Shinta kini wajahnya memerah padam, urat-urat di lehernya menegang, amarahnya membara laksana gunung berapi yang hendak meletus. Kedua tangannya berputar cepat di depan dada, membentuk lingkaran aneh seolah sedang merajut pusaran langit.
Mulutnya komat-kamit, melafalkan mantra gaib yang bergaung bagaikan suara ribuan guntur di dalam cakrawala. Tiba-tiba bumi bergetar! Dari telapak tangannya, angin ribut yang menggila lahir bagaikan naga raksasa yang baru dilepaskan dari rantai penjara.
Pusaran itu mengamuk, mengguncang pepohonan, memecah riak sungai menjadi ombak setinggi rumah. Dalam sekejap, angin ribut itu menjelma menjadi puting beliung raksasa, berkilat-kilat seperti naga angkasa yang menukik ke bumi, diarahkan dengan telunjuk maut Shinta untuk melumatkan Paskalia!
Dahsyatnya angin puting beliung itu membuat air sungai bergemuruh, tersedot ke langit laksana naga air menari di angkasa. Pohon-pohon besar di tepian sungai, meski berakar ratusan tahun, tercabut begitu saja dari pangkuan bumi. Batang, ranting, dan akar-akar yang sebesar ular naga itu beterbangan, ikut tersedot ke dalam pusaran maut, lalu meluncur ganas ke arah tubuh Paskalia, seakan seluruh alam raya digerakkan untuk menghancurkannya.
Gadis cantik itu hanya tersenyum tipis, senyum yang tak berbeda dengan sehelai bunga mekar di musim semi, namun entah mengapa menebar rasa dingin ke dalam hati siapa pun yang memandangnya. Ia menarik napas panjang, tarikan yang sarat dengan nuansa pilu, seolah menyimpan rahasia duka yang tak terucapkan.
Andai roh atau manusia lain yang menyaksikan kedahsyatan serangan Shinta barusan, tentu nyali mereka sudah ciut, lutut mereka pasti akan gemetar, dan hati mereka karam dalam ketakutan.
Namun gadis ini… hanya mengangkat telapak tangan kirinya seperti kilat, gerakan yang begitu ringan, tetapi sesantai embusan angin di pucuk bambu.
Sekejap kemudian
DUUUMMM ………..!
Ledakan dahsyat meletus dari telapak tangannya, bagaikan dentuman guntur yang merobek jagat. Suara itu mengguncang bumi dan langit, seakan dewa petir turun untuk mengadili. Dalam sekejap, pusaran angin puting beliung ciptaan Shinta yang mengerikan itu hancur tercerai-berai, lenyap tanpa bekas, laksana buih yang ditelan samudra.
Bumi kembali tenang. Sungai yang bergolak seolah dipaksa tunduk, pepohonan yang hampir tercerabut kembali bergeming, dan udara yang tadinya menderu kini terdiam, hanya menyisakan keheningan sakral yang membuat dada sesak.
Kali ini Shinta betul-betul sangat marah. Karena setiap serangannya selalu dimentahkan oleh Paskalia.
"Siapa kamu sebenarnya?" tanya Shinta marah.
Dia lalu menatap Paskalia dalam-dalam. Dia sudah betul-betul marah
Paskalia hanya tersenyum tipis. Ada rasa geli di hatinya melihat Shinta begitu murka hanya karena kesenangannya terusik. Memang begitulah tabiat makhluk, baik manusia maupun roh, bila keinginan yang membara di dalam dada mereka tiba-tiba terhalang, maka amarah pun bisa membuncah hingga ke ubun-ubun.
Ia mengerti benar, roh di hadapannya kini sedang dilanda gejolak keinginan duniawi yang mendesak kuat. Dan ketika gejolak itu terhenti mendadak karena ulah Paskalia, maka murka pun meledak tanpa bisa dibendung.
Ketika Shinta melihat Ngoak sedang berada di dalam WC, sementara lima pemuda lainnya tengah bersantai di dalam lanting, gejolak batinnya sudah memuncak, menggelegak laksana ombak yang menghantam karang. Gairahnya telah mencapai puncak tertinggi, dan dalam keadaan seperti itu, kedatangan Paskalia yang tiba-tiba mengusik tentu saja membuat Shinta marah bukan kepalang.
"Jangan kamu kira aku sudah kalah...," ujarnya geram. "Akan kuhabiskan kamu...!" teriaknya seraya dengan garang meraih tusuk konde di dalam gelungan rambutnya.
Tusuk konde itu di tiup oleh Shinta dan tiba-tiba berubah menjadi sebuah mandau yang mengeluarkan hawa menggiriskan.
Paskalia sempat tertegun melihat mandau itu. Bukan karena takut, melainkan karena pandangan matanya seketika terlempar jauh ke masa silam. Senjata itu mengingatkannya pada mandau pusaka milik Ryan, kekasih yang pernah ia cintai lima ribu tahun silam—sebuah pusaka agung yang namanya tersohor di tiga alam.
Mandau tersebut bukan sembarang bilah. Konon, ketajamannya mampu membelah angin. Bahkan hembusan tebasannya saja sudah cukup untuk membuat seekor lalat yang kebetulan tersentuh pusaran angin kibasannya terpotong menjadi dua, seakan bilah tak kasatmata menari di udara. Begitulah kedahsyatan senjata yang kini tergambar kembali dalam ingatan Paskalia.
Dengan melihat saja Paskalia tahu jika mandau yang ada di tangan Shinta adalah sebuah senjata pusaka.
"Dari mana kamu memperoleh mandau itu?" tanya Paskalia ingin tahu, karena menurut dia bentuk Mandau itu bukan asli dari Indonesia, lebih menyerupai pedang.
"Huh. Kamu ketakutan melihatnya, ya?" dengus Shinta sinis. “Ini pedang pusaka kepunyaan kaisar Qin dari negeri Tiongkok lebih 6500 tahun yang lalu.”
"Itu adalah senjata pusaka. Tidak boleh digunakan sembarangan...!"