Aku sudah bersiap sejak tadi, mungkin sekitar lima belas menit yang lalu. Aku sempat memeriksa ulang isi tas, memastikan semuanya ada—ponsel, buku catatan kecil, dan parfum favoritku. Setelah yakin, aku duduk di sofa ruang tamu, sesekali melirik jam dinding, menanti suara mesin mobil Iman yang akan tiba kapan saja.
Tak lama kemudian, suara mesin mobil terdengar dari luar. Aku segera bangkit, merapikan pashmina. Dress panjang dengan motif ringan berwarna cokelat tua yang kupakai dipadukan dengan sneakers putih dan pashmina cokelat muda. Setelah merasa cukup rapi, aku melangkah keluar. Iman, seperti biasa, sudah membuka pintu gerbang begitu aku tiba di depan.
Pintu mobil sudah terbuka. Iman tersenyum tipis menyambutku, aku membalas dengan tersenyum. Wajahnya tampak sedikit lelah tapi hangat seperti biasa. Ia baru saja pulang dari kantor, namun seperti yang kami rencanakan, sore ini kami akan pergi ke pabrik yang kami percayakan untuk produk kami, memeriksa hasil uji coba parfum baru.
“Lama nunggu ya?” tanya Iman, menoleh padaku setelah aku duduk di sampingnya.
“Tida, aku juga baru siap-siap,” jawabku sambil memasang sabuk pengaman.
Mobil melaju perlahan meninggalkan kawasan rumah kami di Permata Hijau, melewati deretan rumah besar dan rapi. Lampu-lampu kota mulai menyala, menerangi jalanan yang sedikit lebih lengang dibandingkan siang hari. Jakarta selalu terlihat berbeda di sore hari—lebih tenang meskipun mobil berjalan hanya merayap.
“Kamu sudah sempat cek laporan uji coba parfum hari ini, Lail?” Iman bertanya lagi, kali ini suaranya lebih serius.
“Aku lihat sekilas tadi siang,” jawabku sambil menatap Iman yang tengah fokus mengemudi. “Tapi aku masih ragu soal base notes-nya. Menurutku masih terlalu dominan, padahal seharusnya lebih lembut seperti yang kita rencanakan jauh-jauh hari.”
Dia mengangguk pelan, mengerti maksudku. “Iya, aku juga kepikiran hal yang sama. Harusnya kita pakai takaran yang lebih seimbang. Yang sekarang terlalu kuat di awal, kesannya malah seperti bukan parfum produk kita. Nanti sekalian aku akan berdiskusi dengan Pak Falan. Semoga saja beliau bisa menggantinya dengan aroma yang lebih baik.”
Mobil terus melaju, melewati kawasan SCBD yang masih padat dengan lampu-lampu neon dari gedung-gedung tinggi. Iman fokus mengemudi, sementara pikiranku teralihkan sejenak oleh pemandangan kota yang sesekali terlihat indah dengan kemegahannya. Tapi di sisi lain, ada perasaan yang sedikit mengganjal. Sesuatu tentang produk baru ini membuatku gelisah. Rasanya belum sepenuhnya siap.
“Kamu yakin dengan keputusanmu untuk bisa rilis dua bulan lagi? Apa itu tidak terlalu cepat?” tanyaku akhirnya, memecah keheningan.
Iman menoleh sejenak padaku, lalu mengembalikan pandangannya ke jalan. “Kita harus yakin, La. Kalau nggak sekarang, kapan lagi? Semua tim sudah kerja keras untuk ini.”
Aku mengangguk, meski dalam hati masih banyak pertanyaan yang berseliweran. “Iya, sih. Tapi aku masih ingin kita cek lagi. Apa kamu keberatan?"
"Tidak, La. Aku tidak keberatan. Kalau itu yang terbaik untuk brand kita, kenapa tidak coba lakukan?" Aku mengangguk saat Iman sependapat denganku.
"Mungkin ada yang bisa kita ubah sedikit, terutama soal kemasan. Desainnya masih kurang menarik. Aku rasa warna merahnya kurang pas. Sepanjang riset yang sudah aku lakukan di media sosial maupun dari orang-orang yang kukenal, generasi kita itu seleranya tinggi sekali. Memang tidak ada yang sempurna, tapi kalau kita melakukan revisi sebelum produk kita diluncurkan, bukankah itu lebih baik?"
“Itu jauh lebih baik. Nanti kita bisa diskusi lagi dengan tim desain. Yang penting, parfum ini harus punya kesan pertama yang kuat sekaligus dikenali pelanggan."
Percakapan itu berlanjut ketika kami mulai memasuki kawasan industri di pinggiran Jakarta. Bangunan-bangunan tinggi berganti dengan gudang-gudang dan pabrik besar. Suasana semakin sunyi, hanya sesekali terdengar deru kendaraan berat melintas.
"Apa kamu sudah makan, Lail?"
"Belum. Aku belum lapar. Nanti saja ya, sepulang dari pabrik?"
"Baiklah. Tapi jangan terlalu dibiasakan menunda makan, Lail. Kalau sudah lapar, makan saja. Aku tidak mau kamu kenapa-napa," katanya. Iman selalu berlagak seperti Mama. Sebelum aku menikah, Mama juga sering berkata begitu. Kadang aku lakukan, kadang aku lupa tanpa sengaja.