Aku mengemudikan mobil dengan tenang menuju Rumah Sakit Kusuma, tempat Mama bekerja sebagai psikiater. Jalanan Jakarta mulai padat meski masih menginjak pukul setengah sepuluh pagi. Hari ini tidak ada rutinitas apa pun selain belajar untuk menyiapkan S-2 profesi psikologku.
Seperti biasa, lalu lintas di Ibu Kota seakan tidak pernah mengenal waktu—entah hari kerja atau hari libur, selalu ramai oleh kendaraan yang berlomba-lomba untuk bergerak maju. Ajaibnya, para pengendara begitu kompak membunyikan klakson saat terjebak macet, seolah bunyi keras itu bisa membuat jalanan tiba-tiba lengang atau kendaraan di depan menghilang dalam sekejap. Itu sangat mustahil terjadi, bukan? Yang ada mereka hanya akan membuang waktu saja, dan kesabaran mereka akan semakin menipis.
Itu juga yang kudengar sejak lima menit lalu, mereka terus membunyikan klakson tanpa henti. Menyebalkan sekali. Meskipun aku tinggal di Jakarta sejak kecil, pemandangan ini tetap tidak menyenangkan. Apalagi tiba-tiba kendaraan di belakang membunyikan klakson yang cukup keras dan mengejutkan, hanya karena puluhan meter di depan sedang macet.
Aku bertanya pada seseorang untuk memastikan dengan menurunkan kaca mobil yang kukendarai. "Maaf, Pak, di depan macet ada apa, ya? Perasaan lama sekali jalannya?" tanyaku pada seorang pengendara motor yang tepat berada di sampingku.
"Sepertinya sedang ada perbaikan jalan, Kak. Semuanya menjadi macet total, tidak bisa bergerak sama sekali," jelasnya. Aku mengangguk mengerti dan mengucapkan terima kasih atas informasinya. Lalu aku segera menaikkan jendela mobilku. Semua kendaraan berhenti serempak karena macet total.
Oh ya ampun... bukankah baru dua bulan lalu mereka memperbaiki jalan raya ini? Sepertinya bukan hal aneh lagi, selalu ada perbaikan jalan, entah dari jalan raya maupun jalan di sekitar kompleks perumahan. Aku menghela napas panjang. Aku harap Allah selalu memberikan kesabaran yang luas untuk semua manusia, khususnya yang tinggal di Ibu Kota Jakarta. Tapi begitulah Jakarta, kejar-kejaran dengan waktu, selalu membuat kesabaran mudah terkikis oleh macet dengan berbagai penyebab. Padahal sepanjang penglihatanku menggunakan kacamata minus, jalannya masih baik-baik saja. Malah masih bagus, paling hanya satu lubang di jalan sekitar satu kilometer.
Sesekali, aku melirik arloji di lengan, memastikan masih ada waktu untuk menemui Mama tepat waktu agar tidak mengganggu jam kerjanya. Udara di luar terasa lembap, sementara pepohonan di pinggir jalan bergoyang pelan tertiup angin. Akhir-akhir ini Kota Jakarta selalu berangin, membuat udara tidak terlalu panas tetapi tidak cukup menyejukkan.
Akhirnya, aku tiba di rumah sakit setelah menempuh perjalanan dua jam tiga puluh menit karena terjebak macet total. Seharusnya, waktu tempuh dari rumah ke rumah sakit ini hanya tiga puluh menit. Sesampainya di rumah sakit, aku segera memarkir mobil di area parkir umum. Setelah memastikan mobil terparkir dengan aman, aku melangkah cepat menuju pintu masuk rumah sakit. Rumah sakit ini memiliki desain modern dengan dinding kaca transparan dan bentuk kubus berjajar yang minimalis. Bangunannya cukup tinggi, terdiri dari beberapa lantai dengan jendela kaca besar yang memantulkan cahaya. Bentuknya sederhana dengan garis-garis bersih, memberikan kesan futuristik.
Di sekelilingnya terdapat taman hijau yang rapi, ditanami berbagai jenis bunga dan pepohonan yang rindang, dengan tujuan membuat pikiran pasien maupun staf rumah sakit ini lebih tenang karena udaranya lebih sejuk dan pemandangannya memanjakan mata.
Setelah melewati lobi yang ramai, aku bergegas menuju ruang psikiater di lantai dua. Ruangan itu terletak di koridor yang sepi, jauh dari keramaian. Di sepanjang jalan, aku melihat beberapa pasien dan keluarganya yang sedang menunggu dengan sabar, sementara perawat dan dokter lalu lalang dengan sigap.
"Pagi, Nurse Loka," sapaku saat berpapasan dengan seorang wanita cantik yang sudah kukenal hampir tujuh tahun. Usianya sepuluh tahun lebih tua dariku. Ia tampak sibuk dengan clipboard di tangan, namun ketika melihatku, wajahnya langsung bersinar.
"Laila? Apa kabar, sayang?"
"Alhamdulillah baik, Nurse. Nurse apa kabar?"
"Alhamdulillah baik. Mau bertemu Dokter Aster?" Suaranya yang lembut membuatku merasa lebih tenang di tengah keramaian rumah sakit.
"Iya, aku mau bertemu Mama. Apakah beliau sudah datang?"
"Tentu saja, beliau sudah datang sejak enam jam yang lalu." Ia mengangguk, senyumnya tak pernah pudar meski terlihat lelah.
"Apa beliau sedang ada pasien?" tanyaku, penasaran dengan kesibukan Mama saat ini.
"Tadi saat saya masuk ke ruangannya, beliau baru melaksanakan salat Zuhur. Kalau kamu mau bertemu, sepertinya ini waktu yang tepat. Mungkin saja beliau sudah selesai salat," jelasnya.
"Terima kasih, Nurse." Nurse Loka menghela napas panjang setelah aku mengucapkan terima kasih. Aku sengaja membawa paper bag yang berisi bekal untuk makan siang bersama Mama. Semua yang kubawa adalah makanan kesukaannya.
"Apa semuanya baik-baik saja?" tanyaku. Nurse Loka hanya tersenyum, menyembunyikan rasa lelahnya.
"Seperti yang kamu lihat, Laila, kadang saya ingin pindah haluan menjadi perawat spesialis psikiatri. Sepertinya itu lebih baik," katanya sambil tertawa pelan. Lalu ia menambahkan, "Tapi kadang-kadang, setelah dipikirkan lebih matang, pikiran saya terlalu bercabang, jadi lebih cocok untuk menjadi pasien psikiatri." Aku tertawa mendengarnya, ucapannya terlalu realistis.
"Ternyata ungkapan tentang rumput tetangga yang jauh lebih menarik itu memang benar adanya, ya, Nurse."
"Benar sekali, Laila. Kadang kita selalu ingin menjadi orang lain atau memiliki kehidupan orang lain yang terlihat lebih baik dari kita. Namun, kita tidak mengerti apa yang terjadi pada mereka hingga mereka bisa terlihat baik-baik saja, menutupi segalanya agar terlihat sangat menarik bagi orang lain," jelas Nurse Loka, membuat kepalaku refleks mengangguk. Aku sangat setuju dengan pendapatnya itu.
"Bukankah itu akan rumit lagi jika harus beralih ke spesialis lain?" tanyaku agak penasaran, kembali ke topik sebelumnya.
"Memang, berpindah ke spesialisasi lain bisa menjadi proses yang rumit. Namun, jika kita memiliki keinginan yang kuat, semua usaha itu akan sepadan. Ada langkah-langkah yang bisa diambil untuk mempermudah transisi ini, seperti mengikuti pelatihan atau kursus tambahan yang relevan. Yang terpenting adalah tetap berkomitmen pada tujuanmu dan percaya bahwa setiap langkah yang kamu ambil adalah bagian dari perjalanan kariermu."
"Apa kamu tahu, Laila? Di bangsal anak, situasi bisa berubah dalam sekejap. Anak-anak sering kali datang dengan berbagai masalah, dari penyakit ringan hingga yang lebih serius," jelas Nurse Loka sambil melirik ke arah bangsal sebelah, di mana suara anak-anak terdengar riuh. Aku setia mendengarnya. Aku selalu suka mendengar orang lain bercerita, seperti ada ketertarikan tersendiri dalam mengamati karakter orang lain.