Reinkarnasi

Yovinus
Chapter #18

18-Nusa Tujuh

 

"Sayakan hanya penumpang…," sahut Adrian sambil memandang Adrian, karena keduanya duduk berdekatan.

“Saya juga terserah tauke juga,” sambung Adrian lagi, ringan.

“Baiklah kalau begitu,” tukas Ali ketika mendengar jawaban kawan-kawannya.

Dia lalu meminta Ijim menurunkan kecepatan mesin out board yang sedang melaju, lalu singgah di salah satu Nusa Tujuh yang terbesar. Setelah menambatkan perahu, dia segera mengajak mereka menambatkan perahunya di bagian buntut Nusa Tujuh dan menurunkan peralatan masak ke pantai.

Walaupun mereka semuanya laki-laki, namun tangan-tangan mereka yang terlatih dan terbiasa bekerja dari kecil sudah pada sibuk dengan tugas masing-masing. Tidak ada yang saling memerintah. Semuanya mengerjakan apa saja yang bisa dikerjakan.

Melihat Ali menghidupkan api kompor, Ngoak langsung mencuci beras. Sementara Buten, Ijim, dan Edy langsung mempersiapkan sayur-mayur yang mereka beli tadi pagi. Lalu Serak menumbuk cabai rawit untuk penambah selera makan mereka.

Karena kebiasaan di daerah ini, makan tanpa cabai belum disebut makan. Adrian mencuci piring dan persiapan makan mereka yang lainnya. Semuanya bekerja. Tidak ada yang jadi penonton.

"Ada yang tahu asal muasal Nusa Tujuh ini?" celetuk Adrian ketika mereka sedang asyik mempersiapkan makan malam itu.

Kawan-kawannya yang di tanya pada menggeleng. Adrian lalu menceritakannya dengan singkat. Konon menurut legenda suku di daerah ini, Nusa Tujuh merupakan penjelmaan dari tubuh Kolling, seorang yang berasal dari kampung Sahke pada waktu itu.

Dia adalah seorang manusia yang menjelma menjadi naga, karena tanpa sengaja memakan potongan tubuh naga lainnya ketika mereka sedang melayari Sungai Melawi dari arah Nanga Pinoh menuju hulu, jutaan tahun silam.

Manusia yang menjadi tubuh naga itu bernama Kolling, yang terbelah menjadi tujuh bagian saat ia bertarung melawan Naga Sungai di Desa Pahkot Llobahta’—kini dikenal dengan nama Pagar Lebata.

Dia mati bukan karena senjata musuh, tetapi oleh senjatanya sendiri, karena dia memasuki labirin yang di buat musuhnya sehingga dia tidak sadar jika yang di potongnya itu adalah tubuhnya sendiri.

Kolling sendiri berasal dari Kampung Sahke, yang sekarang termasuk wilayah Desa Sahke di Kecamatan Ambalau.

Sesungguhnya, Kolling itu tidak pernah terkalahkan. Seluruh naga sungai di sepanjang aliran Melawi gentar menghadapi kekuatannya. Namun, ajalnya justru datang bukan karena musuh, melainkan karena kerisnya sendiri.

Pada suatu waktu, naga yang mendiami bawah perkampungan membuat tembok batu yang melingkari tempat tinggal mereka. Tembok itu tidak lurus, melainkan berkelok-kelok, menyerupai lorong-lorong seperti sebuah labirin. Dalam pertempuran yang kacau di dalam belokan-belokan batu itulah, keris Kolling justru berbalik mengiris tubuhnya sendiri hingga terpotong-potong.

Para naga itu kemudian bersembunyi di berbagai celah, menanti saat Kolling menyerbu benteng batu yang berkelok bagai labirin.

Namun, nasib malang menimpa diri Kolling. Ketika masuk ke dalam lorong-lorong sempit yang berliku, kepala Kolling justru bertemu dengan ekornya sendiri, lalu menyusul bagian-bagian tubuhnya yang lain.

Disangkanya itu musuh yang menghadang. Maka tanpa ragu, keris pusakanya diayunkan, menebas tubuh yang ia kira lawan.

Potongan demi potongan itu tercerai berai, hingga akhirnya ia menyadari bahwa yang dihantam dan dicincangnya adalah tubuhnya sendiri.

Sayang, kesadaran itu datang terlambat.

Koling akhirnya tewas, sehingga tubuhnya yang terpotong menjadi tujuh bagian itu hanyut kemudian tersangkut di sebelah hilir Nanga Mentatai dan sekarang menjelma jadi Nusa Tujuh atau tujuh pulau kecil ini yang bisa di lihat sampai sekarang.

"Asyik juga ceritanya ya…," kata Serak sambil menumbuk cabe.

“Memang asyik,” komentar Adrian.

Setelah semua masakan selesai, mereka lalu makan dalam keadaan makanan masih panas dan mengepul. Tetapi karena mereka sudah terbiasa, maka hal itu tidak menjadi masalah meskipun dicampur demikian banyak cabai.

Setelah beristirahat sebentar, mereka lalu bersiap melanjutkan perjalanan. Sebab mereka ingin segera sampai di tempat tujuan, di Desa Nanga Kemangai yang masih jauh. Jika di tempuh dengan speed boat mereka dengan kecepatan seperti ini, maka perlu beberapa jam lagi.

"Sudah berapa lama Bro tidak pulang ke kampung?" tanya Ali sambil membungkus rokok shagnya.

Adrian menoleh, "sudah hampir tujuh tahun."

Lihat selengkapnya