“Cabut, cabut!” Marko berbalik dan mendorong teman-temannya untuk lari. Marko merasa beruntung dirinya masih diberikan cukup waktu untuk menyadari situasi dan mengambil keputusan untuk lari. Banyak pengunjung taman yang kurang beruntung.
Marko, Sani dan Sakti berlari sekuat tenaga. Sani menutup telinga untuk memblokir suara teriakan-teriakan pengunjung dan raungan para Hellhound di belakangnya. Mereka tidak ingat sejauh dan selama apa mereka berlari, tapi kegaduhan di taman tadi sudah tidak terdengar lagi.
“An… anj… anji...” Marko bersusah payah mengutarakan satu kata karena ngos-ngosan. Ia menggenggam kedua lututnya yang gemetaran. Sakti duduk bersandar pada sebuah dinding, berusaha menghirup napas dalam-dalam, yang malah membuat dirinya batuk-batuk. Sani berjongkok dan menempelkan dahinya di atas lengan, sedikit terisak.
“Apaan… Apaan tadi itu… Monster?” Marko kini sudah mulai bisa bicara meskipun kata-katanya penuh dengan jeda.
Ketika tidak mendapat jawaban, ia melanjutkan dengan nada yang lebih mendesak.
“Jangan-jangan hasil eksperimen yang kabur? Mungkin kita juga punya semacam Area 51! Sakti, lo kan biasanya paling ngerti masalah ginian, menurut lo apa?”
Sakti yang kelelahan dan kehabisan akal hanya menjawab singkat,
“Nggak tau, Ko.”
Dari kejauhan suara-suara sirine kembali terdengar dari segala penjuru kota. Suara itu awalnya terdengar seperti saling bersahutan, tapi lama-lama suara sirine yang semuanya hampir mirip itu seolah berpadu menjadi satu suara bising yang membuat kepala pusing.
“Kira-kira, masalah kayak gini apa bisa diberesin sama polisi?” kali ini Marko lebih ke berbicara sendiri dibanding ke orang lain, dia pun tidak membutuhkan jawaban atas pertanyaannya.
“Dari tadi udah banyak banget polisi dan ambulans yang mondar-mandir. Kejadian di taman mungkin bukan yang pertama, dan bukan juga yang terakhir,” Marko terdiam sejenak, memejamkan mata. Ia memfokuskan diri mendengarkan suara sirine.
“Kalian denger? Itu berarti di luar sana, entah di mana, ada orang-orang yang ngalamin hal yang sama kayak kita,” Marko melepas tawa kecil. Sebuah tawa yang penuh ironi.
Ia mencoba mengingat segala sesuatu yang ia lakukan semenjak bangun tidur pada pagi hari itu. Mencoba mengingat hal-hal yang sudah ia rencanakan sampai waktunya tidur nanti malam. Pergi ke sekolah, duduk-duduk di selasar koridor atau kantin dengan Sakti dan Sani, menunggu hasil ulangan diumumkan sambil mendengarkan Sani dan Sakti mengobrolkan prediksi nilai yang akan mereka dapat untuk masing-masing mata pelajaran. Kemudian ia berencana mengajak dua temannya nongkrong sampai malam untuk membuat mood-nya bagus, sehingga ketika nanti malam ia diceramahi orang tuanya karena nilai ulangan yang jelek, Marko bisa menghadapinya tanpa melawan. Setelah itu ia akan main sampai mengantuk.
Begitu kira-kira yang Marko bayangkan soal bagaimana harinya akan berjalan. Menyaksikan tiga anjing besar memangsa manusia bukanlah bagian dari ekspektasinya.
“Gue nggak nyangka hari ini bakal aneh banget,” Marko menggumam dalam lamunannya.
“Gue udah ngerasa ada yang nggak beres semenjak kita keluar dari sekolah,” kali ini Sakti yang bicara. “Pas Sani bilang mendung.”
Mendengar namanya disebut, Sani yang dari tadi membenamkan wajahnya di lengan, akhirnya mengangkat kepala. Wajahnya terlihat sembab dan kacamatanya miring. Sani terlihat agak memprihatinkan. Sakti yang melihat Sani bergerak, langsung melihat ke arahnya, kemudian sadar bahwa dari tadi Sani menangis dari tidak ada satupun dari mereka yang memperhatikannya. Sakti ingin bertanya, “Lo nggak apa-apa?” tapi ia sadar kalau ditanyakan sekarang, sepertinya sudah basi. Jadi Sakti memilih melanjutkan omongannya.
“Ketika denger ada yang bilang ‘wah mendung’ kita akan dengan otomatis liat ke atas untuk konfirmasi beneran mendung atau nggak. Itu yang gue lakukan. Pas itu juga gue sadar ada yang nggak beres. Gini, gini,” Sakti mengubah posisi sedikit agar terlihat seperti orang cerdas yang sedang menjelaskan sesuatu yang rumit kepada orang-orang yang tingkat kecerdasannya lebih rendah.
“Ketika mendung normalnya kita nggak bakal bisa liat matahari karena ketutupan awan. Tapi semenjak tadi siang, yang gue perhatikan adalah nggak ada awan sama sekali. Gue bahkan masih bisa liat matahari. Anehnya, itu kan tengah hari bolong, tapi gue bisa natap langsung matahari tanpa rasa silau sama sekali. Entah gimana, tapi saat itu gue merasa seolah cahaya matahari tuh meredup. Makanya sekilas keliatannya kayak mendung. Gue nggak ngomong apa-apa ke kalian, karena gue sendiri pun bingung ngomongnya gimana.
“Awalnya gue ngira mungkin asap atau debu, tapi gue sendiri nggak yakin. Sampe akhirnya di taman tadi ketika Marko bilang tiba-tiba pengep, terus batuk-batuk, dan pas Sani bilang makin gelap, gue liat langit lagi. Saat itu gue yakin kalian semua sadar kalau udara dipenuhi debu, yang ketebalannya sampe nutupin langit. Di Timur Tengah sana, badai debu atau pasir bisa mengganggu sinyal, jadi mungkin itu yang bikin kita semua tiba-tiba kehilangan sinyal.”
“Tapi kan itu bisa aja cuma polusi,” Sani bicara dengan nada lemah.
“Kita tinggal di sini dari kecil, kan? Setiap hari juga polusi di mana-mana, tapi emangnya pernah sampe kayak gini?”
Sani mencoba mengingat sejenak, kemudian mengangkat bahu.
“Seinget gue nggak pernah sih, ya.”
“Makanya, ini nggak normal.”
Marko melihat ke langit, dan kali ini dia bisa melihatnya dengan jelas, debu tebal yang beterbangan di udara menyerupai gumpalan asap, sesekali bergerak tertiup angin. Dia juga bisa melihat sinar matahari yang redup seperti lampu bohlam di WC umum.
“Terus asalnya dari mana? Apa hubungannya sama… entah apapun itu di taman tadi?” tanya Marko.
“Gue nggak tau,” gaya sok pintar Sakti sudah hilang, sekarang dia sama-sama tidak mengerti apa yang sebetulnya terjadi.
“Sekarang kita gimana, dong? Gue takut,” rengek Sani.