“Hah? Siapa yang mau menyerang?” tanya Shinta dengan dahi berkerut. Ia tidak merasakan getaran apa pun, seakan semuanya masih tenang-tenang saja.
Namun, keraguannya segera teredam. Shinta sangat percaya pada firasat Paskalia. Buktinya, ketika speed boat misterius mengejar Ali dan rombongannya tempo hari, Shinta sama sekali tak merasakan tanda-tanda bahaya.
Tetapi Paskalia yang lebih dahulu menangkap getaran itu dan pernyataan gadis itu terbukti tepat. Sehingga Shinta sama sekali tidak meragukan pernyataan kakaknya ini.
“Mereka ada banyak. Para jin jahat sekitar 10 ribu. Setan ada 8 ribu. Para Kuntilanak sekitar 5 ribu dan roh penasaran sekitar 1 juta.”
“Wah… apa sebenarnya penyebab mereka menyerang ke sini, Kakak?” tanya Shinta, matanya melebar penuh rasa ingin tahu bercampur cemas.
“Kakak melihat dengan jelas,” ujar Paskalia pelan namun tegas, “salah satu di antara mereka adalah pemimpin para gelandas yang menyerang kita tempo hari. Tidak mungkin kebetulan. Pasti ada kaitannya dengan serangan ini.”
Ia berhenti sejenak, menatap jauh seakan menembus gelap malam.
“Dan ini nyang membuatmu harus lebih waspada,” lanjutnya dengan nada mengingatkan, “pasukan mereka dipimpin langsung oleh sang Ratu Kuntilanak… penguasa gaib kota Pontianak ini.”
“Wah, cepat sekali… kaki tiang listrik itu sudah sembuh,” ucap Shinta dengan nada terkejut.
Paskalia mengangguk pelan. “Kakak yakin, pasti ada campur tangan mereka.”
Shinta terdiam sejenak, lalu menarik napas dalam. “Hmm… kalau begitu, apakah aku sanggup melawan mereka, Kakak?” tanyanya dengan suara setengah ragu, setengah menantang.
Paswkalia tersenyum, “kamu pasti mampu, karena kamu hanya tangani yang kuntilanak dan para hantu saja. Kalau para jin dan setannya urusan Kakak.”
“Sekarang posisi mereka di mana, Kakak?” tanya Shinta cepat, matanya menatap penuh waspada.
“Masih di jalur Sungai Ambawang,” jawab Paskalia tenang. “Kira-kira lima puluh delapan kilometer dari Pontianak. Kamu masih punya waktu untuk bersiap.”
“Baik, Kakak,” Shinta mengangguk mantap, meski dalam dadanya ada debaran yang tak bisa ia sembunyikan, antara antusias dan waspada.
Paskalia mengangkat tangannya perlahan, lalu melukiskan gerakan melingkar di udara. Dari luar, tampak hanya gerakan sederhana, nyaris tak berarti. Namun, sesungguhnya setiap ayunan jemarinya melahirkan gelombang tak kasatmata, menyelubungi seluruh tempat resepsi itu.