriak-teriak, dengan serabutan memukuli si pem-bully.
Sakti adalah anak yang lemah saat itu. Sebagian besar pukulannya tidak begitu keras dan banyak juga yang meleset. Sakti tidak ingat banyak. Yang ia tahu tiba-tiba ia terbangun di ruang UKS, bonyok. Sakti sempat diikutkan dalam terapi emosi, dan itu membuat Sakti memaksa dirinya untuk selalu tersenyum dan menahan amarahnya dalam-dalam.
Marko, Sani dan Sakti sudah berteman sejak mereka SD. Mereka dari dulu sudah satu sekolah dan berencana untuk selalu satu sekolah. Sejauh ini rencana mereka berhasil.
Para siswa SMA berhamburan melewati gerbang dengan wajah penuh semangat karena libur semester telah tiba.
Marko dan dua temannya berada di trotoar depan sekolah yang dipenuhi tukang ojek pangkalan sedang menunggu tumpangan dan cowok-cowok dari sekolah lain yang menunggu gebetan. Marko berpikir, satu-satunya perbedaan mencolok antara para tukang ojek dan cowok-cowok itu adalah tipe motor yang mereka kendarai, tapi intinya sama-sama tukang antar-jemput.
“Kita kemana dulu gitu, yuk. Baru juga jam dua,” ajak Marko.
“Capek gue. Kepala pusing,” jawab Sakti.
“Nyampe rumah juga maen, lo!” tukas Marko.
“Gue juga langsung pulang deh, Ko. Ada novel yang gue anggurin seminggu gara-gara ulangan,” Sani berusaha semaksimal mungkin agar nada bicaranya terkesan penuh penyesalan.
“Ayolah, temenin gue dulu bentar.”
“Ih, elo ini!” Sani kehilangan kesabaran. “Kan nanti juga ujung-ujungnya lo bakal pulang, tetep ketemu bokap lo. Mau pulang ntar atau sekarang juga sama aja. Lagian udah mendung gini, gue males kejebak ujan.”
Suara petir yang begitu samar dapat terdengar dari kejauhan. Suara itu dapat terdengar beberapa kali dalam kurun waktu yang tidak begitu jauh antara satu dan lainnya.
“Oh iya, bener. Perasaan tadi masih terang,” Sakti menengadahkan kepalanya ke arah langit. Benar saja, langit yang beberapa menit lalu masih cerah sekarang nampak suram. Sakti merasa ada yang tidak beres. Ia ingin memberitahu teman-temannya, tetapi kepada diri sendiri pun Sakti tidak bisa menjelaskan apa yang membuatnya merasa pemandangan langit saat itu aneh. Selain langit kelabu, Sakti juga menyadari cahaya matahari yang tampak seakan meredup. Padahal belum juga sore, awan dan kabut pun tidak ada. Sakti menggeleng, mengeluarkan pikiran-pikiran tersebut dari kepalanya. Mungkin hanya mendung.
“Gue temenin lo deh bentar.”
“Nah, gitu dong!” Marko merangkul Sakti. “Yaudah gih pulang,” Marko pura-pura mengusir Sani.
“Emang pada mau kemana sih?” tanya Sani.
“Kemana kita, Ko?” Sakti menengok ke arah Marko di sebelahnya, bertanya.
“Ke Napak Tilas yuk,” ajak Marko. Napak Tilas adalah kafe kekinian yang ada di taman. Kata orang makanannya biasa aja, tapi tempatnya bagus untuk foto-foto. Marko hobi ke Napak Tilas karena di sana dia bisa cuci mata memperhatikan mahasiswi-mahasiswi yang duduk sendirian mengerjakan tugas.
“Aduh, ke sana lagi, kayak nggak ada tempat lain,” kata Sani. Sani kurang suka Napak Tilas. Baginya, sungguhlah hebat orang-orang yang bisa konsentrasi mengerjakan tugas atau membaca buku di tempat itu. Karena harganya yang relatif terjangkau, Napak Tilas hampir selalu ramai oleh anak-anak muda dari berbagai kalangan, dan kebanyakan dari mereka senang sekali mengobrol keras-keras dan bercanda sambil berteriak-teriak layaknya orang kesurupan. Mungkin karena tempatnya outdoor jadi orang merasa bebas untuk berisik tanpa memperhatikan sekitar.
Karena letaknya tidak begitu jauh dari sekolah, mereka memutuskan untuk berjalan kaki saja sambil mengobrol. Meskipun yang terjadi sebenarnya adalah mereka harus berjalan berbaris karena trotoar telah menyempit dan dipenuhi pedagang, motor yang parkir seenaknya, hingga pengemis yang berjejer sepanjang trotoar. Jangankan mengobrol, sepanjang jalan mereka lebih sibuk berhati-hati agar tidak menyenggol ataupun tersenggol kendaraan yang datang dari arah berlawanan. Jalanan yang agak sepi membuat motor dan mobil bisa dengan asyiknya ngebut.