Hari berlalu cukup cepat. Cuaca hari ini agak panas meskipun masih fajar. Jujur saja, aku masih belum menerima semuanya. Hidupku sudah berantakan. Aku selalu berpikir, apakah aku bisa sekuat itu untuk menghadapi segalanya? Bahkan hari-hariku menjadi suram. Sekarang aku berubah menjadi sepenuhnya cacat atau disabilitas.
Apa yang bisa aku harapkan dengan hidupku yang seperti ini? Mungkin sepanjang hidupku aku akan terkurung di kamar, merenungi segalanya, terus menangis dan meluapkan amarah pada diri ini yang tidak mampu menerima keadaanku yang telah berubah, hancur sepenuhnya. Laila Shazhara—seorang wanita yang dulunya selalu ceria, penuh tawa, banyak cerita, dan selalu membuat semua orang bahagia—kini berubah. Hanya ada wajah murung dan sembap yang terlihat oleh semua orang.
Aku tidak butuh dikasihani, aku hanya ingin hidupku kembali seperti dulu. Aku tidak mau cacat. Lagi-lagi aku terisak menangis. Semua pertanyaan itu meluap pada diri sendiri, kenapa harus aku? Aku tidak sekuat itu, ya Rabb, hingga Engkau memilihku untuk menjalani takdir ini. Aku benci dengan kehidupanku sekarang. Tidak ada kebahagiaan lagi. Mengapa Lauh Mahfuz menuliskan hal ini untukku? Kenapa, ya Rabb?
Jika aku boleh memilih, aku ingin mati saja saat kecelakaan itu terjadi. Setidaknya aku tidak perlu merasakan rasa sakit ini. Bukan hanya beberapa tulang penting dalam tubuhku yang rusak karena patah akibat kecelakaan itu, tetapi juga mentalku rusak sepenuhnya.
Mama masuk ke kamarku dengan langkah pelan, membawa secangkir teh yang masih mengepul. Jam di dinding menunjukkan pukul lima pagi, dan langit masih gelap. Aku masih terbaring di tempat tidur, seperti biasa, memandang kosong ke arah dinding.
"Lail, kamu sudah bangun, Sayang? Belum salat, kan, Nak? Ayo, salat Subuh dulu. Mama sudah bawakan debu suci untuk kamu bertayamum," kata Mama sambil duduk di kursi di sampingku. Suaranya penuh perhatian sambil membawa plastik dan kertas berisi debu yang begitu halus.
Aku melakukan apa yang Mama pinta tanpa membuang waktu. Terlebih dahulu, Mama membantuku menyandarkan punggungku dengan pelan di bantal kepala yang agak tinggi supaya aku bisa tayamum dengan mudah. Setelah itu, aku tayamum sesuai tata cara yang aku pelajari saat aku masih bersekolah SD.
Aku belum bisa menggunakan air karena tubuhku masih lemas dan belum bisa digerakkan. Hanya tanganku yang bisa kugerakkan. Kemudian, aku segera melaksanakan salat Subuh dengan berbaring. Mama membantuku menutup seluruh aurat, kecuali wajah dan telapak tanganku, dengan kain besar. Memakai mukena terasa sangat ribet, apalagi badanku sulit digerakkan.
Lima menit berlalu, aku ingin bertanya sesuatu kepada Mama. "Mama sudah salat?"
"Sudah, Sayang. Lail, nanti mau makan apa selain bubur?"
"Entahlah, aku bingung, Ma. Biar Mama saja yang pilihkan. Aku pasti akan memakannya."
"Baiklah, Sayang. Tapi Mama lihat, sepertinya ada yang mengganggu pikiranmu. Ada apa, Lail?"
"Ma, setahun berlalu, aku tidak melaksanakan salat sebagai kewajibanku karena dalam keadaan koma. Apa aku perlu mengqadha salatku selama setahun itu? Pasti kalau aku harus mengganti, itu banyak sekali." Mama tersenyum menanggapi.
"Lail, sepengetahuan Mama, orang yang mengalami koma selama setahun tidak berkewajiban untuk melaksanakan salat selama masa komanya. Dalam Islam, kewajiban ibadah seperti salat hanya diwajibkan bagi orang yang memiliki akal sehat dan kesadaran. Jika dalam keadaan koma, yang merupakan kondisi tidak sadar, orang tersebut tidak diwajibkan salat, dan oleh karena itu, ia tidak perlu mengqadha salatnya yang terlewat selama masa koma."
"Menurut sebagian besar pandangan ulama, orang yang dalam keadaan koma untuk jangka waktu yang lama, lebih dari satu hari, tidak diwajibkan untuk mengqada atau mengganti salat-salat yang terlewat. Hal ini karena dalam kondisi tersebut, ia tidak dianggap memiliki tanggung jawab agama—taklif, atas ibadahnya. Namun, jika seseorang hanya mengalami hilang kesadaran dalam waktu singkat atau terbangun dalam jeda tertentu selama koma, maka ia wajib mengganti salat yang terlewat dalam waktu singkat tersebut.
"Setelah bangun dari koma, orang tersebut tidak perlu mengqada salat satu tahun penuh, karena kewajiban salat tidak berlaku selama masa koma," jelas Mama, membuatku lega.
"Terima kasih atas penjelasannya, Ma."
"Sama-sama, Sayang. Kalau ada sesuatu yang mengganggu pikiran kamu, tanyakan saja sama Mama atau Papa. Kami pasti akan berusaha mencari jawabannya."
"Tadi aku sempat membayangkan, kalau aku harus mengqada salat selama satu tahun penuh, itu kan repot sekali. Bayangkan, dalam satu hari saja harus lima waktu menjalankan salat. Itu artinya lima kali tiga ratus enam puluh lima, hasilnya seribu delapan ratus dua puluh lima. Yang ada, tulangku makin retak, Ma."
Mama tertawa lembut, lalu mengelus pundakku dengan penuh kasih. "Nak, kalau Allah menghendaki sesuatu, pasti Dia akan memudahkannya. Syariat salat itu diberikan bukan untuk memberatkan kita, tapi untuk mendekatkan kita kepada-Nya. Dalam kondisi tertentu, seperti saat sakit atau tidak sadar, Allah Maha Mengerti. Salat hanya diwajibkan bagi mereka yang mampu, dalam keadaan sadar dan sehat."
Mama menarik napas, lalu melanjutkan, "Syariat Islam itu penuh keringanan. Orang yang tidak bisa salat dengan berdiri, bisa melakukannya dengan duduk, atau bahkan berbaring. Begitu pula dengan kewajiban lainnya. Intinya, Allah selalu memberi kita jalan untuk tetap beribadah tanpa membuat kita kesulitan."
Lalu aku diam. Pandanganku tidak pernah benar-benar fokus, bahkan setelah seminggu terjaga dari koma. Setiap hari rasanya seperti mimpi buruk yang tidak bisa kuperbaiki. Mataku terasa berat, sembab, terlalu banyak menangis. Semua ini masih terasa mustahil.
Mama menghela napas panjang, memegang tanganku dengan lembut. "Lail, ada apa lagi? Apa ada sesuatu yang ingin kamu tanyakan lagi?"