Rekata Laila

FAKIHA
Chapter #4

4. Batas Juang

Selain menjadi seorang dokter psikiatri, Mama juga sepertinya cocok menjadi seorang motivator, semalam Mama mengatakan sesuatu yang kalimatnya sangat indah. "Terkadang, kita lupa bahwa hidup bukan tentang mencapai tujuan, Lail. Tetapi tentang perjalanannya sendiri. Setiap langkah, baik yang penuh kebahagiaan maupun perjuangan, membentuk siapa diri kita."

"Kenyataannya, sering kali kita tumbuh paling banyak di saat-saat ketidaknyamanan, ketika kita dipaksa menghadapi ketakutan atau keraguan. Di momen-momen seperti inilah kita menemukan kekuatan yang tak pernah kita sadari. Jalan mungkin tak pasti, tetapi justru dalam ketidakpastian itulah hidup menjadi bermakna." Itu kalimat yang paling indah yang pernah Mama katakan.

Tiga bulan berlalu sejak kami mulai menyiapkan percobaan parfum hingga akhirnya produk selesai dan siap diluncurkan. Proses ini melibatkan berbagai tahap, mulai dari pengujian campuran aroma, penyesuaian formula, hingga pengemasan yang menarik agar parfum kami siap memikat pasar. Meskipun terkesan singkat, tiga bulan itu sudah cukup bagi kami untuk memastikan setiap detailnya sempurna.

Sepanjang perjalanan, obrolan kami dipenuhi rencana perjalanan esok hari—liburan ke Sumba yang sudah lama dinanti sebelum tanggal peluncuran parfum tiba. Suasana menjadi menyenangkan, sejenak melupakan kelelahan setelah seharian sibuk membantu Iman memantau dan memeriksa brand parfum baru yang akan segera diluncurkan. Kami sudah merancang berbagai aktivitas yang ingin kami lakukan di sana, mulai dari menjelajahi pantai hingga menikmati matahari terbenam di bukit-bukit hijau.

Di balik senyum tipis yang masih terukir di wajah Iman, aku menyadari matanya yang sedikit sayu karena tenaga kami cukup terkuras. Aku menawarkan diri untuk menggantikannya mengemudi karena khawatir akan kelelahan yang tercetak jelas di matanya. Aku takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Itu sangat menakutkan, bukan?

"Iman, kalau kamu butuh istirahat, aku bisa gantikan kamu mengemudi," tawarku.

Iman hanya menggeleng pelan. "Aku baik-baik saja, Lail. Tidak perlu khawatir."

"Baiklah, tapi jangan kamu paksakan kalau kamu sudah kurang kuat. Itu sangat membahayakan nyawa kita berdua."

"Tenanglah, aku baik-baik saja, Lail." Mobil melaju lebih cepat dari sebelumnya. Suasana menjadi hening. Kami tidak mengobrol apa pun lagi. Aku tetap berjaga, bertindak waspada, takut sesuatu terjadi padanya. Hanya ada suara mesin mobil yang terus melaju di jalanan yang semakin sepi.

Lampu jalan mulai berkurang, malam semakin larut, dan jam sudah menunjukkan angka sebelas lewat tiga puluh menit. Lalu lintas yang tadinya lancar kini terasa terlalu sunyi. Hawa dingin dari AC semakin terasa di kulitku. Sesuatu terasa tidak beres, dan firasat itu kian menguat.

Waktu berlalu dengan cepat, aku mulai merasakan keheningan ini menekan. Iman tak lagi berbicara, tangannya semakin tegang di setir. Tiba-tiba, mobil bergerak sedikit oleng, tapi Iman tidak memberikan reaksi. Aku menoleh ke arahnya. Kedua matanya tampak terpejam sejenak.

"Iman!" seruku panik, menyadarkannya. Cepat-cepat dia membuka matanya.

"Maaf, Lail, aku hilang kendali," katanya. Aku mengangguk paham.

"Biar aku saja yang mengemudi. Kamu bisa tidur di sampingku atau di kursi penumpang," tawarku sekali lagi dengan memaksa. Sayangnya, Iman tidak menjawab. Ia tetap kekeh untuk mengemudi.

Mobil melaju semakin cepat, kendali lepas begitu saja. Aku melihat dari kejauhan selokan yang besar, dan sebelum sempat memperingatkan Iman lebih lanjut, tiba-tiba mobil menabrak trotoar, berguncang hebat, dan terjun ke dalam selokan yang ternyata sebuah sungai kering yang penuh bebatuan. Benturan keras terasa di seluruh tubuhku. Suara logam yang bengkok memenuhi telinga. Mobil berhenti dengan bunyi mengerikan, hancur total.

Rasa sakit menjalar seketika. Punggungku seperti dihantam benda berat, kakiku terasa sakit sekali sepertinya tulangku ada yang patah, dan tubuhku tertahan oleh sabuk pengaman yang menekan terlalu kuat. Aku berusaha bernapas, tapi udara terasa enggan masuk. Beberapa benda tajam dari bagian dalam mobil menancap ke kulitku, membuatku tersentak setiap kali bergerak.

Dengan napas tersengal, aku menoleh ke arah Iman yang masih terdiam. Jelas, aku mengkhawatirkannya. Tubuhnya tak bergerak, matanya terpejam—apa dia tertidur atau pingsan? Kalau dia tertidur, bagaimana mungkin dia bisa tertidur di saat keadaan seperti ini? Apa selelah itu hingga membuatnya kantuk berat sampai tak sadarkan diri?

"Iman!" Aku mengguncangnya dengan tanganku yang lemah karena panik mulai menguasai pikiranku. "Iman, bangun! Kita kecelakaan!" kataku berteriak.

Tanganku gemetar ketika menyentuh bahunya, mencoba membangunkannya lagi. Suaraku mulai pecah karena ketakutan, tapi Iman tidak kunjung terjaga. Apa dia pingsan? Apa dia baik-baik saja?

Pikiranku mulai kacau. Aku hampir kehabisan akal ketika tiba-tiba dia terbangun dengan wajah bingung, matanya terpaku pada keadaan sekitar.

Dia menatapku dengan kaget, baru dia menyadari betapa hancurnya keadaan kami. Mobil yang kami tumpangi sudah rusak parah, dan kami terjebak di dalam selokan yang cukup dalam.

"Laila… apa yang terjadi?" Aku diam, aku merasa badanku sulit digerakkan, rasanya tulangku patah seluruhnya.

"Laila, apa kamu baik-baik saja? Tolong bicaralah!" tanyanya cukup panik.

"Badanku tidak bisa digerakkan, Iman. Terasa sakit sekali. Apa kamu baik-baik saja?" jelasku sekaligus bertanya untuk memastikan jika dia baik-baik saja. Iman mengangguk. Dia tidak bisa berbohong. Wajahnya menahan rasa sakit di badan, dan pelipis dahinya sobek, mengeluarkan banyak darah akibat terbentur cukup keras pada setir.

"Iman... tolong keluarlah dari mobil. Ini sangat berbahaya jika kita terus terjebak di dalam mobil yang sudah rusak ini. Tolong... minta bantuan pada siapa pun. Aku mohon..." kataku, benar-benar kehabisan tenaga. Mesinnya rusak total. Aku tidak tahu bentuk mobil yang kami tumpangi seperti apa. Sepanjang penglihatanku, mobil yang kami tumpangi ini benar-benar rusak parah sampai tidak berbentuk mobil lagi.

Dengan susah payah, Iman mencoba membuka pintu mobil. Dengan tenaga yang tersisa, dia berhasil keluar. Aku tersenyum lega melihatnya.

Syukurlah dia selamat. Dia mencoba berdiri dengan susah payah, keningnya berlumuran darah akibat kepala terbentur di setir. Aku tidak tahu seberapa pusing dan sakit kepalanya itu. Terbentur di tembok saja rasanya pusing sekali, apalagi ini, sampai mengeluarkan darah.

Lalu bagaimana denganku? Aku masih terjebak di dalam mobil. Iman berteriak minta tolong, tapi hingga puluhan menit berlalu tidak ada pertolongan apa pun. Tiba-tiba, detik berikutnya, Iman jatuh pingsan di samping luar mobil kami. Begitu juga denganku, kesadaranku mulai hilang.

_________

Lihat selengkapnya