Rekata Laila

FAKIHA
Chapter #1

1. Keseimbangan Jiwa

Kebahagiaan, dalam hakikat terdalamnya, adalah keadaan batin yang melampaui kebendaan dan kondisi eksternal. Ia bukan sekadar rasa senang atau puas, tetapi lebih kepada penerimaan yang tenang terhadap hidup dalam segala bentuknya—baik suka maupun duka. Seperti halnya cahaya matahari yang menerangi tanpa syarat, kebahagiaan sejati tidak bergantung pada pencapaian atau pengakuan dunia, melainkan pada keseimbangan antara jiwa dan realitas.

Filosofisnya, kebahagiaan terletak dalam kesadaran akan ketidakkekalan, bahwa segala sesuatu berubah, dan justru dalam penerimaan itulah kita menemukan makna sejati, kebebasan dari kegelisahan yang muncul dari hasrat atau ketakutan.

Aku pikir semua hal yang terjadi dalam hidupku akan sesuai dengan yang aku rencanakan. Namun, sayangnya aku melupakan sesuatu, bahwa semua hal yang terjadi dalam alam semesta ini sudah ada yang mengaturnya. Seperti halnya pergerakan bumi yang mengelilingi matahari sesuai porosnya, itu juga yang terjadi pada kehidupanku.

Pagi ini, matahari baru saja menembus tirai kamarku, membangunkanku dengan lembut. Setelah salat Subuh, aku kembali tidur. Dua bulan sudah berlalu sejak aku menikah dengan Iman, dan segala hal terasa begitu penuh kebahagiaan. Aku merasakan kehangatan yang tenang dalam rumah baru kami, yang sudah kami huni hampir enam pekan ini. Aku selalu berdoa dan berharap kepada Allah agar rumah tangga kami selalu mendapat berkah dan kebahagiaan.

Perjalanan hidup kami begitu alami, tidak ada yang dipaksakan. Bahkan cinta kami tumbuh begitu saja, tanpa pernah ada momen formal bernama pacaran. Sejak kecil, kami sudah saling mengenal satu sama lain, lalu berlanjut menjadi sahabat. Kami saling berbagi cerita dan saling ambisius mengejar impian. Kami saling mendukung satu sama lain. Itu adalah kebahagiaan sekaligus privilage yang aku miliki, dikelilingi oleh orang-orang yang mendukung setiap langkah impianku.

Hingga suatu hari, ketika aku berusia dua puluh satu tahun, tepat di semester enam, orang tua kami memutuskan untuk menjodohkan kami. Anehnya, kami menerimanya begitu saja, meskipun saat itu kami merasa tidak ada perasaan cinta di antara kami. Hanya ada rasa saling percaya karena kami sudah mengenal satu sama lain sejak kecil. Setelah kami menyetujui perjodohan itu, kami bertunangan, dan dua bulan lalu kami menikah.

Awalnya, semua terasa datar, tetapi tanpa disadari, benih cinta itu telah ada—tersembunyi di balik tawa dan percakapan sederhana. Setelah bangun dari tidur, aku berjalan melewati koridor rumah yang masih terasa baru. Suasana pagi ini terasa begitu hening. Pikiranku langsung tertuju pada seseorang di sampingku. Kosong. Di mana dia?

Aku segera keluar dari kamar dengan mencarinya di dapur, lalu ke ruang keluarga, namun tak ada tanda kehadirannya. Sampai akhirnya, aku mendengar suara samar dari ruang kosong di ujung rumah. Ketika aku mendekat, ternyata Iman sedang berlatih anggar—hobi lamanya yang jarang kulihat sejak kami menikah.

Iman memang bukan seorang atlet profesional, tetapi ketika dia berusia tujuh belas tahun, dia pernah meraih juara tiga dalam kompetisi anggar tingkat nasional. Gerakannya masih anggun dan terlatih, meskipun sudah bertahun-tahun berlalu sejak itu. Aku tersenyum, teringat betapa mendalamnya kecintaannya pada anggar. Iman memang orang yang penuh kejutan, selalu ada hal baru yang membuatku kagum.

Kami kuliah di jurusan yang berbeda. Aku mengambil psikologi, sementara Iman mengambil manajemen bisnis. Dia selalu bercita-cita menjadi seorang pengusaha. Baru sebulan lalu, dia meraih gelar Master of Business Administration (MBA) dengan predikat cum laude berkat nilai yang sempurna.

Selama lima tahun terakhir, usahanya berkembang pesat. Iman telah membangun bisnis parfum yang kini digemari banyak orang, dari berbagai kalangan. Meski dia tiga tahun lebih tua dariku, kematangan pikirannya melampaui usianya. Tindakannya selalu penuh perhitungan, dewasa, dan bijaksana.

Kami sering terlibat dalam obrolan serius, tetapi selalu ada celah untuk candaan yang membuat diskusi kami lebih hidup. Yang paling menarik, setiap pertanyaan yang aku ajukan, dia selalu punya jawaban. Meskipun kami berasal dari bidang yang berbeda, obrolan kami selalu penuh makna dan menyenangkan.

“Latihan lagi?” tanyaku sambil bersandar di pintu.

Iman menghentikan gerakannya dan menoleh ke arahku, wajahnya berkeringat, tetapi senyum menghiasi bibirnya. “Iya, rasanya sudah lama sekali tidak mengayunkan pedang ini, Lail. Kadang aku rindu masa-masa itu.”

Aku melangkah mendekat, mataku menatapnya dengan lembut. "Kamu masih sehebat dulu. Pernah terpikir untuk mengajariku sedikit tentang keahlianmu dalam anggar?"

Dia tertawa ringan, meletakkan pedang anggar di lantai dan menghampiriku. “Tentu saja, Lail. Kapan pun kamu mau diajarkan, aku akan siap, Lail." Aku mengangguk.

"Bagaimana kalau hari ini juga? Apa kamu tidak keberatan?" Dia menggeleng.

"Sama sekali tidak." Iman berjalan ke arah utara ruangan kosong ini untuk mengambil sesuatu di lemari. Sebenarnya ruangan ini tidak benar-benar kosong. Hanya namanya saja ruangan kosong. Alasan kenapa aku menamakan hal itu pada ruangan ini, itu karena ruangan ini kami gunakan di waktu yang kosong. Seperti olahraga atau hal lain yang menyenangkan.

Dia kembali menghampiriku dengan membawa seragam sekaligus pedang anggar itu lalu memberikan dua benda itu padaku.

"Kalau kamu siap sekarang, kamu bisa ganti baju dulu. Semoga saja ukurannya pas," katanya. Aku mengangguk patuh.

Aku segera bergeser dan membelakangi Iman untuk mengganti baju. Tidak membutuhkan waktu lama untuk mengganti bajuku dengan seragam itu. Aku tersenyum lebar. Aku segera berbalik seperti mempresentasikan sesuatu padanya.

"Bukankah ini sangat cocok untukku, Iman?" tanyaku. Iman mengacungi dua ibu jari sekaligus.

"Sangat bagus, Lail. Ukurannya pas dengan badanmu. Seragam anggar yang kamu pakai jadi terlihat jauh lebih cantik setelah kamu pakai," katanya cukup serius. Aku memutar bola mata.

"Ini masih pagi untuk mendapat amunisi menyenangkan seperti itu. Jujur saja, aku belum siap dengan gombalan itu," kataku. Iman malah tertawa, senyumnya sangat manis. Dia memang sangat tampan, apalagi saat tersenyum, sepertinya madu yang dipetik dari sarang lebah saja akan kalah manis karena senyumannya terlalu menggiurkan. Terlebih lagi, karakternya sangat selaras dengan wajah tampan dan karismatiknya itu. Iman selalu saja membuat kata-kata yang cukup manis yang membuatku tersenyum.

"Padahal aku sedang serius, Lail. Seragam anggar itu sepertinya akan naik harga setelah kamu pakai. Kamu selalu cantik, apa pun yang kamu pakai juga akan selalu ikut terlihat cantik."

Lihat selengkapnya