"Kalau seandainya isteri yang abang nikahi itu ternyata sudah tidak suci lagi, bagaimana?"
"Saya tetap menerimanya. Asalkan dia berjanji tidak akan mengulangi perbuatan mesumnya dengan orang lain!"
"Tidak merasa rugi dan menyesal?" tanya Cindy penasaran.
"Rugi apa, menyesal apa?" ujar Adrian juga penasaran.
"Rugi karena dia sudah bekas orang, menyesal karena tidak bisa mencicipi keperawanannya!"
"Bagi abang kesucian seorang wanita tidak melulu terletak pada kegadisannya. Untuk apa kalau sewaktu kita nikahi dia masih perawan tetapi nantinya malahan menyeleweng dengan orang lain. Kan masih lebih baik dia tidak perawan tetapi setelah menikah dengan kita dia menjadi seorang isteri yang setia. Memang idealnya sih sewaktu menikah dia masih perawan dan setelah jadi isteri, dia juga tetap setia."
"Sungguh bahagia wanita yang mendapatkan abang!" Cindy berbicara pada dirinya sendiri dengan perlahan seakan berbisik saja.
"Tapi sampai sekarang belum ada yang bisa memahami Abang!"
“Abang hanya belum ketemu saja. Pasti ada wanita yang menyukai abang,” ujar Cindy
“Tapi sudah umur segini. Belum juga ketemu wanita yang mempunyai sifat yang seperti itu.”
“Abang tidak aktif mencarinya.”
“Memangnya barang dagangan? Kok dicari seperti itu.”
Cindy terdiam. Menurutnya laki-laki ini hanya kurang agresif saja. Seperti sebuah barang yang tanpa promosi, bagaimana orang tahu akan kualitasnya? Di media sosial saja pakai promosi, apa lagi diri kita?
“Menurutku … Maaf. Abang hanya kurang agresif saja dengan wanita.”
“Maksud, Adek?”
“Maksudku…begini…hheemm…, abang hanya kurang berani mendekati wanita.”
Adrian terdiam. Apa yang dikatakan oleh Cindy ada benarnya juga. “Tapi aku takut dinilai terlalu nakal.”
Cindy tersenyum. Dia suka laki-laki ini. Semakin mereka banyak berbicara, semakin dia tahu akan sifatnya.
“Begini Abang. Abang kan laki-laki. Abang yang harus pro-aktif menyatakan cinta Abang kepada wanita yang abang inginkan. Sangat tidak etislah seorang wanita yang lebih dahulu menyatakan hatinya. Meskipun dia sebenarnya juga mau. Kita kan orang Timur, Abang. Jangan lupa.”
Adrian tercenung. Apa yang diungkapkan oleh Cindy itu ada benarnya. Dia memang kurang berani dengan wanita. Banyak pertimbangan yang menjadi halangan baginya. Takut di bilang nakallah. Takut di bilang tidak tahu dirilah. Takut dibilang tidak punya rasa malulah. Dan puluhan takut yang lainnya.
“Tetapi aku takut di sebut nakal dan tidak tahu diri…,” desah Adrian hampir tidak kedengaran.
Cindy tertawa ringan. Tetapi karena dengungan suara bis yang sedang melaju itu cukup kuat, sepertinya para penumpang yang lain tidak mendengarkannya.
“Abang itu sebenarnya orang yang sangat percaya diri. Tetapi saya yakin, kelemahan Abang itu adalah dalam keberanian menyatakan cinta terhadap wanita.”
“Tapi…Tapi…Aku tidak berani menghadapi kenyataan jika aku sampai di tolak…” jelas Adrian singkat.
Cindy kembali tertawa ringan. Abang, Abang. Anggap saja kentut. Cinta itukan sama saja dengan kentut.”
“Kok sama dengan kentut, Dek. Maksudnya apa?”