“Abang nih, ngaco! Saya memang duduk di samping Abang, kok!” seru si gadis sambil tersenyum.
“Kamu sudah lama bangun, ya?” tanya Adrian.
“Uh-uh,” jawabnya sambil menahan tawa kecil. “Tadi saya lihat Abang hampir jatuh.”
“Kenapa tidak kamu bangunkan?”
“Takut, ah. Siapa tahu Abang lagi mimpi ketemu gadis cantik.”
Adrian tersenyum nakal. “Mana mungkin Abang mimpi ketemu gadis lain. Di sampingku sudah ada gadis cantik.”
Si gadis menunduk malu, pipinya bersemu merah. Adrian memperhatikannya dengan senyum hangat.
Ternyata, pikirnya, wanita memang selalu malu bila dipuji.
Ia sedikit heran pada dirinya sendiri. Dulu, berada di dekat seorang perempuan saja sudah membuatnya gugup dan serba salah—tak tahu harus bicara apa. Namun malam ini, entah mengapa, lidahnya terasa ringan. Ia bahkan agak berani.
“Bang, boleh ambilkan saya bungkusan itu?” pinta si gadis sambil menunjuk sebuah kantong plastik yang tergantung di sandaran kursi Adrian. Rupanya tadi belum sempat diambil ketika mereka bertukar tempat duduk.
“Boleh,” jawab Adrian cepat, lalu meraih bungkusan itu dan menyerahkannya.
“Terima kasih ya, Bang.”
“Sama-sama.”
Gadis itu membuka bungkusan pelan-pelan. Adrian melirik sekeliling; hampir semua penumpang sudah terlelap. Suara mesin bus terdengar halus menembus kesunyian malam. Ia menunduk sebentar melihat jam tangannya.
Pukul 22.12.
Berarti, kalau perhitungannya benar, mereka kini sudah mendekati lereng Gunung Sehak.
“Makan, Bang!” Gadis itu menyodorkan sebungkus Taro yang baru dibuka.
“Adik makan saja. Abang lagi nggak selera,” jawab Adrian sambil tersenyum kecil.
“Ndak ah. Abang harus ikut makan,” katanya tegas.
“Tapi abang betul-betul sedang kenyang, nih.”
“Abang takut, ya? Tenang aja, ndak ada racunnya kok!” katanya sambil tertawa geli.
Sialan, pikir Adrian, memangnya ini cerita silat apa?
Adrian menatap wajah gadis itu. Ia tersenyum memandangnya, masih dengan tangan terulur, menyodorkan bungkusan snack ke arah Adrian. Dalam bayangan lembut cahaya bulan yang sesekali menyelinap di antara pepohonan dan menembus kaca jendela bus, Adrian bisa melihat kesungguhan di wajah gadis itu.
Ia tak sampai hati mengecewakannya. Padahal, sejujurnya, Adrian bukan tipe orang yang suka ngemil. Akhirnya ia mengambil beberapa potong Taro dari bungkusan itu. Begitu yang di tangan habis, ia segera menolak ketika gadis itu kembali menawarkannya.
“Adik habiskan saja, ya. Abang memang lagi kenyang,” katanya lembut.
“Ndak mau! Abang harus bantu saya menghabiskannya. Masih ada sebungkus lagi, nih!” seru gadis itu sambil menggoyang-goyangkan kantongnya.
“Nanti abang kegemukan,” elak Adrian, mencoba bercanda.
“Masa makan snack segini aja bisa kegemukan,” balasnya sambil tertawa renyah.
Adrian ikut tersenyum. Gadis ini lucu juga, pikirnya. Kecil begini tapi keras kepala. Apa perempuan memang dasarnya manja, ya?
***
Sepi kembali menyelimuti bus. Namun lampu dalam bus kini sudah menyala, membuat wajah gadis itu terlihat jelas di mata Adrian. Penumpang lain masih sibuk makan atau mengobrol pelan. Di antara semua, hanya mereka berdua yang sudah lebih dulu naik.
“Adik berbahasa apa? Hakka atau Tio Ciu?” tanya Adrian membuka percakapan lagi.
“Hakka,” jawab gadis itu cepat.
“Tio Ciu bisa, ndak?”
“Pasif aja, Bang. Kalau buat ngomong sih kurang lancar.”
“Abang bisa bahasa Hakka?”
“Bisa,” sahut Adrian dengan nada santai.
“Kalau Tio Ciu?”
“Juga pasif.”
Adrian menoleh ke depan. Ia melihat sopir sudah naik ke kursinya, tapi mesin bus belum dihidupkan. Sopir itu masih sibuk menyulut rokoknya. Adrian menghela napas pelan. Dalam hati ia bergumam, apa sih enaknya merokok?