Aku terbangun dari tidur karena mendengar suara dari monitor ICU yang berada di dalam ruangan. Suara beep yang monoton dan berirama terus terdengar, seperti detik jam yang memecah keheningan. Di antara bunyi itu, sesekali ada nada yang lebih tinggi, seolah memberi tahu bahwa sesuatu di tubuhku berubah. Rasanya seperti suara yang tak pernah berhenti selama aku tertidur, namun sekarang bunyi itu terasa lebih tajam, lebih nyata, seakan memanggil kesadaranku yang lama terpenjara.
Napas terasa berat, dan dengan setiap tarikan, mesin di sebelahku mengeluarkan desisan lembut, membantu paru-paruku bekerja. Sejenak, aku hanya bisa terbaring, mendengarkan bunyi kehidupan yang kini terasa asing.
Saat aku membuka mata, aroma obat-obatan langsung menyerbu indra penciumanku. Rasanya seperti terbangun dari tidur yang sangat panjang. Tubuhku terasa berat dan nyeri hebat di hampir setiap sudut. Aku memandang sekeliling. Apa ini kamarku? Aku sedikit mencoba mengingat ruang sekeliling.
Benar, ini kamarku. Kamar yang sudah kukenal dengan baik, yang sudah kutinggalkan sekitar lima bulan lalu setelah aku menikah. Namun kini dipenuhi buket-buket bunga yang menghiasi sudut-sudut ruangan. Aku menarik napas dalam-dalam dan pelan-pelan mengembuskannya. Ternyata aku masih hidup.
Seketika, kenangan kecelakaan semalam kembali terlintas. Jujur saja, ketika ingatan tentang kecelakaan itu muncul, aku merasa takut dan cemas berlebihan. Aku sempat berpikir, itulah akhir dari segalanya. Aku yakin nyawaku telah direnggut pada saat itu. Namun Allah masih memberiku kesempatan untuk tetap di sini, meski kini tubuhku terasa begitu rapuh. Tanganku terhubung dengan selang infus, dan berbagai peralatan medis tampak menempel di tubuhku, seolah-olah aku dihidupkan kembali oleh mesin-mesin ini.
Apa yang terjadi padaku? Aku baik-baik saja, bukan? Apa kecelakaanku begitu serius hingga ruangan kamarku diubah menjadi ruang perawatan intensif rumah? Semua pertanyaan itu menyerang pikiranku.
Aku mencoba bergerak sedikit, dan saat itulah panik mulai merayap dalam diriku. Kakiku… tidak merespons. Aku mencoba sekali lagi, lebih keras, namun tetap sama. Tidak ada gerakan, tidak ada sensasi. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisku. Mengapa kakiku tidak bisa digerakkan? Apa yang terjadi?
Aku memaksakan diri untuk tenang, berusaha mencari penjelasan yang masuk akal di tengah kekacauan ini. Mungkin aku hanya bermimpi, pikirku. Ini pasti hanya efek dari sleep paralysis—itu alasan tubuhku tidak bisa bergerak. Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri, walaupun perasaan cemas tidak juga mereda. Aku menarik napas dalam-dalam, namun dadaku terasa berat, dan di leherku… ada sesuatu. Aku meraba dengan hati-hati dan menemukan lingkaran penyangga yang dipasang setelah kecelakaan hebat itu.
Tidak mungkin. Ini pasti hanya mimpi.
Aku terus menolak semua pikiran negatif yang datang ke pikiranku. Saat itu, seseorang yang tidak kukenal menghampiriku. Ia tersenyum cukup ramah. Dia masih muda, mungkin seusiaku atau sedikit lebih tua.
"Anda siapa?" tanyaku lemah.
"Saya Nurse Azalea Kenanga, saya yang merawat Anda. Selamat pagi, Laila. Saya sangat senang akhirnya kamu bangun."
"Selamat pagi juga, Nurse. Memangnya Nurse Azalea sudah berapa lama merawat saya?" Suaraku tidak begitu tegas saat menanyakan hal itu. Aku masih merasa lemas.
"Sebuah keajaiban besar dari Allah, Laila. Kamu telah melewati masa koma selama setahun, sejak kecelakaan itu," jelasnya, membuatku tidak percaya.
Mataku membulat sempurna. Setahun? Itu waktu yang cukup lama. Apa maksudnya? Apa aku mengalami koma selama setahun penuh? Lalu di mana Mama, Papa, dan Iman? Kenapa mereka tidak ada di sini?
"Setahun? Anda tidak sedang bercanda, kan?" tanyaku dengan nada lemah. Nurse Azalea menggeleng tanda tidak sedang berbohong. Aku merasa sangat lelah, seperti orang yang tidak memiliki tenaga. Rasanya lemah sekali.
"Tenanglah, jangan terlalu banyak berpikir dulu. Saya akan memeriksa Anda. Apakah Anda mengizinkan?" Aku mengangguk patuh saat Nurse Azalea menghentikan rentetan pertanyaan di pikiranku. Aku mengizinkan Nurse Azalea memeriksaku. Pikiranku masih mempertanyakan dan memikirkan semua hal yang terjadi selama setahun itu.
"Di mana Papa, Mama, dan suamiku? Kenapa mereka tidak ada di sini?" Aku berhenti bertanya ketika Nurse Azalea terdiam cukup lama. Aku berharap Iman tidak kenapa-kenapa. Aku harap dia baik-baik saja.
"Apa Iman masih hidup? Dia baik-baik saja, kan?" Nurse Azalea mengangguk sambil tersenyum tipis.
"Dia masih hidup dan sehat." Aku lega mendengarnya. Saat itu juga aku tersenyum lebar mendengar kabar itu. Nurse Azalea dengan cekatan memeriksa tanda-tanda vitalku. Dengan tangan cekatan, ia mengatur peralatan, mengawasi layar monitor yang menunjukkan detak jantung dan tekanan darah. Nurse Azalea memeriksa angka-angka yang berkedip-kedip di layar dengan seksama.
"Tanda vitalmu stabil, Laila. Anggota tubuhmu melakukan kemajuan yang luar biasa," lanjutnya, memberikan pujian yang sangat manis. Aku mengucapkan terima kasih yang mendalam padanya.
"Nurse, boleh tolong panggilkan Mama, Papa, dan Iman? Aku ingin sekali melihat mereka."
"Tentu saja, Laila. Saya akan menghubungi orang tuamu dan memberitahu mereka tentang kabar baik ini. Saya yakin, mereka akan sangat senang mendengarnya. Sebentar, saya keluar dulu, ya!" ujarnya cepat. Aku mengangguk. Pertanyaanku tentang kakiku, kenapa tidak bisa digerakkan, belum terjawab. Mungkin Nurse Azalea sengaja menunggu Mama atau Papa yang menjelaskan.
Aku berharap, aku tidak mengalami kelumpuhan permanen. Aku takut jika hal itu terjadi. Aku pasti tidak akan baik-baik saja. Aku memejamkan mata dan menghela napas panjang. Nurse Azalea masuk kembali ke kamarku.
"Bagaimana? Apa mereka bisa dihubungi?" Nurse Azalea mengangguk.
"Laila, apa tanganmu bisa digerakkan?" Aku mencoba menggerakkan tangan. Kenapa rasanya lemas sekali, seperti tidak ada tulangnya.