“Mengapa kakak melarangku menghabisi bajingan kecil itu?” tanya Shinta ketika keduanya melayang mengikuti speed boat Ijim dan Adrian.
“Tidak perlulah sampai membunuhnya. Cukup membuatnya ketakutan seperti itu, semoga saja dia mereka jera dan bertobat,” tukas Paskalia sambil tersenyum manis kepada Shinta.
“Yah, mudah-mudahanlah mereka bisa sadar. Karena sepertinya kerjanya memang tukang tipu,” desis Shinta.
Mungkin Shinta akan lebih marah lagi jika tahu laki-laki tinggi besar itu adalah preman tanah Abang, yang selalu di pakai oknum untuk memuluskan proyeknya.
Entah mengapa, bulu kuduk Adrian terasa merinding dan dia mencoba melihat ke belakang. Tetapi dia tidak melihat apa-apa.
“Ngapa, Dri?” tanya Ijim ketika melihat Adrian beberapa kali mencoba menoleh ke belakang.
“Buku kuduk ku terasa merinding, sepertinya ada yang mengikuti kita berdua. Tetapi aku tidak melihat apa-apa di belakang kita,” jelas Adrian.
“Mungkin oleh pengaruh angin sore, sehingga membuatmu kedinginan,” sahut Ijim.
“Mungkin juga,” sahut Adrian meskipun dia masih merasa bulu kuduknya merinding.
“Apakah dia melihat kita?” tanya Shinta kepada Paskalia mendengar perkataan Adrian. Meskipun jarak keduanya ada dua puluh meter, tetapi mereka mendengar dengan jelas pembicaraan Ijim dan Adrian.
“Ndak,” jawab Paskalia pasti.
“Tapi kok sepertinya dia tahu?” bisik Shinta sambil memandang Adrian.”
“Mungkin dia keturunan orang yang punya ilmu tinggi, tetapi dia sama sekali tidak menyadarinya,” jelas Shinta.
Paskalia sama sekali tidak bisa melihat latar belakang kehidupan Adrian, karena salah satu janjinya dalam upayanya mencari kekasihnya yang telah reinkarnasi itu adalah sama sekali tidak boleh menggunakan kesaktiannya.
Kecuali untuk hal-hal kebaikan atau menolong orang yang membutuhkan secara diam-diam.
“Ooh,” sahut Shinta mengerti.
Ketika Ijim dan Adrian sudah sampai di pangkalan, kedua tubuh ini pun lalu melayang jauh meninggalkan kedua saudara sepupu itu.
***
Pemuda itu berjalan dengan loyo menuju ke sebuah warung bakso yang biasa buka di pinggir jalan di ujung jalan Abdul Rahman Saleh, tidak jauh dari asrama Sintang tempat tinggalnya selama kuliah ini.
Dia sudah lima hari tidak merasakan makan nasi dan hanya bertahan hidup dengan minum air putih dan rebusan ubi kayu yang ditanamnya di belakang asrama mahasiswa tempat mereka tinggal.
Kebetulan di belakang asrama itu ada tanah kosong milik Pemda yang sebenarnya disiapkan untuk asrama perempuan, tapi belum di bangun karena pihak PEMDA belum cukup dananya.
Sore hari ini kebetulan kawannya meminjamkan dia sedikit uang, hanya cukup untuk sekedar makan semangkuk bakso. Untuk makan nasi tidak cukup, tetapi untuk membeli bahan nasi dan sayur juga kurang, sehingga dia memutuskan untuk makan bakso saja.