"Astaga…," Ali berteriak tertahan, penuh khawatir. "Kita di serang para gelandas…," keluhnya menyebutkan istilah para perampok sungai yang sering berkeliaran.
Para perampok yang di sebut Gelandas ini memang sering beroperasi di sungai-sungai di Kalimantan yang besar, panjang, dan sepi. Sehingga penduduk harus hati-hati jika melakukan perjalanan di sungai.
Kawan-kawan Ali serentak mencabut Mandau yang memang selalu di bawa jika berpergian. Kebiasaan ini terutama terbiasa ketika mereka dulu masih hidup di jaman pengayauan, sebagai alat untuk membela diri dari sasaran para Asang Kanyou atau gerombolan kayau.
Adrian jadi tersentak. Dia memang penduduk asli daerah ini tapi dia sudah lama meninggalkan kebiasaan membawa Mandau jika berpergian, karena dia sudah lama tinggal di kota. Padahal jaman dulu dan beberapa orang sampai sekarang selalu membawa Mandau kemana pun mereka pergi.
"Kamu tidak bersenjata?" tanya Ali ketika melihat Adrian kebingungan mencari sesuatu untuk mempertahankan diri.
Adrian hanya menggelengkan kepala. "Pakai saja dayung itu…," desis Ali lagi sambil menunjukan sebuah dayung dari kayu tebelian.
Dengan agak ragu Adrian meraih dayung itu. Sebab percuma saja, karena para gelandas itu semuanya menyandang senjata api.
"Rasanya senjata kita ini percuma…," desis Adrian perlahan.
"Setidaknya kita telah mempertahankan diri…," bisik Ngoak merasa tegang.
"Matipun kita secara jantan...!" ujar Serak lirih dengan lutut agak gemetar.
"Betul. Jangan sampai kita mati konyol…," timpal Buten memberanikan diri.
Padahal nyawanya sepertinya sudah mau meninggalkan tubuhnya.
Kedua body terbang itu perlahan-lahan mendekat. Masing- masing berisi empat orang. Jadi dari segi jumlah saja Ali dan kawan-kawannya sudah kalah. Tujuh lawan delapan. Belum lagi dari segi persenjataan.
Dari dalam body terbang di sebelah kiri tiba-tiba berdiri seorang dengan tubuh yang begitu kurus tapi tingginya hampir dua meter. Tubuhnya mengenakan pakaian hitam. Di lengan kanannya melilit seuntai akar bahar.
Di pinggangnya melingkar sebuah untaian ajimat. Sepertinya memang sengaja diperlihatkan untuk menakuti musuhnya.
"Serahkan semua uang kalian...!" bentak orang itu dengan tiba-tiba.
Suaranya melengking tinggi hingga telinga mereka jadi kesakitan. Sungguh tidak sesuai dengan tubuhnya yang ceking. Tampaknya orang itu jadi pimpinan mereka.
Mereka ini sangat berbahaya
"Kalian salah sasaran. Kami tidak punya uang, Ali berkata cepat, nadanya nanggung antara panik dan pura-pura tenang, motor tempel ini saja kami pinjam ..."
Pemimpin gelandas itu melangkah maju, mata seolah menimbang-nimbang; senyum tipisnya tak menyentuh mata. "Jangan coba-coba membohongi kami," suaranya dalam, kasar. "Kalian kira kami tak dengar? Baru saja menjual kayu gaharu di Nanga Pinoh, bukan? Hah?" Ia menendang pecahan kayu di tanah.
Ali menelan ludah. "Pasti kalian salah informasi...!" suaranya serak, kata-kata yang tampak rapuh mempertahankan topengnya.
Seorang anggota lain tertawa serak, lalu memukul badan samping perahu. "Dari info yang kami dapat, uang kalian miliaran, Ali. Miliaran!" ejeknya, menyingkapkan gigi.