Rekata Laila

FAKIHA
Chapter #8

8. Ruang Luang

Aku menyeka pipiku yang basah. Entah sampai kapan aku akan terus menangisi nasibku. Sejak semalam, aku duduk tanpa sedikitpun bergerak. Di depan Mama dan Papa, aku berusaha tegar supaya mereka tidak khawatir, tapi saat sendirian di kamar, pertahananku runtuh. Aku tak bisa menahan tangis dan terjaga semalaman.

Tatapanku kosong menembus langit-langit kamar, sementara air mata terus mengalir tanpa henti, membuat hidungku terasa perih. Aku tahu ini bagian dari takdirku, tapi rasanya sangat sulit dan menyakitkan. Tatapanku kosong, sementara air mata terus mengalir. Ketika azan Subuh berkumandang, aku sadar, sebentar lagi Mama akan masuk kamarku. Dengan cepat, aku menyeka pipi dengan tisu, meski mataku tetap merah dan sembab.

Benar saja, detik berikutnya, pintu kamarku diketuk dari luar. Pintu perlahan terbuka, dan ternyata Papa yang masuk. Aku tersenyum kecil menyambutnya, meski di dalam hati aku bertanya-tanya sampai kapan aku harus terus berpura-pura baik-baik saja.

"Papa pikir kamu belum bangun, Lail. Bagaimana tidurmu, nyenyak atau tidak?" tanya Papa dengan lembut. Aku hanya mengangguk, tidak berani membuka suara. Jika aku menjawab, suaraku pasti akan terdengar serak akibat tangisan semalaman. Papa pasti akan bertanya lebih lanjut, "Kenapa kamu menangis, Lail? Ada apa? Apakah punggungmu sakit lagi, atau kamu butuh sesuatu? Kenapa tidak kamu katakan saja? Kamu bisa telepon Papa kapan saja kalau butuh sesuatu." Aku bisa membayangkan Papa mengucapkan kata-kata itu, dan aku tidak ingin membuatnya khawatir.

Cahaya kamar yang temaram berwarna kuning membantu menyamarkan mataku yang sembab. Setidaknya Papa tidak melihat wajahku yang berantakan. Aku benar-benar tidak ingin menambah bebannya dengan keadaanku yang kacau.

Papa kemudian mengambil segenggam debu dan menaburkannya di sebuah kotak persegi dengan empat batas, seukuran telapak tangan manusia, agar aku bisa melakukan tayamum. Aku segera melakukan tayamum tanpa membuang waktu, setelah itu aku melaksanakan salat Subuh.

Lima menit kemudiannya, setelah aku melaksanakan salat Subuh, suasana hening itu pecah oleh suaraku yang serak, "Pa, aku mau minum. Haus sekali, boleh tolong ambilkan?" Aku berharap Papa tidak menyadari keadaanku, tapi harapanku sia-sia. Papa selalu tahu ketika ada yang tidak beres.

"Suaramu kok serak? Kamu habis menangis?" tanyanya dengan nada penuh perhatian.

Aku buru-buru mencari alasan. "Tidak, Pa. AC-nya terlalu dingin, jadi hidungku agak tersumbat dan tenggorokanku juga tidak enak," jawabku beralasan, berusaha terdengar santai. Namun, dalam hati aku tahu Papa mungkin sudah menebak yang sebenarnya.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Papa berdiri dan mengambil termos kecil di meja samping. Dengan gerakan lembut, ia menuangkan air hangat ke dalam gelas, lalu menyerahkannya kepadaku. "Minum yang cukup, Lail. Jangan sampai tubuhmu lemah karena kurang cairan," katanya sambil menatapku penuh kekhawatiran yang coba Papa sembunyikan. Jadi saat ini kami sama-sama berpura-pura tidak mengetahui apa yang terjadi satu sama lain.

Aku menerima gelas itu, "terima kasih, Pa." Aku merasakan kehangatan yang menyelimuti tanganku. Aku menyesap air hangat itu perlahan, membiarkan setiap tegukan meredakan tenggorokanku yang kering.

Setelah beberapa saat, Papa duduk di sisi tempat tidurku. "Lail, kamu tahu kan, apa pun yang terjadi, Papa selalu ada buat kamu. Kamu tidak perlu menyimpan semuanya sendirian. Jangan merasa tidak enak hati, apalagi sampai menyembunyikan segalanya. Tidak baik dipendam sendiri, Lail." Aku tersenyum menanggapi pernyataan Papa.

"Tidak ada apa-apa, Pa. Aku baik-baik saja." Aku terus mengelak setiap pernyataan Papa. "Pa, aku pengen peluk Papa, boleh tidak?" kataku dengan nada manja.

"Boleh dong, sayang." Dengan hati-hati Papa segera memelukku. Lalu mengusap rambutku yang terurai.

Aku ingin sekali bicara tentang yang terjadi pada keresahanku, membuka semua beban yang beberapa hari ini kusimpan rapat-rapat, tapi rasanya sulit. Aku hanya bisa mengangguk pelan, menyembunyikan perasaan yang masih menyesakkan. Sebenarnya aku bukan orang yang suka menyembunyikan sesuatu pada Papa maupun Mama, aku selalu bersikap terbuka. Sayangnya, sekarang keadaan mengubah segalanya, aku menjadi sulit mengatakan sesuatu yang aku rasakan.

"Kamu tidak harus berbohong kalau kamu tidak sedang baik-baik saja, Lail. Kata Mama, kalau perempuan bilang tidak apa-apa, itu artinya ada apa-apanya. Kamu tidak perlu menyembunyikan semuanya," ujar Papa dengan lembut, Aku tetap diam, tidak merespons apa pun yang Papa katakan.

"Sayang sekali kalau kamu tidak memanfaatkan posisi Mamamu sebagai psikiater, tapi kamu malah memilih untuk memendam semuanya sendirian," lanjut Papa sambil terkekeh. Aku tersenyum tipis, lalu ikut tertawa kecil.

Selera humor Papa memang selalu segar. Ada saja celetukannya yang membuatku tertawa, bahkan di saat-saat sulit seperti ini, tawa Papa selalu berhasil membuatku merasa sedikit lebih baik, seakan-akan seberat apa pun masalahku, masih ada ruang untuk bernapas.

Di saat semua orang menjauh, Papa dan Mama selalu ada untukku. Mereka setia mencintai putrinya tanpa syarat, tanpa penilaian. Sejak kecil, aku tidak pernah benar-benar merasa kesepian. Aku mudah berbaur dengan siapa saja, selalu bisa menemukan teman. Namun, ketika berurusan dengan laki-laki, aku selalu menjaga jarak. Ada batas yang kupertahankan karena perintah agama yang aku anut.

Tapi semuanya berubah begitu cepat. Kecelakaan besar itu datang dan menghancurkan hidupku. Orang-orang mulai menjauh, seakan takut terkena imbas dari tragedi yang kualami. Baru beberapa minggu setelah kejadian itu, mereka yang dulu kukenal menghilang tanpa jejak, kecuali keluargaku dan keluarga Om Syanan. Mereka tetap setia di sampingku. Lavender, putri Om Syanan, beberapa kali datang mengunjungiku setelah selesai dengan koasnya di rumah sakit.

Tanpa kusadari, pelukan Papa begitu nyaman hingga aku tertidur dalam dekapannya. Di antara kesadaran dan mimpi, samar-samar aku mendengar suara Papa dan Mama berbicara di dekatku.

"Apakah Lail baru tidur?" tanya Mama dengan suara lembut.

Papa mengangguk dan menaruh jari di bibirnya, memberi isyarat agar Mama bicara lebih pelan. "Sepertinya baru tidur. Aku curiga dia semalaman menangis dan tidak bisa tidur," jawab Papa dengan lirih.

Lihat selengkapnya