Rekata Laila

FAKIHA
Chapter #7

7. Di antara Hibiscus Haven

Mobil melaju cukup cepat menuju tempat yang dimaksud oleh Papa. Jaraknya cukup jauh dari tempat sebelumnya. Awalnya, kami berencana untuk pergi ke salah satu kafe yang paling menarik yang pernah kami kunjungi, yaitu Btavia Cafe.

Sayangnya, saat kami melihat area parkirnya sudah penuh, kami sepakat untuk mencari tempat lain yang juga menyajikan menu lezat. Akhirnya, mobil kami berhenti di area parkir resto Hibiscus Haven, salah satu tempat favorit yang selalu ramai pengunjung dari berbagai kalangan. Area parkirnya juga luas, menampung ratusan kendaraan.

Kami telah beberapa kali mengunjungi resto ini dan selalu merasa betah dengan suhunya yang nyaman. Setelah parkir, Papa membantuku turun dari mobil, mendorongku dengan kursi roda, dan aku merasakan hembusan angin segar yang membuat mataku semakin segar.

Ketika kami melangkah menuju pintu masuk Hibiscus Haven, seorang satpam berdiri dengan sikap ramah di dekat pintu. Pak Basil, demikian namanya, mengenakan seragam rapi dengan lencana yang terpasang di dadanya. Wajahnya yang tegas dipenuhi senyum hangat, memberikan rasa aman bagi setiap pengunjung yang datang.

"Selamat datang di Hibiscus Haven!" sapanya dengan suara bersahabat. Beliau selalu tahu cara membuat tamu merasa dihargai. Ia memeriksa area sekitar dengan teliti, memastikan semuanya berjalan lancar. Ketika melihat kami mendekat, ia segera menghampiri dan menawarkan bantuan.

"Perlu saya bantu, Bapak?" tanyanya pada Papa, lalu menekuk lutut sejenak untuk memberikan perhatian penuh.

"Terima kasih, Pak. Kami hanya akan masuk," jawab Papa sambil tersenyum.

Pak Basil mengangguk, lalu membantu membuka pintu untuk kami. Dengan sigap, ia memastikan jalur masuk cukup lebar agar kursi rodaku bisa melintas tanpa kendala. Suasana di resto semakin terasa nyaman dengan kehadiran satpam yang selalu siap membantu.

Setelah kami melangkah masuk, Pak Basil kembali ke posisinya, mengawasi dengan penuh perhatian, memastikan setiap pengunjung merasa aman dan nyaman di resto favorit mereka. Keberadaannya memberikan rasa tenang, menambah kesan positif pada kunjungan kami di Hibiscus Haven.

Aroma makanan dari dalam pantry cukup menggugah selera, menyeruak ke hidungku dan menambah rasa lapar di perutku. Hampir seluruh dinding bangunan ini terbuat dari material kaca. Kami duduk di kursi tepat di samping dinding kaca itu, yang membuat mata kami sejuk memandang berbagai ribuan bunga yang tumbuh segar.

Papa mengamati menu dengan saksama, tampak mempertimbangkan pilihan yang tepat. Setelah beberapa saat, Papa melambaikan tangan ke arah pelayan yang sedang melintas.

“Permisi!” panggilnya dengan suara tegas. “Bisa ke sini sebentar?”

Pelayan itu menghampiri kami, tersenyum ramah. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?”

"Saya ingin pesan sop iga sapi, minumnya air putih, dan untuk penutupnya es teler," kata Papa, lalu melirikku untuk menawarkan apa yang ingin aku pesan. "Lail mau pesan apa, Nak?"

"Samakan saja seperti yang Papa pesan, tapi untuk penutupnya aku pesan puding coklat lumer dengan tambahan es krim vanila."

Pelayan itu mencatat dengan cepat, lalu mengangguk. “Baik, Pak, Kak. Pesanannya segera kami siapkan.” Ia kemudian berbalik menuju dapur, meninggalkan kami berdua.

"Kamu sedang mengamati apa, Lail? Papa lihat, kamu sangat serius sekali."

"Tidak ada apa-apa, hanya ingin melihat ribuan jenis bunga di luar. Bagus sekali ya, Pa?"

"Iya, sangat bagus. Kira-kira, kalau di samping rumah kita ditanami berbagai jenis bunga, cocok tidak ya?"

"Sepertinya bagus saja, Pa. Coba saja, siapa tahu lahan kosong itu jadi terlihat hidup dan tidak terlalu sepi. Pa, bukannya bunga tulip tidak bisa ditanam di daerah iklim tropis seperti negara kita, apalagi Jakarta yang sangat panas, tapi kenapa di depan sana bunga tulipnya bisa tumbuh subur? Apa ada cara khusus?" Papa tersenyum menanggapi pertanyaanku.

Aku selalu seperti ini; bahkan dari kecil, aku selalu ingin mengetahui banyak hal dengan bertanya pada Papa atau Mama. Sayang sekali, otak mereka itu sangat cerdas. Jika tidak aku beri pertanyaan, mungkin kecerdasannya berkurang.

Sampai terkadang Papa menyerah lalu mengatakan, "Coba Lail cari tahu sendiri. Tidak semua hal harus dipertanyakan. Itu akan membuat otak kamu malas bekerja karena terlalu banyak bertanya. Sesekali bertanya boleh, tapi Lail bisa cari tahu lewat buku, Wikipedia, atau alat lainnya untuk membantu menemukan jawaban yang kamu cari. Setelah kamu mengetahui jawaban itu, kamu jelaskan pada Papa apa yang kamu ketahui itu. Nanti kita bahas lebih detail tentang pertanyaan kamu."

Papa tersenyum kecil sambil melipat tangannya di meja. "Sebenarnya, bisa kok, Lail. Ada cara khusus supaya tulip tetap bisa tumbuh di sini, meskipun kita harus sedikit berusaha lebih."

Aku mengerutkan kening, penasaran. “Cara khusus? Bagaimana caranya?”

"Pertama-tama," ucap Papa berhenti. Dua pelayan menghampiri kami dengan membawa pesanan kami, lalu menaruhnya dengan rapi di meja kami.

"Terima kasih," ucapku dan Papa kompak saat pesanan kami diletakkan sesuai yang kami pesan. Lalu mereka segera pergi dari meja kami.

"Sepanjang pengetahuan Papa, bibit tulip itu didinginkan dulu, seperti yang terjadi saat mereka mengalami musim dingin di negara asalnya. Kita bisa menyimpan bibitnya di kulkas selama beberapa minggu, sekitar 6 hingga 12 minggu, untuk meniru musim dingin. Itu namanya proses pre-chilling."

Aku mengangguk pelan, mulai menangkap idenya. "Oh, jadi bibitnya harus beradaptasi dulu?"

“Benar, Lail,” Papa menjawab sambil mengangguk. “Setelah itu, kita tanam di tanah yang subur, yang memiliki drainase bagus. Tulip tidak suka tanah yang terlalu basah. Dan kalau di Jakarta yang panas begini, sebaiknya ditanam di tempat teduh, atau kalau bisa, di dalam rumah dengan suhu yang lebih terkontrol. Itu yang mereka lakukan sampai bunganya terlihat sangat indah seperti di luar lobi resto ini.”

Aku menatap Papa dengan tatapan kagum. Papa selalu tahu semua pertanyaanku. Sepertinya Papa itu bentuk nyata dari jurnal berjalan. "Ternyata tetap bisa ya? Tapi kalau di Jakarta, seberapa besar peluang tulip itu bisa tumbuh dan berbunga, Pa?"

Lihat selengkapnya